Ketidakadilan masih dirasakan masyarakat kecil di pedesaan. Kenyataan ini menyeruak ketika kepala desa, penatua-penatua, dan pengambilan kebijakan di daerah tersebut, masuk angin. Artinya mereka mendapat sogokan dari salah satu pihak yang bersengketa. Akibatnya, yang tidak bersalahpun, dijatuhi hukuman lantaran dituduh melakukan kesalahan, dan mereka tidak mampu membela diri. Bahkan jika mereka membantah, mereka dituduh melawan keputusan pemerintah daerah setempat. Bahkan acapkali masyarakat kecil tersebut ditekan dengan cara dibentak-bentak saat keputusan yang dipaksakan diambil.
Kenyataan ini penulis saksikan sendiri. Pekan lalu (Rabu 11/4/2012) ketika pulang ke kampung halaman di Desa Lubuk Ampolu, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Masalah yang menyeruak kala itu adalah permasalahan perbatasan tanah, khususnya kebun karet, milik dua orang petani karet. Salah satunya, sebut saja bernama, Baharuddin, mengklaim perbatasan kebun miliknya, dengan sebut saja bernama Gano. Baharuddin menuturkan bahwa perbatasan kebunnya dengan Gano bukanlah perbatasan yang sudah ada saat ini, melainkan harusnya di tengah kebun milik Gano. Gano tentu saja membantah dan mengatakan bahwa perbatasannya seperti yang sudah terjadi selama ini. Buktinya ada surat yang sudah ditandatangani oleh Baharuddin sendiri.
Selain itu, Gano juga bilang dia sudah menanam pohon karet dengan usia lebih dari 20 tahun di atas lahan tersebut, dan tidak ada gugatan apa-apa. Apalagi sebelumnya daerah itu adalah hutan. Namun, klaim Baharuddin muncul ketika ia menyuruh orang menebang pohon tersebut untuk dijual hasilnya. Tapi saat pohon kayu dikebunnya ditebang, pohon tersebut menimpa pohon karet milik Gano dan akhirnya lima pohon karetnya ikut tumbang ke tanah. Padahal dari pohon karet miliknya itulah, Gano bisa menyambung hidup sehari-hari.
Baharuddin bukannya meminta maaf atas kejadian itu, tapi justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai lahan Gano. Ia kemudian mengatakan bahwa perbatasannya ada di tengah kebun milik Gano dan bukan perbatasan yang sekarang. Jadi pohon karet yang tumbang tersebut adalah miliknya. Ia menguatkan klaimnya dengan menghadirkan saksi yang tampaknya tidak netral yakni anak dari pemilik kebun tersebut sebelumnya – mereka sudah menjual kebun tersebut sekitar 30 tahun lalu, dan saat itu masih hutan. Anehnya para saksi tersebut sudah pernah menjual tanah itu ke beberapa orang sebelum jatuh ke tangan kedua belah pihak. Selain itu, mereka begitu ngotot dan terkesan memaksakan agar kesaksian mereka diterima. Namun yang perlu dicatat mereka adalah keluarga dekat pengambil kebijakan yakni kepala desa di desa tersebut.
Yang tidak kalah serunya adalah yang mengambil keputusan terdiri dari kedua saksi tadi, ditambah kepala desa, Bapaknya kepala desa, dan Saudara laki-laki dari kepada desa, plus dua orang penatua di kampung tersebut. Semua kelompok tersebut membenarkan klaim Baharuddin dan menyalahkan Gano, tanpa memberikan analisa yang jelas dan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dua orang penatua lainnya yang tampak netral tidak bisa berbuat apa-apa bahkan sebelum mereka selesai bicara pun, perkataan mereka sudah dipotong oleh kelompok yang pro Baharuddin.
Perlu juga diketahui, saat mengambil keputusan yang dipaksakan tersebut disertai dengan bentakan-bentakan kepada pihak Gano, khusunya dari kepala desa, bersama dengan Bapaknya, yang juga penaehat dan Saudara laki-lakinya, yang tidak jelas jabatannya di desa tersebut. Namun Gano sebagai masyarakat di daerah ini tidak menerima begitu saja. Soalnya ia merasa bahwa tidak ada masalah di perbatasan tersebut, dia pun menolak keputusan itu. Namun, kepala desa, bersama dengan Bapaknya dan kakanya plus dengan saudaranya yang hadir di situ menuduh Gano tidak taat pada keputusan pemerintah daerah. Mereka memarahi Gano karena dianggap tidak menghargai keputusan mereka sebagai pemerintah daerah. Akhirnya mereka pun membuat keputusan bahwa Gano dilarang mengelola kebun miliknya lagi. Untuk menundukkan Gano mereka bilang, Gano hanyalah masyarakat biasa, jadi harus tunduk pada putusan mereka.
Di daerah yang sama, beberapa minggu sebelumnya, salah seorang warga yang dipukuli warga setempat nyaris dijatuhi sanksi, dengan alasan bahwa dia telah mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Sementara para pemukulnya tidak dihukum sedikit pun. Setelah ditilik lebih jauh, pemukul warga tersebut adalah warga setempat yang sudah lama berdiam di kampung tersebut dan punya kerabat yang punya pengaruh, sementara yang dihajar adalah pedatang baru yang mediami daerah tersebut sekitar satu tahun dan tidak punya saudara yang bisa membelanya.
Sungguh ironis menyaksikan kenyataan ini. Hati nurani penulis sebagai masyarat pun tergerak. Inilah kenyataan yang acapkali terjadi di daerah, dan tak pernah diekspos. Penguasa di desa tersbut berlagak seperti raja, dan terkadang bertindak otoriter. Mereka lupa bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi di mana setiap orang memiliki hak untuk membela diri. Sistem feodalisme macam ini ternyata terus dipelira di daerah-daerah untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Apalagi jika pejabat daerah mendapatkan sogokan. Sebuah tindakan yang tidak terpuji dan memalukan.
Melalui artikel ini, penulis hendak mengugah kesadaran para pemimpin di negeri ini, khususnya kepada pengambil kebijakan di daerah seperti Bupati dan Camat. Mereka tidak bisa menutup mata atas peristiwa-peristiwa ketidakadilan yang dialami warga di wilayah mereka, hanya karena warga tersebut tidak tahu apa yang menjadi hak mereka dan ke mana mereka harus mengadu. Dibentak saja, mereka sudah tidak bernyali. Mengadu ke polisi mereka takut karena tidak tahu harus bilang apa, dan tidak uang pelicin agar kasusnya diperhatikan.
Noverius Laoli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar