Kringg!! Itu dering telepon kedelapan. Aku tahu pasti siapa peneleponnya. Nenek.Dia masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh ibuku.
Ibu. Itulah alasan Nenek untuk menyuruhku pulang. ”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.
”Nenek akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas Nenek.
Nenek memang tipe orang yang suka mendesak. Kupikir-pikir sekarang, sifatnya itu memang aku perlukan. Jika tidak, mungkin aku akan mati. Atau akan jadi pengangguran di rumah. Atau pasrah saja jika ada orang yang melamarku. Atau jadi gila. Namun semua pilihan itu tidak terjadi padaku. Berkat Nenek. Dengan keras kepala, dia akan menyuruhku ini itu. Membangunkanku agar tak terlambat ke sekolah. Menyiapkan makanan untukku, hingga memilihkan kursus apa saja yang ketika tiba waktunya, ternyata memang berguna. Toh ketika aku sudah bisa hidup dengan kemampuanku sendiri, bahkan bisa dibilang berlebih, Nenek tak pernah sedikit pun meminta apa pun dariku. Dia hanya memintaku untuk pulang setiap Natal.
Dibanding Nenek, Ayah tak memiliki pengaruh apa pun buatku. Dia sama mati surinya denganku. Membeku. Diam. Hanya melihatku dengan matanya, tapi tidak dengan jiwanya. Dia sering hanya menghabiskan waktu di kamarnya, atau di kebun, atau di perpustakaan, atau di teras rumah. Aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya.
Di kemudian hari, kutemukan banyak sekali sketsa berisi sosok Ibu dan diriku di kamarnya.
Kata Nenek, Ayah menjadi pendiam seperti itu sejak kepergian Ibu. Saat aku berusia tiga tahun, Ibu pergi dari rumah tanpa pamit. Dia baru bilang keberadaannya setelah dua tahun kemudian. Sepucuk surat datang pada suatu sore. Dikirim dari Brooklyn, New York. Di surat itu, Ibu mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan lebih memilih tinggal di sana. Dia berjanji suatu saat akan pulang.
Janji itu ditepatinya saat ini. Ketika aku sudah berusia seperempat abad. Usia di mana aku sudah tak membutuhkannya lagi. Saat di mana aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu.
Buatku, Nenek lebih dari seorang Ibu. Bahkan juga menjadi Ayah bagiku. Jadi aku merasa tak perlu untuk menemui Ibu. Tidak untuk Natal kali ini, maupun di hari yang lain. Namun Nenek begitu mendesakku untuk pulang. Lima Natal sebelumnya, aku tidak lagi pulang dan Nenek tidak berkata apa pun. Dia sudah sangat mengerti aku telah memiliki kehidupan sendiri. Justru karena aku lama tak pulang inilah, Nenek menggunakannya sebagai senjata untuk memaksaku.
”Nenek ndak masalah kamu sudah lama ndak pulang. Bahkan Nenek juga ndak pernah minta apa pun dari kamu kan? Sekarang Nenek cuma minta kamu pulang, tapi kamu masih mikir-mikir. Sudahlah. Jika kamu ndak mau pulang karena ibumu, setidaknya kamu pulang buat Nenek,” pinta Nenek dengan nada kesal. Ketimbang memelas atau mengiba, Nenek memang lebih nyaman untuk bersikap marah atau ngambek.
Setahuku dia memang bukan tipe nenek-nenek tua yang lemah. Tak heran jika dia masih bisa mengurus rumah sendiri di usia hampir 80 tahun hingga dua tahun lalu, kusewa seorang pembantu untuk membantunya. Usul yang ditolaknya mentah-mentah, namun Nenek berhasil kuancam untuk tidak mengusirnya.
”Dia sudah tidak punya rumah lagi, Nek. Kalau Nenek mengusirnya, dia bisa bunuh diri,” kataku.
Sesuai dengan iman Kristianinya yang begitu kuat, Nenek sangat membenci bunuh diri. Karena itulah dia mati-matian menjagaku dan Ayah untuk tidak mengakhiri hidup dengan tangan sendiri.
Pikiran tentang mengakhiri hidup sebenarnya tak pernah terlintas di benakku. Tidak dengan Ayah. Aku tahu dia sudah tak ada keinginan hidup tanpa Ibu di sisinya. Namun setelah bertahun-tahun kemudian, aku jadi berpikir mungkin karena kesetiaannya itulah Ibu pergi meninggalkannya.
***
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Nenek terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Nenek di gereja kota kecil ini. ”Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman misdinarmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Nenek sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.
Sejak aku tiba di rumah Nenek, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu Ibu. Begitu aku memasuki rumah, Nenek langsung menarikku ke ruang makan dan memperkenalkan seorang perempuan yang sedang duduk di kursi makan. Begitu melihatku, dia segera berdiri.
”Wid, apa kabar?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Kedua telapak tangan kami berjabatan. Seperti sepasang asing yang baru akan memperkenalkan diri.
”Baik. Bagaimana perjalanan Ibu?” tanyaku sambil menarik kursi di dekatnya.
Dan mengalirlah pembicaraan di antara kami bertiga: aku, Ibu, dan Nenek.
Ibu seorang perempuan yang tenang.
Cara bicaranya teratur. Senyumnya tipis dan seperlunya. Rambutnya panjang sebahu dengan sebagian uban di beberapa tempat. Tubuhnya kurus. Namun terlihat kuat dan kokoh. Meski kerut di beberapa bagian di wajahnya jelas terlihat, Ibu terlihat masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Bentuk wajahnya oval dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.
Pembicaraan kami lebih banyak tentang kehidupan Ibu di sana yang bekerja di sebuah galeri seni. Kemudian tentang penerbangan yang melelahkan dan rasa kangennya akan masakan Indonesia. Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia. Perbincangan kami terhenti karena Nenek sudah mengantuk. Kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing. Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah.
Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Ibu tengah duduk sambil mengisap rokok.
”Selamat Natal, Wid,” ujar Ibu sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng. ”Selamat Natal juga, Bu.”
”Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.
”Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
”Bagaimana suamiku meninggal saat itu?”
”Ayah meninggal saat tidur. Aku dan Nenek tak mengetahuinya sampai pagi, ketika Nenek hendak membangunkan dia.”
”Begitu ya. Tahukah kamu dari dulu dia menginginkan kematian seperti itu. Kematian yang mengendap-endap. Bak pencuri. Tak meninggalkan tanda apa pun. Tak merepotkan siapa pun,” kata Ibu sambil memandang kegelapan.
”Kenapa Ibu tak pulang waktu Ayah meninggal?”
”Aku tak cukup kuat melihatnya tak bisa lagi bergerak, tersenyum, atau sekadar menggodaku dengan cubitan di pipiku. Tahukah kamu, dia dulu sangat suka duduk di sini. Sambil melukis atau membersihkan rumput.
Sementara aku melihatnya dari balik jendela dapur. Begitu kamu lahir, dia tak lagi melukis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajakmu bermain di sini. Kamu didudukkan di rumput, dan kemudian dia akan merangkai berbagai macam bunga untuk dijadikan mahkota di kepalamu,” kata Ibu.
”Sepertinya indah dan menyenangkan. Lantas kenapa Ibu pergi?” akhirnya aku berhasil mempertanyakan hal yang dari dulu membuatku geram.
”Aku belum siap memiliki kamu. Sementara dia menginginkanmu begitu kami menikah. Ketika akhirnya aku hamil, dia semakin membuatku sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuatku merasa bersalah dari waktu ke waktu karena aku tak pernah bisa mencintainya sebesar itu. Saat kamu lahir, aku tahu dia akan bisa mencintaimu sebesar dia mencintaiku. Kujadikan dirimu sebagai penggantiku.”
”Ayah tak pernah bisa menjadikan siapa pun sebagai pengganti Ibu. Termasuk diriku.”
”Aku tahu. Perpisahan yang sia-sia,” ujar Ibu sambil beranjak dari duduknya. ”Aku sudah mengantuk, Wid. Aku tidur dulu ya,” pamit Ibu.
Aku mengangguk dan memutuskan tetap duduk sambil menunggu fajar. Dalam kegelapan, aku membayangkan kehidupanku jika Ibu tak pernah pergi. Mungkin Ayah tetap hidup dan setiap tahun aku akan pulang untuk merayakan Natal. Kemudian kami semua akan berkumpul di dekat pohon natal sambil saling bertukar kado.
Atau seperti di film-film Hollywood, aku, Ibu, dan Nenek akan memasak hidangan natal bersama. Mungkin juga akan muncul pertengkaran layaknya sebuah keluarga, ketika aku memperkenalkan calon suami saat Natal tiba dan orangtuaku tidak menyetujuinya. Bahkan bukan tidak mungkin aku sudah memberikan cucu untuk Ayah dan Ibu.
Dua hari setelah Natal, Ibu pulang. Aku tetap tinggal di rumah Nenek sampai Tahun Baru. Setelah kepergiannya, aku akhirnya menyadari bahwa Ibu pergi karena tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulan ini kudapatkan dari cerita Nenek dan hadiah Natal dari Ibu. Sewaktu kubuka, hadiah itu berisi album foto yang memasang foto-fotoku sewaktu kecil. Aku belum pernah melihat foto-foto itu.
Sembari melihat isi album foto itu, Nenek akhirnya bercerita bahwa Ayah begitu menginginkan anak dalam pernikahannya dengan Ibu. Aku lahir lima tahun kemudian. Namun kehadiranku tak bisa menghalangi kepergian Ibu. Bagi Ayah, aku adalah hadiah dalam hidupnya.
Sementara bagi Ibu, kehadiranku adalah memorabilia ketidaksetiaannya. Kini aku menyadari mengapa wajahku tidak sama dengan Ayah maupun Ibu. Di halaman terakhir album foto itu, kulihat diriku sewaktu kecil berada di sebuah taman. Aku dipangku Ibu yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan sorot mata dan senyum yang sama denganku.
Jakarta, Desember 2010
Oleh: Fransisca Dewi Ria Utari,
Sumber Kumpulan Cerpen Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar