Menjelajahi Daerah Sitonggi Tonggi
Sitonggi Tonggi merupakan sebuah desa terpencil di daerah Sumatera Utara. Daerah ini berada di sebuah desa bernama Lubuk Ampolu, kecamatan Badiri, (dulu kecamatan Lumut), Kabupaten Tapanuli Tengah, sekitar 24 kilometer dari Kota Sibolga. Sitonggi bukan nama desa, melainkan nama daerah, kemudian berkembang menjadi lorong dua desa Lubuk Ampolu. Kalo dicari di Peta, mungkin daerah ini belum terdaftar. Kalau digoogling juga memang menemukan istilah sitonggi tonggi sebagai nama daerah, tapi bukanlah sitonggi-tonggi yang dituliskan di sini.
Karena itu, ada baiknya aku memulai cerita ini saja. Sebagian besar penduduk di Sitonggi Tonggi adalah etnis Nias, perantauan dari pulau Nias. Dapat dikatakan hampir 99% adalah keturunan Nias. Sementara di desa Lubuk Ampolu menjadi mayoritas melampauhi dua pertiga penduduk desa tersebut. Sehingga yang menjadi kepala desanya pun berasal dari orang nias yang tinggal di Sitonggi-tonggi. Mata pencaharian masyarakat di situ adalah menyadap karet. Kebun karet tersebut tersebar tidak jauh dari daerah yang dilintasi sungai tersebut. Sampai saat ini nama sungai tersebut belum jelas, atau mungkin tidak pernah diberi nama. Orang nias yang berada di sitonggi-tonggi sering menamakan sungai tersebut sebagai "lufia" artinya sungai, berasal dari bahasa nias.
Kebun karet yang dijadikan mata pencaharian utama penduduk ini sebagian besar milik sendiri. Namun, sebagian sudah dimiliki orang di luar perkampungan ini. Kepemilikan tersebut mulai terjadi sejak tahun 2000-an. Sebab sejak tahun 2005 ke atas, harga karet semakin melonjak tinggi. Kenaikan harga karet tersebut memicu pemilik modal untuk membeli sebagian besar lahan karet di daerah tersebut. Uang dalam jumlah besar ternyata cukup menggiurkan para petani pemilik lahan karet tersebut. Mereka menjualnya ramai-ramai. Kemudian mereka kembali menyadap karet di kebun mereka tersebut, tapi sebagai pekerja dan bukan lagi pemilik. Biasanya, hasil dari penyadapan karet tersebut akan dibagi dua dengan pemilik kebun. Pola kerjanya juga tergantung luas lahan karet yang dikerjakan.
Umumnya, penduduk di sini akan berangkat bekerja di pagi buta. Alasannya, selain kebun karet yang disadap jauh dari rumah, juga karena di pagi hari getah dari pohon karet akan mengalir lebih banyak bila disadap. Sementara kalau di siang hari, getah pohon karet yang disadap tidak sebanyak jika disadap dipagi hari. Bekerja di pagi hari menjadi sebuah pilihan yang sangat rasional bagi penduduk. Selain karena tubuh masih segar, juga sinar matahari belum begitu menyegat kulit. Sehingga pola kerjanya akan lebih cepat dibanding pada siang hari. (Noverius L)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar