Hari ini, 1 Mei 2012, kita kembali memperingati Hari Buruh se-Dunia.
Seluruh gerakan buruh dari berbagai sektor turun ke jalan, melakukan
aksi memprotes kondisi kesejahteraan dan kondisi kerja yang belum adil
bagi kaum buruh. Tidak terkecuali buruh media, yakni para jurnalis, juga
belum merasakan kesejahteraan dan kondisi kerja yang adil. Bagi
jurnalis, bahkan tidak hanya menghadapi persoalan kesejahteraan saja,
tetapi juga masalah kebebasan pers yang semakin mengancam, yang datang
dari aparat negara, laskar kemasyarakatan, dan intervensi pemilik
perusahaan pers terhadap independensi ruang redaksi .
Ancaman terakhir inilah yang kini dirasakan AJI Jakarta semakin mengkhawatirkan. Terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, AJI Jakarta melihat pemusatan kepemilikan media semakin kentara, terutama di media televisi, sehingga mengancam independensi ruang redaksi Kolaborasi penguasa partai politik dan penguasa media massa bakal menempatkan jurnalis Indonesia menjadi lebih rentan terhadap berbagai intervensi politik kekuasaan. Kondisi ini tentu sangat mengancam fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi menjalankan kontrol publik terhadap jalannya kekuasaan negara dalam kehidupan sehari-hari.
Gurita konglomerasi media saat ini semakin menakutkan. AJI Jakarta bersama sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk mengingatkan kembali tentang bahayanya pemusatan kepemilikan bagi publik, dalam perayaan hari buruh ini, AJI Jakarta mengusung ikon gurita, simbol bahwa jurnalis semakin terjepit dalam situasi konglomerasi media saat ini.
Ironisnya, dalam situasi saat ini, kesejahteraan jurnalis semakin memprihatinkan. Di Jakarta saja, hasil survei upah jurnalis yang dilakukan AJI Jakarta menjelang hari buruh kali ini, menunjukkan banyak jurnalis di Jakarta memiliki penghasilan yang tidak layak, diukur dari standar upah layak AJI Jakarta tahun 2012 yang tahun sebesar Rp 4,9 juta per per bulan –ralat, sebelumnya ditulis Rp 5,2 juta per bulan-- (take home pay, untuk jurnalis setingkat reporter dengan masa kerja 1-3 tahun). Ternyata, jurnalis televisi dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan (lihat daftar survei upah).
Kondisi ini tentu tidak kondusif untuk menciptakan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia. Kesejahteraan jurnalis yang rendah tentu akan membuat jurnalis rentan mendapat godaan suap dalam bentuk apapun dari narasumber. Ini sangat membahayakan bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik.
Selain masalah kesejahteraan dan kebebasan pers yang mencuat, kondisi kerja jurnalis di Jakarta awal tahun ini diwarnai dengan pemberangusan serikat pekerja oleh perusahaan media. Pemberangusan serikat pekerja ini menandakan media massa di Indonesia belum benar-benar menjadi instrumen demokrasi yang sejati, karena perusahaan media justru menebarkan ancaman terhadap kebebasan bersuara dan berorganisasi bagi jurnalis. Hal ini tercermin dari kasus Luviana dan pemecatan 13 orang anggota dan pengurus Serikat Pekerja Indonesia Finance Today (IFT) yang saat ini diadvokasi oleh AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Luviana, jurnalis perempuan dari Metro Tv, tiga bulan terakhir ini dibebastugaskan oleh Manajemen Metro Tv lantaran menuntut perbaikan kesejahteraan, meminta perbaikan manajemen ruang redaksi, dan menggagas berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di Metro TV, perusahaan televisi milik Surya Paloh, seorang pengusaha yang juga pendiri Partai Nasdem dan tengah gencar menggaungkan slogan Restorasi Indonesia itu melalui televisinya.
Begitu juga dalam kasus Serikat Karyawan IFT. Tiga belas orang jurnalis anggota Sekar IFT telah dipecat secara sepihak oleh manajemen PT Indonesia Finanindo Media, perusahaan media penerbit harian Indonesia Finance Today (IFT). Para jurnalis anggota dan pengurus Sekar IFT ini tengah memperjuangkan hak normatifnya, antara menuntut manajemen mengembalikan pemotongan gaji sepihak 5%-27,5% yang berlaku sejak Februari 2012, membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan selama tahun 2011. Kesemua tuntutan karyawan itu sebenarnya merupakan hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja Sama (Kontrak Kerja) yang dilanggar sendiri oleh manajemen.
Kasus Luviana dan Sekar IFT menunjukkan ancaman kebebasan bersuara dan berpendapat di perusahaan pers masih mengintai setiap saat. Pemilik media juga masih alergi terhadap keberadaan Serikat Pekerja sehingga memberangus serikat (Union Busting). Padahal keberadaan serikat pekerja amat diperlukan bagi jurnalis untuk memperbaiki iklim kerja yang masih tidak demokratis. Antara lain masih diberlakukan sistem kontrak kepada jurnalis di luar ketentuan.
Kondisi inilah yang membuat AJI Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya, turun ke jalan melakukan aksi MayDay bersama para buruh. Dalam peringatan hari buruh 2012 ini, AJI Jakarta menyatakan sejumlah sikap sebagai berikut:
1. AJI Jakarta menuntut negara tidak boleh lagi absen dalam upaya melindungi jurnalis dari ancaman kekerasan. Negara juga perlu berperan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang konstitusional untuk mencegah pemusatan kepemilikan media.
2. AJI Jakarta mendesak perusahaan media untuk lebih menghargai jurnalisnya dengan memberikan upah yang layak, memperbaiki kontrak kerja, serta melindungi kebebasan bersuara dan berserikat.
3. Menyatakan upah layak jurnalis tahun 2012 sebesar Rp 4,9 juta per bulan (ralat, sebelumnya dinyatakan Rp 5,2 juta per bulan). Kami mendesak upah layak ini dijadikan acuan bagi perusahaan media dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter dengan pengalaman minimal 1-3 tahun di media cetak, online, televisi, dan radio.
4. Kami mendesak perbaikan kontrak kerja bagi kontributor, koresponden dan stringer di media cetak, televisi, radio, dan online.
Jakarta, 1 Mei 2012
Hormat Kami,
Umar Idris Dian Yuliastuti
Ketua AJI Jakarta Sekretaris
Lampiran:
Hasil Survei Upah Jurnalis di Jakarta Tahun 2012
Penyelenggara: Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta
Media Cetak (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Bisnis Indonesia Rp 4,5 juta Rp 6 juta - 8 juta
2 Gatra Rp 2,2 juta Rp 2,5 juta - 3,5 juta
3 Jurnal Nasional Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kontan Rp 4,2 juta RP 6,3 juta - 6,5 juta
5 Koran Jakarta Rp 2,5 juta Rp 3,5 juta - 4 juta
6 Koran Sindo Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
7 Rakyat Merdeka Rp 2 juta Rp 2,3 juta - 3 juta
8 Tempo Rp 2,3 juta Rp 4 juta - 5,8 juta
9 The Jakarta Globe Rp 5 juta Rp 6 - 12 juta
10 Top Skor Rp 2,5 juta Rp 4 - 5 juta
Media Elektronik (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Berita Satu TV Rp 3,25 juta
2 Jak TV Rp 2 juta Rp 3 juta - 4 juta
3 KBR 68H Rp 2,8 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kompas TV Rp 3 juta
5 Metro TV Rp 2,2 juta Rp 4 juta
6 RCTI Rp 2,5 juta RP 5 - 8 juta
7 SCTV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 5 juta
8 Tempo TV Rp 2,8 juta
9 Trans TV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 TV One Rp 2,5 juta Rp 3 juta -5 juta
Media Online (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Antara News.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4,5 juta
2 Detik.com Rp 3,2 juta Rp 4 juta - 5 juta
3 Inilah.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
4 Jurnal Parlemen.com Rp 2,7 juta Rp 3 juta - 4 juta
5 Kapanlagi.com Rp 3 juta Rp 4 juta - 5 juta
6 Kompas.com Rp 3,7 juta Rp 4 juta - 5 juta
7 Media Indonesia.com Rp 3,5 juta Rp 4 - 5 juta
8 Merdeka.com Rp 3 juta
9 Okezone.com Rp 2,3 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 Viva News.com Rp 2,5 juta RP 3,5 juta - 4,5 juta
Ancaman terakhir inilah yang kini dirasakan AJI Jakarta semakin mengkhawatirkan. Terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, AJI Jakarta melihat pemusatan kepemilikan media semakin kentara, terutama di media televisi, sehingga mengancam independensi ruang redaksi Kolaborasi penguasa partai politik dan penguasa media massa bakal menempatkan jurnalis Indonesia menjadi lebih rentan terhadap berbagai intervensi politik kekuasaan. Kondisi ini tentu sangat mengancam fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi menjalankan kontrol publik terhadap jalannya kekuasaan negara dalam kehidupan sehari-hari.
Gurita konglomerasi media saat ini semakin menakutkan. AJI Jakarta bersama sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk mengingatkan kembali tentang bahayanya pemusatan kepemilikan bagi publik, dalam perayaan hari buruh ini, AJI Jakarta mengusung ikon gurita, simbol bahwa jurnalis semakin terjepit dalam situasi konglomerasi media saat ini.
Ironisnya, dalam situasi saat ini, kesejahteraan jurnalis semakin memprihatinkan. Di Jakarta saja, hasil survei upah jurnalis yang dilakukan AJI Jakarta menjelang hari buruh kali ini, menunjukkan banyak jurnalis di Jakarta memiliki penghasilan yang tidak layak, diukur dari standar upah layak AJI Jakarta tahun 2012 yang tahun sebesar Rp 4,9 juta per per bulan –ralat, sebelumnya ditulis Rp 5,2 juta per bulan-- (take home pay, untuk jurnalis setingkat reporter dengan masa kerja 1-3 tahun). Ternyata, jurnalis televisi dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan (lihat daftar survei upah).
Kondisi ini tentu tidak kondusif untuk menciptakan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia. Kesejahteraan jurnalis yang rendah tentu akan membuat jurnalis rentan mendapat godaan suap dalam bentuk apapun dari narasumber. Ini sangat membahayakan bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik.
Selain masalah kesejahteraan dan kebebasan pers yang mencuat, kondisi kerja jurnalis di Jakarta awal tahun ini diwarnai dengan pemberangusan serikat pekerja oleh perusahaan media. Pemberangusan serikat pekerja ini menandakan media massa di Indonesia belum benar-benar menjadi instrumen demokrasi yang sejati, karena perusahaan media justru menebarkan ancaman terhadap kebebasan bersuara dan berorganisasi bagi jurnalis. Hal ini tercermin dari kasus Luviana dan pemecatan 13 orang anggota dan pengurus Serikat Pekerja Indonesia Finance Today (IFT) yang saat ini diadvokasi oleh AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Luviana, jurnalis perempuan dari Metro Tv, tiga bulan terakhir ini dibebastugaskan oleh Manajemen Metro Tv lantaran menuntut perbaikan kesejahteraan, meminta perbaikan manajemen ruang redaksi, dan menggagas berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di Metro TV, perusahaan televisi milik Surya Paloh, seorang pengusaha yang juga pendiri Partai Nasdem dan tengah gencar menggaungkan slogan Restorasi Indonesia itu melalui televisinya.
Begitu juga dalam kasus Serikat Karyawan IFT. Tiga belas orang jurnalis anggota Sekar IFT telah dipecat secara sepihak oleh manajemen PT Indonesia Finanindo Media, perusahaan media penerbit harian Indonesia Finance Today (IFT). Para jurnalis anggota dan pengurus Sekar IFT ini tengah memperjuangkan hak normatifnya, antara menuntut manajemen mengembalikan pemotongan gaji sepihak 5%-27,5% yang berlaku sejak Februari 2012, membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan selama tahun 2011. Kesemua tuntutan karyawan itu sebenarnya merupakan hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja Sama (Kontrak Kerja) yang dilanggar sendiri oleh manajemen.
