Femi Adi Soempeno saat di semayangkan di Rumaha Sakit Harapan Kita, Slipi Jakara, Rabu 23 Mei 2012. Foto, oleh: Noverius Laoli |
Peristiwa nahas jatuhnya Pesawat Sukhoi buatan Rusia meninggalkan kenangan mendalam akan seorang sahabat. Femi Adi Soempeno, wartawan Bloomberg, Media asal Amerika Serikat.
Femi yang saya kenal adalah sosok pribadi yang hangat dan menyenangkan. Selain sebagai sosok yang cerdas, ia juga seorang yang mudah bergaul. Meskipun aku tidak mengenalnya secara dekat, tapi kami sempat beberapa kali liputan bersama di pengadilan. Pertama sekali mengenalnya sebenarnya bukan di pengadilan, melainkan di gedung Kontan, Media Bisnis dan Ekonomi, tempat aku bekerja.
Kala itu, salah seorang asisten redaktur (Asred) memperkenalkan perempuan kelahiran Yogyakarta, 4 April 1980 ini. “Mbak Femi ini dulu redaktur saya, dialah yang membimbingku menulis sehingga bisa sampai seperti sekarang ini,” jelasnya. Femi pun saat itu hanya senyum-senyum saja tanpa memberikan komenter apa-apa.
Aku pun berlagak biasa saja, bersalaman dan berkenalan dengannya. Namun setelah itu, aku tak bertemu denganya lagi. Beberapa bulan berselang, aku bertemu secara tidak sengaja dengannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat itu kami sedang mewawancarai pengacara senior yakni Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan.
Persoalan yang kami angkat terkait masalah Citibank dengan nasabahnya almarhum Irzen Octa, yang diduga mengalami kekerasan dari debt kolektor Citibank. Setelah melakukan wawancara, kami melirik satu sama lain dan kaget. Sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya. Dan tidak susah bagi kami untuk saling mengenal. Apalagi, Femi pernah menjadi wartawan Kontan, meskipun sudah tidak bekerja di media ini saat aku menjadi wartawan di sana.
Dari pertemuan tersebut, kami beberapa kali bertemu di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta. Seperti baisa, kami liputan bareng dan ngobrol sekedar basa-basi. Terakhir kami bertemu dan berbincang banyak hal ketika sidang perdana Muhammad Nazaruddin.
Satu hal yang membuat saya berkesan atasnya adalah orangnya sangat perhatian, hangat, menyenangkan dan tepat janji. Sebagai contoh, ketika sedang liputan Nazaruddin, aku sekedar iseng aja meminta tolong kalau nanti ia dapat berkas, aku minta foto kopinya.
Setelah sidang pledoi Nazaruddin selesai, aku sudah melupakan permintaan tersebut dan fokus mewawancara pengacara. Tapi, tiba-tiba saat selesai wawancara, Femi mencari aku, dan ia langsung menyodorkan salah satu berkas pembelaan Nazaruddin kepadaku. “Ini gua tadi ambil dua, satu untuk lu dan satu untuk gua, gua cabut dulu ya, masih liputan di tempat lain soalnya,” ucapnya sambil tersenyum dan langsung pergi.
Tak disangka, mungkin itukah terakhir kali liputan bersama dengan Femi? Aku tidak tahu. Tapi peristiwa jatuhnya Sukhoi, ternyata menyisahkan kenangan dengan Femi. Wajah dan senyumnya sekilas melintas dalam benak. Bahkan seperti tidak percaya ia ikut dalam penerbangan itu. Rasa-rasanya, Femi masih baik-baik saja. Semoga ia tetap baik-baik saja.
Salah seorang teman seangkatannya saat jadi wartawan di Kontan bercerita, beberapa hari yang lalu sebelum peristiwa naas ini, Femi sempat makan bersama dengannya. Dalam perbincangan mereka, Femi menuturkan bahwa ia telah menyiapkan tulisan atau obituari untuk tokoh-tokoh besar di Indonesia yang dia prediksi akan meninggal dunia dalam beberapa tahun ke depan, atau bisa saja meninggalnya mendadak.
Nah, obituari itu akan langsung dipublikasikan kalau tokoh yang dipersiapkan obituari itu meninggal secara mendadak. Apakah ini tanda-tanda? Aku tidak tahu. Meskipun demikian, Tuhan mungkin berkehendak lain.
Saat ini, Femi telah berada di tempat terindah yang menjadi asal dan tujuan. Selamat jalan sahabat, kau kami kenang sebagai seorang wartawan yang hangat, cerdas dan bersahabat.
Noverius Laoli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar