Akhir-akhir ini kita menemukan kecenderungan institusi-institusi pendidikan yang mereduksi diri menjadi semacam balai latihan “pertukangan” belaka, melahirkan tukang yang ahli namun tanpa visi; terampil namun tanpa ruh dan isi.
Ihwal tersebut semakin terang dalam proses pendidikan yang sekarang sedang digalakkan di berbagai belahan negeri ini. Di mana pendidikan menjadi sebuah ajang pembentukan kognitif semata seperti dapat lulus UN, tapi tanpa memperhatikan segi nurani dan karakter peserta didik.
Pada dasarnya pendidikan adalah aktivitas mencari dan menelusuri kebermaknaan hidup sebagai manusia secara utuh dan menyeluruh. Dalam proses pendidikan setiap individu diarahkan untuk memaknai dan menyadari kodrat hidupnya.
Di dalam kebudayaan Yunani Kuno, pendidikan dapat diilustrasikan sebagai pengolahan tanah pertanian di mana benih dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah. Di sini pendidikan dilihat sebagai usaha terpadu untuk memanusiakan manusia, membentuk karakter sehingga menghasilkan pribadi yang memiliki keutamaan. Melalui pendidikan setiap individu mampu membangun sinergi konstruktif bagi pengaktualan potensi-potensi kecerdasan dalam diri mereka. Maka salah satu tujuan pendidikan di Yunani Kuno adalah proses menumbuhkan kesadaran diri warga Negara akan seperangkat aturan dan tanggung jawabnya kepada Negara.
Pada zaman renaisans, Paus Pius II mendefinisikan pendidikan sebagai proses menanamkan kebiasaan yang terbukti baik untuk masa depan anak didik. Sehingga pada masa itu pun pendidikan lebih banyak diarahkan pada proses pembentukan keutamaan dan kebijaksanaan. Untuk membentuk pribadi yang bijaksana, maka habitus membaca menjadi salah satu alternatif yang paling mendekati, seperti dikemukakan Toni Davies, “Membaca membuat manusia mampu berbicara, dan berbicara membuat pendapat kita dikenal dan pemikiran kita dipahami.”
Namun secara keseluruhan pendidikan harus mencakup aspek pengembangan fisik dan psikis yakni menyangkut persoalan afeksi dan psikomotorik. Ihwal tersebut semakin signifikan untuk mengembangkan seluruh aspek yang ada dalam diri manusia. Itulah sebabnya pendidikan bukan hanya soal otak dan tangan, tapi juga soal hati dan jiwa (ruh). Pendidikan harus mencakup pengembangan logos, eros, ethos, dan pathos. Artinya dalam proses pendidikan aspek intelektualitas, kreativitas, integritas dan solidaritas harus dikembangkan secara integral.
Pentingnya kebebasan hati nurani dalam proses pendidikan merupakan hak natural setiap manusia. Lewat kebebasan hati nurani setiap individu dibentuk untuk berani bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Melalui pendidikan hati nurani, setiap individu yang mengenyam pendidikan tidak hanya mengetahui kebenaran, tapi juga mampu mencintai dan melakukan kebaikan. Artinya setiap peserta didik tidak hanya menjadi orang yang terpelajar, tapi juga menjadi orang yang bijaksana. Sebab tujuan pendidikan adalah membentuk dan menyempurnakan humanitas.
Pendidikan tidak hanya perkara transfer pengetahuan dan informasi, tapi juga mendidik hati nurani hingga mampu membantu setiap pelajar mengendalikan nurani dan mengekspresikan diri secara memadai. Pendidikan harus menjadi proses humanisasi, dalam arti mengolah potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk menjadi lebih manusiawi, sehingga memampukan setiap individu membangun sikap kesadaran diri yang kritis atas apa yang terjadi dalam diri dan lingkungannya.
Idealnya pendidikan hati nurani mampu menyentuh aspek pribadi individu yakni membentuk integritas, moralitas, mentalitas dan pribadi yang berkeutamaan. Pendidikan macam ini mampu mengembangkan kepribadian seperti olah pikir, olah rasa, dan olah karsa. Hasilnya adalah setiap individu mampu mempraktikkan nilai kebenaran (verum), keindahan (pulcrum), dan kebaikan (bonum).
Pada intinya pendidikan harusnya disampaikan melalui pendekatan humanistik yang menekankan pada proses pembelajaran, eksplorasi dan menstimulasi setiap individu untuk bertanya, mengintegrasikan aspek kognitif, afektif dan konatif. Tujuannya adalah membentuk setiap individu yang mandiri, kritis, partisipatif, prokreatif dan bertanggung jawab. Seorang individu harus mampu menyadari diri sebagai agen perubahan sehingga memiliki keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan baru.
Noverius Laoli, Alumnus Filsafat Unpar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar