Oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri
Sindhunata adalah unikum dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Begitu kata Jakob Oetama, dalam kata pengantarnya untuk buku features jurnalistik Sindhunata, Cikar Bobrok (1998).
Menurut
Jakob, Sindhunata telah membuat reportase liputan dan laporan yang
dalam segala kejadian dan permasalahan berhasil menangkar denyut dan
napas perikemanusiaan, yang menampilkan suatu kejadian dan permasalahan
dalam konteks yang kemarin, kini, dan akan datang, serta yang penemuan,
pengolahan dan pengerjaannya disertai pergulatan, refleksi, serta
pemahaman.
Selanjutnya,
Jakob menyimpulkan, “Dengan sikap dan orientasi itu kejadian dan
persoalan berhasil diangkat ke atas panggung reportase dalam sosoknya
yang nyata, hidup, berdenyut, berdesak, berkeringat, berairmata,
bersenyum, dan berpengharapan.”
Lahir
di Kampung Hendrik, Batu, Malang pada 12 Mei 1952, Dr. Gabriel Possenti
Sindhunata, SJ menyelesaikan pendidikan seminari di Seminarium Marianum
Lawang, Malang pada 1971. Pada tahun 1980 dia menyelesaikan studi
filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, dan pada 1983
berhasil lulus studi teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan,
Yogyakarta. Sindhunata kemudian melanjutkan studi doktoral filsafat di
Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät SJ di München,
Jerman pada tahun 1986 hingga 1992. Tesis doktoralnya membahas mengenai
pemberontakan petani Jawa di zaman colonial pada abad ke-ke-19 sampai
awal abad ke-20. Tesis itu telah terbit menjadi buku berjudul Hoffen auf den Ratu-Adil.
Karir jurnalistik Sindhunata dimulai dengan bekerja sebagai wartawan Majalah Teruna
terbitan P.N. Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1974. Walaupun hanya
bertugas menulis berita tentang kegiatan di SMA-SMA di Jakarta,
Sindhunata sangat terkesan dengan pengalamannya ini. Sindhunata sendiri
mengatakan, “Pengalaman ini menggariskan ke mana kehidupan saya
selanjutnya akan berjalan, yakni ke dalam dunia jurnalistik.” Dan
ternyata, Sindhunata memang setia menjalani garis hidupnya sebagai
wartawan sampai kini. Pantas, bila PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
pada tahun 2005 menganugerahinya Penghargaan Kesetiaan Profesi sebagai
Wartawan selama tiga puluh tahun masa pengabdian.
Pergulatannya sebagai wartawan dimulai ketika pada tahun 1977 dia menjadi wartawan harian Kompas, Jakarta. Di harian ini Sindhunata dikenal karena feature-feature tentang nasib dan penderitaan orang kecil. Feature-feture-nya
itu sedemikian menyentuh hati pembacanya. Dengan membaca tulisannya,
pembaca seolah dibawa masuk ke dalam nasib, penderitaan, dan pengalaman
orang-orang kecil yang dijumpai Sindhunata dalam tugas jurnalistiknya.
Ia tak berhenti menulis feature juga ketika ia berhenti menjadi wartawan Kompas dan bekerja di Majalah Kebudayaan Basis di Yogyakarta. Atas pertimbangan dan saran empu sastra Jawa kuno dan pendiri Majalah Basis,
Prof. Dr. Piet Zoetmulder, SJ, pada tahun 1994, ia menjadi pemimpin
redaksi majalah kebudayaan tersebut menggantikan Dick Hartoko, yang
memasuki masa pensiun. Berbekal dari pengalaman malang melintang di
dunia wartawan, Sindhunata membuat terobosan yang menyegarkan. Ia
mengubah format dan tampilan Basis. Dalam hal ini pun
Sindhunata telah menyumbangkan jasanya. Ia telah berhasil mematahkan
anggapan bahwa sebuah majalah ilmiah itu harus berkesan serius dan
ilmiah pula. Di bawah kepemimpinannya, ia membuat majalah ilmiah dan
serius itu menjadi menarik dan enak dibaca tanpa mengurangi bobot
ilmiahnya.
Di majalah Basis
ini pun Sindhunata tetap konsisten dengan pengalamannya jurnalistiknya.
Ia menggarap keilmiahan dengan citarasa jurnalistiknya yang humanis.
Seperti yang tertera pada logonya, ia menyebut Basis sebagai
jurnalisme seribu mata. Maksudnya, keilmiahan pun harus didekati dari
berbagai aspek terutama aspek kemanusiaannya. Kata Sindhunata,
“Sesungguhnya aspek kemanusiaan inilah inti terdalam yang hendak dituju
oleh Basis. Itulah yang tersembunyi dalam semboyan Basis
‘Menembus Fakta’.” Tak banyak wartawan Indonesia yang sempat mengenyam
pendidikan doktoral seperti Sindhunata. Pendidikannya itu mau tidak mau
ikut mempengaruhi dan memperdalam tugas jurnalistiknya. Mungkin karena
itulah ia bisa memimpin Majalah Basis di mana jurnalisme tak kehilangan keilmiahannya.
Selain
sebagai wartawan, Sindhunata adalah seorang romo, rohaniwan Yesuit,
filsuf, teolog, novelis, dan penyair. Novelnya yang telah menjadi klasik
adalah Anak Bajang Menggiring Angin. Ia juga telah menerbitkan novelnya yang terbaru Putri Cina
(2007). Sindhunata juga senang menulis dalam bahasa Jawa. Menurutnya
bahasa Jawa itu harus diasah, maka menulislah ia dalam bahasa Jawa di
rubrik “Blencong” di harian Suara Merdeka.
Hingga
kini sudah lebih dari tiga puluh judul buku lahir dari tangannya.
Pantas bila ia disebut sebagai penulis yang lengkap dan serba bisa. Feature-feature
jurnalistiknya telah diterbitkan pada tahun 2006 dalam pancalogi:
“Manusia & Pengharapan”, “Manusia & Keadilan”, “Manusia &
Keseharian”, “Manusia & Perjalanan”, dan “Manusia & Kebatinan”.
Menyambut buku tersebut, Hikmat Darmawan, pengasuh Beranda Komunitas
Mizan, menulis: Sindhunata adalah keajaiban. Kumpulan fiturnya di Kompas
sejak tahun 1978 hingga 2002 yang terbit dalam lima buku ini adalah
esai tajam tentang Indonesia sekaligus mata air pelajaran jurnalisme
sastrawi. (Kompas, 23 Januari 2007). Selanjutnya Hikmat
Darmawan mengatakan, “Sebagaimana Bing Slamet dan Benyamin S. adalah
seniman lengkap, Sindhunata adalah penulis lengkap.”
Memang
dalam menulis Sindhunata tidak membatasi minatnya. Ia bisa menulis
tentang apa saja: agama, pelacur, tukang rambutan, burung-burung di
bundaran Hotel Indonesia, beras, dan seterusnya – semua dengan gusto,
penuh cita rasa, dan opini/ide yang telah matang dimasak oleh benaknya.
Yang juga tak boleh dilupakan adalah tulisannya tentang sepak bola di Harian Kompas
sejak tahun 1988. Pembaca amat menantikan Catatan Sepak Bola Sindhunata
sebab di dalamnya pembaca bisa mendapatkan kisah-kisah tentang manusia
dan pergulatannya, juga tentang nasionalisme, filsafat, dan budaya di
balik peristiwa permainan bola. Tulisan-tulisan tersebut telah
diterbitkan dalam trilogi Catatan Sepak Bola Sindhunata: Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-Bola Nasib.
Kalau toh harus disingkatkan apakah sumbangan Sindhunata dalam dunia jurnalistik, jawabannya mungkin adalah konsistensinya pada genre
jurnalisme humanis sastrawi. Jurnalisme sastrawi adalah tulisan
jurnalistik yang tidak sekadar memberi informasi suatu kejadian tetapi
juga menggali kedalaman makna dari informasi tersebut. Selanjutnya
tulisan tersebut tidak ditampilkan secara kering tetapi dituturkan dalam
cara berkisah yang bisa memikat, dan membangkitkan emosi pembaca
sebagaimana dibuat oleh karya sastra.
Jurnalisme
sastrawi juga berusaha untuk mengetuk hati nurani pembaca dan mengajak
pembacanya membuat permenungan tentang hidupnya sendiri. Untuk itu
seorang jurnalis perlu banyak membaca, lebih-lebih karya sastra. Dalam
hal ini Sindhunata kiranya telah memenuhi kriteria yang diinginkan oleh
wartawan senior dan tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar. Sebagaimana
dikutip oleh Jakob Oetama, dalam berbagai kesempatan Rosihan Anwar
sering berkomentar bahwa pendidikan, minat serta pengembangan humaniora
merupakan latar belakang yang kondusif bagi seorang wartawan. Ia
menyarankan agar wartawan suka membaca, termasuk buku dan karya satra
klasik dunia maupun negeri sendiri.
Tulisan-tulisan Sindhunata memang terbukti sangat enak dibaca, menimbulkan apa yang dikatakan Roland Barthes sebagai the pleasure of the text. Silakan buktikan dengan membuka halaman pertama majalah Basis.
Di sana Anda akan menemui tulisan singkat nan padat di bawah rubrik
”Tanda-Tanda Zaman”, yang menjadi prolog dan visi memikat yang membuat
pembaca mau membuka dan membaca majalah itu hingga selesai.
Dan
tentang kedalaman tulisan-tulisannya, tak usah diragukan lagi.
Sindhunata menulis dengan detail. Ia bukan tipe "jurnalis telepon" yang
hanya bermodal wawancara telepon, ditambah riset serba sedikit di
perpustakaan atau internet, lalu menulis di belakang meja. Kata
Sindhunata, "Pekerjaan pertama seorang wartawan adalah pekerjaan kaki,
baru kemudian pekerjaan tangan, tulis-menulis...." Dengan berada di
lapangan, langsung mengalami peristiwa, Sindhunata bisa merengkuh detail
peristiwa, dan juga rasa dari peristiwa itu.
Prinsip
ini yang dipegang Sindhunata dalam menulis: langsung terjun ke
lapangan. Karena prinsip itu Sindhunata bahkan pernah menghabiskan
beberapa hari di lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak pada 1979.
Pengalaman itu membuahkan empat feature bersambung tentang
"dunia maksiat" tersebut. Ia juga pernah ikut berjudi sabung ayam di
Bali, agar dapat memahami bagaimana dunia perjudian itu berjalan,
sebelum kemudian menulis laporan jurnalistik.
Salah
satu cara lain dari Sindhunata dalam mengungkap detail tampak dalam
tulisannya tentang tokoh-tokoh. Memang Sindhunata telah banyak menulis feature
tentang tokoh-tokoh. Baik orang kecil sampai seniman tradisional
kawakan seperti dalang Ki Darman Gondo, penari topeng Losari, Ibu Dewi,
pembuat wayang suket, Mbah Gepuk, pelukis rakyat Citrowaluyo, empu
gending Martopangrawit, penari topeng Malangan Mbah Gimun, dan
sebagainya. Dari tulisan-tulisannya tampak kepiawaian Sindhunata
mengolah detail untuk membangun perspektif kemanusiaan tokoh tersebut.
Dalam feature-feature-nya kita dapat membaca nama-nama ndeso
seperti Mbok Tukiyem, Gujam yang pedagang rambutan, Mbah Setro, Mbok
Miji, Sum yang pelacur, Pak Riadi, Pak Gacuk, Suwardi, Pak Sa'i, Pak
Umang, Ateng, Pak Imu, dan sebagainya. Dari tulisan ini tampak betapa
media perlu mengungkapkan bahwa ada ada hidup yang lain di luar
hiruk-pikuk yang dikabarkan di koran-koran dan infotainment.
Feature
Sindhunata yang berjudul "Segelas Beras untuk Berdua", misalnya
bercerita tentang Mbah Setro, penjual arang yang menyiasati hidup yang
sulit. Kira-kira tahun 2004-an, Mbah Setro masih menjual arang, yang
digumulinya sejak zaman Belanda. Setiap hari Mbah Setro menyunggi
keranjang berisi arang diatas kepalanya menempuh jalan berkilo-kilometer
untuk sampai ke pasar di daerah Patangpuluhan dan Karangkajen,
Yogyakarta.
Besarkah
penghasilan Mbah Setro yang buta huruf itu? Dengan dua ikat arang yang
dia bawa, Mbah Setro dapat mengumpulkan uang Rp12.000 sampai Rp15.000.
Dan keuntungannya hanyalah Rp2.000 sampai Rp5.000! Uang sekecil itu
jelas tak bisa digunakan untuk menebus kebutuhan pokok Mbah Setro
bersama istrinya, Khatijah. Untuk menyiasatinya terpaksa Mbah Setro
"berpuasa". Ia hanya menyeruput teh panas di waktu subuh jelang
berangkat ke pasar dengan arang di pundak. "Untuk kami berdua, segelas
beras sudah cukup," tutur Khatijah istrinya.
Atau misalnya lagi feature-nya
yang berjudul “Mbok Tukinem Dicoba Melebihi Kemampuannya”. Di sana
Sindhunata berkisah tentang Mbok Tukinem yang buta dan tak henti dilanda
kemalangan. Setelah dimuat di Harian Kompas, banyak pembaca
yang terenyuh dan tergerak membantu, sehingga terkumpul uang sejumlah
lebih dari satu juta rupiah. Untuk tahun 1982 jumlah itu jelas sangat
besar. Peristiwa itu kemudian ditulis Sindhunata menjadi feature
baru, berjudul ”Hadiah Natal Buat Mbok Tukinem”. Memang, membaca
tulisannya ini orang pasti akan tergerak untuk tidak bersikap serakah
tetapi mensyukuri kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang diterima dalam
hidupnya. Itulah salah satu contoh bahwa tulisan feature
Sindhunata mampu menggerakkan hati pembaca bahkan sampai mereka rela
memberikan sumbangan yang nyata kepada orang ditulisannya dan memang
membutuhkan bantuan mereka.
Jelas, jurnalisme bagi Sindhunata adalah jurnalisme yang berpihak, yaitu berpihak pada wong cilik
atau kelas bawah yang sering dilupakan banyak orang. Dan Sindhunata,
dengan kerja jurnalistiknya berusaha mengabarkan keberadaan dan
penderitaan mereka serta mengajak agar pembaca jangan tidak acuh
terhadap nasib mereka.
Begitulah
Sindhunata. Berkat ”kerja kaki”-nya, dan dengan ramuan jurnalisme
sastrawi, Sindhunata kiranya telah berhasil menyingkirkan anggapan bahwa
wartawan itu hanya pandai menulis tapi tidak berbuat. Tulisan-tulisan
Sindhunata jelas memperlihatkan bahwa seorang jurnalis juga bisa berbuat
banyak untuk kemanusiaan dan menolong penderitaan. Maka tak salah bila
ada yang mengatakan, fokus Sindhu dengan tulisan-tulisannya adalah
kemanusiaan (humanisme)--sesuatu yang mahal untuk era yang kadung
disuntuki ketakpedulian.***
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Penulis/Periset Sejarah,Tinggal di Yogyakarta.
