Istilah "sökhi mate moroi aila" (lebih baik mati dari pada malu) ini sempat populer khususnya di kalangan masyarakat Nias saat Menkumham Yasonna Laoly menggunakan istilah itu dalam diskusi di salah satu televisi nasional beberapa waktu lalu. Namun sebagian kalangan menafsirkan istilah peninggalan leluhur orang Nias itu sudah tak relevan lagi.
Saya termasuk salah satu yang memandang peribahasa ini negatif. Secara logis orang mati tak bisa berbuat apa-apa lagi. Sementara kalau hanya malu, tapi masih hidup, kita masih bisa berbuat sesuatu untuk menebusnya. Kendati demikian, tidak juga salah kalau kita menelusuri secara historis kenapa istilah ini muncul dan masihkah ada hal positif yang tersisa darinya?
Nah dalam diskusi webinar yang diselenggarakan HIMNI Bandung pada Minggu sore (30/5/2021) kemarin istilah "sökhi mate moroi aila," ini secara khusus dikupas dengan menghadirkan narasumber top.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam pidato kuncinya mengatakan bahwa istilah ini tak bisa diartikan secara harafiah dan sempit. Tapi istilah ini lebih pada mendorong kita untuk menjaga sikap kita dalam relasi dengan sesama. Bagaimana agar kita menghormati orang lain sehingga kita tidak dipermalukan.
"Kalau tidak mau dipermalukan, jangan mempermalukan orang lain," tegas Wamenkeu orang nias ini.
Sementara itu, Ephorus BNKP, Pendeta Tuhoni Telaumbanua memberi dasar historis istilah ini. Menurutnya istilah ini muncul tak terlepas dari filosofi atau tujuan hidup (goal) masyarakat Nias (Ono Niha) pada zaman dulu. Tujuan hidup Ono Niha itu adalah menjaga lakhömi (kemuliaan).
Hal-hal yang mendukung lakhömi ini seperti punya kekayaan, kaya akan pengetahuan, punya keturunan, menjaga nama baik atau identitas seperti kepemilikan wilayah, tanah dsb.
Sebagai contoh, pada zaman dulu, zaman perang antar kampung di Nias, upaya untuk menjaga wilayah (kampung) dari serangan musuh mutlak dilakukan. Ono Niha mempertaruhkan nyawa demi itu, karena itu menyangkut harga diri dan identitas.
Agar goal itu tercapai maka mereka harus meningkatkan kualitas diri mereka. Baik itu fisik untuk pertahanan maupun kecerdasan agar tak terkecoh musuh.
Nah, dari sudut pandang inilah istilah "sökhi mate moroi aila" masih relevan untuk kita hidupkan pada zaman disrupsi ini. Bahwa sebagai Ono Niha kita punya goal yang harus kita perjuangan mati-matian. Bagaimana agar kita dapat menjaga "lakhõmi" kita tetap bersinar.
Salah satu caranya adalah dengan membuat diri kita berkualitas. Kita harus berjuang keras menjadi orang yang sukses tanpa mengabaikan norma-norma hukum.
Dalam konteks inilah istilah "sökhi mate moroi aila" bisa menjadi panduan hidup Ono Niha.
Marinus Gea, anggota DPR dari Fraksi PDIP misalnya mengatakan bahwa istilah ini juga relevan bagi orang lain yang merantau. Orang Nias yang merantau harus sukses kalau tidak maka mereka malu. Kalau pulang kampung harus menunjukkan bawa mereka sukses.
Selain itu, ia juga menemukan sangat jarang orang Nias yang merantau mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rendah seperti OB atau tukang kebun, karena mereka malu kalau diketahui orang sekampung. Untuk itu, mereka harus kerja keras agar sukses diperantauan.
Marinus Gea ini termasuk tokoh Nias yang sukses diperantauan karena ia menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Banten.
Kasianus Telaumbanua, hakim tinggi di Jambi juga mengingatkan bahwa baik untuk tetap menjaga nilai-nilai warisan leluhur. Namun hendaknya juga dalam menjaga harga diri tetap memerhatikan koridor hukum agar tidak melanggar hukum, dan adat istiadat setempat.
Setelah menelaah opini di atas, istilah "sökhi mate moroi aila" masih sangat relevan bagi kita saat ini. Istilah ini memberi makna tujuan hidup kita Ono Niha yakni kita harus bekerja keras agar kita molakhōmi, agar identitas diri dan derajat kita sebagai manusia tetap terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar