Oleh : Noverius Laoli
Persoalan mendasar dalam dunia pendidikan kita akhir-akhir ini adalah matinya visi, roh, dan isi sebuah pengajaran. Institusi-institusi pendidikan mereduksi diri menjadi semacam balai latihan “pertukangan” belaka yang gemar melahirkan tukang yang ahli namun tanpa roh.
Sebagai sebuah institusi pendidikan, sekolah/kampus adalah tempat mendidik dan mengajar, artinya sebagai wahana membuat manusia lebih manusiawi dengan membangun sinergi konstruktif bagi pengaktualan potensi-potensi kecerdasan dalam diri manusia. Namun, pada realitasnya ihwal tersebut tidak tercapai, karena manusia kini hanyalah produk mesin sejarah dan barang mainan gurita konglomerasi raksasa. Manusia direduksi sebatas pada fungsi dan kegunaannya dalam memproduksi berbagai hal yang dapat menguntungkan. Situasi ini menuntut setiap institusi pendidikan merefleksikan ulang makna dan visi pembelajaran macam apa yang seharusnya dapat diterapkan di rumah-rumah pendidikan, khususnya dalam konteks pendidikan humaniora.
Humaniora adalah ilmu-ilmu yang mampu mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi. Ilmu-ilmu ini meliputi studi agama, filsafat, seni, sejarah dan ilmu-ilmu bahasa. Ilmu ini pada awalnya lahir dari gerakan yang ditopang para sarjana (Umanisti) yang mempelajari kurikulum Studia Humanitas yang berkembang pada abad ke-15 di Eropa. Ilmu baru ini muncul dari gerakan humanisme yang adalah gerakan kultural dan intelektual abad ke-14-16 atau masa renaisans (kelahiran kembali). Yang lahir kembali adalah kebudayaan Yunani yang memberikan tempat pada kebebasan berpikir, sentralitas akan demokrasi dan kebebasan serta kemandirian individu.
Ihwal tersebut tampak dalam sistem pendidikan Yunani klasik yang bertujuan menumbuhkan kesadaran diri warga Negara akan seperangkat aturan dan tanggung jawab yang mereka emban terhadap Negara. Istilah “paidea” yang dikenal kemudian adalah bentuk pendidikan yang berupa pewarisan karakter fisik, sosial dan intelektual manusia sampai pada tataran lebih tinggi dalam kemanusiaan. Artinya pendidikan ini merupakan upaya mencapai keutamaan tertinggi dalam sebuah komunitas. Sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan pada zaman Yunani kuno adalah proses aktivitas mencari dan menelusuri kebermaknaan hidup sebagai manusia secara utuh, penuh dan menyeluruh. Pendidikan pada akhirnya membantu setiap individu untuk memaknai hidup dan menyadari kodrat hidup mereka masing-masing.
Persoalan pendidikan
Pada intinya, pendidikan adalah usaha terpadu dalam rangka memanusiawikan manusia, lewat pembentukan karakter yang bertujuan membentuk peserta didik menjadi pribadi yang berkeutamaan, terpandang karena memiliki arĂȘte dan budaya intelektual. Namun, pada kenyataanya tendensi yang terjadi di institusi-institusi pendidikan dewasa ini adalah adanya ketidakseimbangan antara pembentukan kemampuan rasional, emosional, moral, sosial dan spiritual. Kini rumah-rumah pendidikan lebih banyak berkonsentrasi pada pemantapan akal atau rasio sementara sisi humanis dalam diri peserta didik terbaikan bahkan mati. Maka tidak heran kalau pada abad ini ada banyak ahli yang berkompeten dalam berbagai bidang, namun pada abad ini juga ada banyak kehancuran, kebiadaban, terorisme, ancaman global warming, dan kekacuan. Artinya pendidikan yang tinggi tanpa dibarengi dengan pembentukan karakater manusia secara terpadu hanyalah melahirkan manusia robot yang punya otak, tapi tak punya akhlak, moral, hati, dan budaya.
Persoalan lebih jauh adalah kurikulum pendidikan yang selama ini digunakan lebih dititikberatkan pada sisi kognitif yang berlebihan, tanpa upaya memberi tempat pada pendidikan afektif, dan moral peserta didik. Mari kita lihat isi kurikulum yang disediakan pemerintah, hampir semuanya dijejali dengan materi-materi yang padat, bahkan menurut saya berlebihan. Semua isi materi itu harus selesai pada waktunya, sementara waktu yang terpakai untuk belajar efektif tidak sebanding dengan isi kurikulum. Yang sering terjadi adalah guru berkonsentrasi mengejar bahan, sementara siswa stress ditempa beban yang terlalu berat.
Masalah lain dalam dunia pendidikan kita adalah kurikulum yang disediakan tidak begitu mendalam, tapi hanya sebatas kutipan-kutipan, rumus-rumus, dan nama-nama tokoh yang terlalu banyak. Semuanya hanya selintas numpang lewat, tanpa ada pendalaman yang berarti. Dengan kata lain, kurikulum yang masih digunakan saat ini memaksa siswa berhenti pada konteks menghafal, bukan berpikir.
Munculnya kebijakan Ujian Nasional (UN) semakin memperkeruh proses pendidikan. Institusi-institusi sekolah berfokus pada “bagaimana caranya supaya siswa lulus”, dengan menghalalkan segala cara. Cara berpikir pragmatis seperti ini semakin merongrong dunia pendidikan karena berakibat fatal pada masa depan pendidikan. Dengan sistem ini, yang diutamakan adalah kemampuan siswa menjawab soal, berusaha membentuk peserta didik secerdas mungkin, sementara sisi yang lain berantakan.
Pada tingkat universitas yang menjadi masalah pendidikan adalah gencarnya berbagai institusi perguruan tinggi yang menawarkan kemudahan mendapatkan pekerjaan. Peserta didik dibentuk se-instan mungkin agar dapat bekerja dan sukses mendapatkan gaji yang menjajikan, tanpa mempersoalkan apakah mereka punya karakter dan moralitas. Maka tepatlah bila dikatakan bahwa pendidikan masa kini hanya membentuk “tukang” yang hanya bisa bekerja dan bekerja tanpa roh, visi dan isi. Pendidikan semakin kehilangan makna universalnya sebagai wahana pembentukan individu semakin lebih manusiawi yang mampu mengembangkan dimensi individual dan sosialnya secara seimbang.
Pendidikan humaniora
Pada dasarnya pendidikan adalah proses humanisasi dalam arti mengolah potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk lebih manusiawi. Pendidikan seharusnya menjadi wahana proses transformasi diri dari sikap ignorant menuju kesadaran diri kritis atas apa yang terjadi dalam diri dan lingkungannya. Idealnya pendidikan mencakup pengembangan logos, eros, ethos, dan pathos, yakni proses pengembangan intelektualitas, kreativitas, integritas dan solidaritas secara integral. Dalam konteks ini, para pendidik mestinya tidak hanya memberi pengetahuan kognitif, tapi juga mendidik hati nurani para peserta didik sehingga mampu membentuk mereka mengendalikan naluri dan mengekspresikan diri secara memadai.
Idealnya pendidikan humaniora menyentuh proses pembentukan pribadi peserta didik. Ihwal tersebut mencakup pembetukan integritas, moralitas dan pribadi yang berkeutamaan. Tujuan metode ini adalah membentuk manusia menuju kesempurnaan ideal antara jiwa dan badan, budaya intelektual dan spiritualitas. Proses pendidikan yang menekankan pada pengembangan kepribadian ini mencakup proses yang lebih luas, yaitu meningkatkan olah pikir, olah rasa, dan olah karsa. Dengan harapan peserta didik mampu mempraktikkan nilai-nilai kehidupan yang meliputi nilai kebenaran (verum), keindahan (pulcrum) dan kebaikan (bonum).
Pendidikan humaniora juga menciptakan pendidikan yang memampukan peserta didik mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan penerapan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan tadi. Artinya sistem pendidikan ini akhirnya menitikberatkan pada pola pendidikan yang berpusat pada peserta didik. Pendidikan yang membantu manusia menjadi individu yang mandiri, otonom, kritis dan partisipatif. Peserta didik tidak lagi sepenuhnya tergantung pada guru, melainkan menjadi mitra yang sederajat dan saling menghormati otonomi, martabat, dan integritas masing-masing.
Metode sistem pendidikan humaniora memberi penekanan pada pendekatan humanistik yang lebih mengutamakan proses pembelajaran, eksplorasi dan menstimulasi peserta didik untuk bertanya, mengintegrasikan aspek kognitif, afektif dan konatif dalam proses pembelajaran. Dalam konteks yang lebih besar, sistem pendidikan humaniora adalah pembelajaran nilai-nilai yang menekankan pada dimensi eksperiensial yang mencakup proses: learning by doing, learning by experiencing, learning by living in, learning by exploring dan learning by problem solving (Bambang Sugiharto (ed), Humanisme dan Humaniora, 2008, hal. 358).
Dengan metode ini (meminjam istilah Bambang Sugiharto), maka peranan pendidikan humaniora dalam dunia pembelajaran adalah memampukan setiap individu menjadi agen perubahan yang memiliki kesadaran dan keutamaan nilai-nilai. Artinya peserta didik mampu menyadari bahwa dirinyalah pusat dan pelaku utama. Di sisi lain, peserta didik dibantu untuk menyadari kehadiran pihak lain (liyan) sebagai sarana yang membuatnya menjadi lebih baik, lewat interaksi dan kehadiran mereka. Peserta didik juga mampu melihat alternatif-alternatif baru untuk membaharui pemikiran secara terus menerus (learning to learn) dan menyadari adanya kemungkinan baru untuk berpikir, merasa dan berhubungan dengan pihak lain.
Proses pendidikan ini membuat individu sampai pada kesadaran dan kemampuan mengelolah kultur sendiri sebagai salah satu alternatif pembelajaran. Kesadaran tersebut hanya mungkin terealisasikan bila peserta didik memiliki budaya membaca dan menulis yang tinggi. Lewat etos baca-tulis individu semakin mampu mengasah kemampuan untuk bernalar panjang secara analitis dan mandiri, menyentuh kedalaman inti persoalan dan membentuk individu yang matang.
Pada akhirnya pendidikan bukan hanya transfer keterampilan teknis, melainkan soal pembentukan kreativitas, otonomi, dan partisipasi peserta didik dalam membaca dan memahami kehidupan.
Noverius Laoli, Alumnus Filsafat Unpar