Sumber tulisan: http://belajarsejarah.com/?detail=beritanya&id=111&kode=1
|
Senin, 11 Juni 2012
SINDHUNATA, Kerja Kaki dan Tangan Sang Wartawan
Rabu, 06 Juni 2012
Jadikan Ranch sebagai rumah yang nyaman
Tidak mudah mengelola bisnis ritel
dengan sasaran market menengah atas seperti Ranch Market.
Apalagi, basic saya adalah profesional di bisnis steel.
Sudah begitu, ketika baru buka sebulan di Kebon Jeruk, Jakarta, pada
1998, Ranch Market habis dijarah karena terjadi kerusuhan.
Saat itu, karyawan down, kami shock. Namun, menurut saya, the show must go on. Seperti orang Jawa bilang, masih untung toko kita tak dibakar. Makanya, saya katakan ke mereka kalau kami akan buka lagi, meski kerusuhan itu membuat kami merugi sampai Rp 6 miliar.
Kerusuhan itu juga yang membuat Ranch Amerika hengkang, tak lagi memberi supervisi pendirian Ranch. Namun hubungan kami clear. Kami bahkan tak perlu lagi membayar royalti. Mereka membebaskan kami memakai nama Ranch, asalkan tetap dalam teritori Indonesia.
Tidak adanya supervisi dari Amerika justru menjadi peluang kami untuk melakukan re-concept Ranch. Berbeda dengan Ranch Amerika yang menyasar pasar orang Asia, kami menyasar high end market, termasuk ekspatriat.
Tuntutannya tentu kami harus menjaga kualitas dan layanan. Di sinilah tantangan saya dan karyawan mewujudkannya. Ini pula yang lantas saya terjemahkan dalam culture atau value di Supra Boga. Yakni menciptakan suasana belanja yang menyenangkan.
Caranya, pertama, kami harus melakukan diferensiasi produk. Artinya, produk yang kami jual tidak ada di tempat lain, tidak massal, dan unik. Ini penting agar menarik keinginan konsumen datang.
Makanya, sejak awal berdiri, kami terus mencari produk-produk tersebut. Kami ogah menunggu di meja layaknya dokter yang menunggu pasien. Kami memiliki tim product yang bertugas mencari produk eksklusif.
Tak hanya itu, kami juga membekali kemampuan karyawan agar mumpuni dalam menjelaskan produk, sekaligus mencari alternatif bila produk yang dicari tidak ada demi terciptanya pengalaman menyenangkan bagi konsumen. Tidak dengan cara responsif, tapi antisipatif.
Tak gampang di tengah persaingan bisnis ritel yang ketat. Makanya, saya lebih suka menerima pegawai yang fresh karena lebih mudah dibentuk sesuai standar kami.
Kedua, memberikan produk terbaik. Produk yang kami jual adalah produk fresh. Bagi pemain lain, ini susah karena banyak banget sampahnya. Makanya, sejak awal, kami melengkapi Ranch dengan berbagai alat dan sistem pengolahan demi menjaga kesegaran produk kami.
Tak hanya di hilir, produk kami juga terjaga sampai hulu. Misalnya, daging sapi, kami sediakan sapi yang hanya makan gandum dalam jangka waktu tertentu. Makanya, kami menjalin kerja sama dengan peternak.
Ketiga, dari sisi service, kami harus excellent. Ramah saja tak cukup, tapi harus excellent. Ini penting karena kami menciptakan rumah ketiga bagi konsumen. Rumah pertama adalah rumah mereka, rumah kedua kantor dan rumah ketiga adalah Ranch.
Ranch juga kami ciptakan sebagai rumah kedua untuk karyawan. Mereka bebas melakukan apa saja, tapi juga harus patuh dengan aturan yang kami buat.
Sebagai orang tua yang demokratis, kami membebaskan mereka berbicara dengan saya, menyampaikan unek-unek. Tapi, mereka punya target mewujudkan mimpi bersama, menjadikan rumah ini sebagai the biggest company.
Saya bukan pemimpin otoriter. Ketika saya tak tahu, saya bertanya. Ikan busuk itu dimulai dari kepala. Saya tak mau seperti itu.
Sumber: KONTAN
Saat itu, karyawan down, kami shock. Namun, menurut saya, the show must go on. Seperti orang Jawa bilang, masih untung toko kita tak dibakar. Makanya, saya katakan ke mereka kalau kami akan buka lagi, meski kerusuhan itu membuat kami merugi sampai Rp 6 miliar.
Kerusuhan itu juga yang membuat Ranch Amerika hengkang, tak lagi memberi supervisi pendirian Ranch. Namun hubungan kami clear. Kami bahkan tak perlu lagi membayar royalti. Mereka membebaskan kami memakai nama Ranch, asalkan tetap dalam teritori Indonesia.
Tidak adanya supervisi dari Amerika justru menjadi peluang kami untuk melakukan re-concept Ranch. Berbeda dengan Ranch Amerika yang menyasar pasar orang Asia, kami menyasar high end market, termasuk ekspatriat.
Tuntutannya tentu kami harus menjaga kualitas dan layanan. Di sinilah tantangan saya dan karyawan mewujudkannya. Ini pula yang lantas saya terjemahkan dalam culture atau value di Supra Boga. Yakni menciptakan suasana belanja yang menyenangkan.
Caranya, pertama, kami harus melakukan diferensiasi produk. Artinya, produk yang kami jual tidak ada di tempat lain, tidak massal, dan unik. Ini penting agar menarik keinginan konsumen datang.
Makanya, sejak awal berdiri, kami terus mencari produk-produk tersebut. Kami ogah menunggu di meja layaknya dokter yang menunggu pasien. Kami memiliki tim product yang bertugas mencari produk eksklusif.
Tak hanya itu, kami juga membekali kemampuan karyawan agar mumpuni dalam menjelaskan produk, sekaligus mencari alternatif bila produk yang dicari tidak ada demi terciptanya pengalaman menyenangkan bagi konsumen. Tidak dengan cara responsif, tapi antisipatif.
Tak gampang di tengah persaingan bisnis ritel yang ketat. Makanya, saya lebih suka menerima pegawai yang fresh karena lebih mudah dibentuk sesuai standar kami.
Kedua, memberikan produk terbaik. Produk yang kami jual adalah produk fresh. Bagi pemain lain, ini susah karena banyak banget sampahnya. Makanya, sejak awal, kami melengkapi Ranch dengan berbagai alat dan sistem pengolahan demi menjaga kesegaran produk kami.
Tak hanya di hilir, produk kami juga terjaga sampai hulu. Misalnya, daging sapi, kami sediakan sapi yang hanya makan gandum dalam jangka waktu tertentu. Makanya, kami menjalin kerja sama dengan peternak.
Ketiga, dari sisi service, kami harus excellent. Ramah saja tak cukup, tapi harus excellent. Ini penting karena kami menciptakan rumah ketiga bagi konsumen. Rumah pertama adalah rumah mereka, rumah kedua kantor dan rumah ketiga adalah Ranch.
Ranch juga kami ciptakan sebagai rumah kedua untuk karyawan. Mereka bebas melakukan apa saja, tapi juga harus patuh dengan aturan yang kami buat.
Sebagai orang tua yang demokratis, kami membebaskan mereka berbicara dengan saya, menyampaikan unek-unek. Tapi, mereka punya target mewujudkan mimpi bersama, menjadikan rumah ini sebagai the biggest company.
Saya bukan pemimpin otoriter. Ketika saya tak tahu, saya bertanya. Ikan busuk itu dimulai dari kepala. Saya tak mau seperti itu.
Oleh Nugroho Setiadharma
Sumber: KONTAN
Langganan:
Postingan (Atom)