Kasus Luviana dan Sekar IFT menunjukkan ancaman kebebasan bersuara dan berpendapat di perusahaan pers masih mengintai setiap saat. Pemilik media juga masih alergi terhadap keberadaan Serikat Pekerja sehingga memberangus serikat (Union Busting). Padahal keberadaan serikat pekerja amat diperlukan bagi jurnalis untuk memperbaiki iklim kerja yang masih tidak demokratis. Antara lain masih diberlakukan sistem kontrak kepada jurnalis di luar ketentuan.
Kondisi inilah yang membuat AJI Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya, turun ke jalan melakukan aksi MayDay bersama para buruh. Dalam peringatan hari buruh 2012 ini, AJI Jakarta menyatakan sejumlah sikap sebagai berikut:
1. AJI Jakarta menuntut negara tidak boleh lagi absen dalam upaya melindungi jurnalis dari ancaman kekerasan. Negara juga perlu berperan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang konstitusional untuk mencegah pemusatan kepemilikan media.
2. AJI Jakarta mendesak perusahaan media untuk lebih menghargai jurnalisnya dengan memberikan upah yang layak, memperbaiki kontrak kerja, serta melindungi kebebasan bersuara dan berserikat.
3. Menyatakan upah layak jurnalis tahun 2012 sebesar Rp 4,9 juta per bulan (ralat, sebelumnya dinyatakan Rp 5,2 juta per bulan). Kami mendesak upah layak ini dijadikan acuan bagi perusahaan media dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter dengan pengalaman minimal 1-3 tahun di media cetak, online, televisi, dan radio.
4. Kami mendesak perbaikan kontrak kerja bagi kontributor, koresponden dan stringer di media cetak, televisi, radio, dan online.
Jakarta, 1 Mei 2012
Hormat Kami,
Umar Idris Dian Yuliastuti
Ketua AJI Jakarta Sekretaris
Lampiran:
Hasil Survei Upah Jurnalis di Jakarta Tahun 2012
Penyelenggara: Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta
Media Cetak (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Bisnis Indonesia Rp 4,5 juta Rp 6 juta - 8 juta
2 Gatra Rp 2,2 juta Rp 2,5 juta - 3,5 juta
3 Jurnal Nasional Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kontan Rp 4,2 juta RP 6,3 juta - 6,5 juta
5 Koran Jakarta Rp 2,5 juta Rp 3,5 juta - 4 juta
6 Koran Sindo Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
7 Rakyat Merdeka Rp 2 juta Rp 2,3 juta - 3 juta
8 Tempo Rp 2,3 juta Rp 4 juta - 5,8 juta
9 The Jakarta Globe Rp 5 juta Rp 6 - 12 juta
10 Top Skor Rp 2,5 juta Rp 4 - 5 juta
Media Elektronik (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Berita Satu TV Rp 3,25 juta
2 Jak TV Rp 2 juta Rp 3 juta - 4 juta
3 KBR 68H Rp 2,8 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kompas TV Rp 3 juta
5 Metro TV Rp 2,2 juta Rp 4 juta
6 RCTI Rp 2,5 juta RP 5 - 8 juta
7 SCTV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 5 juta
8 Tempo TV Rp 2,8 juta
9 Trans TV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 TV One Rp 2,5 juta Rp 3 juta -5 juta
Media Online (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Antara News.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4,5 juta
2 Detik.com Rp 3,2 juta Rp 4 juta - 5 juta
3 Inilah.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
4 Jurnal Parlemen.com Rp 2,7 juta Rp 3 juta - 4 juta
5 Kapanlagi.com Rp 3 juta Rp 4 juta - 5 juta
6 Kompas.com Rp 3,7 juta Rp 4 juta - 5 juta
7 Media Indonesia.com Rp 3,5 juta Rp 4 - 5 juta
8 Merdeka.com Rp 3 juta
9 Okezone.com Rp 2,3 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 Viva News.com Rp 2,5 juta RP 3,5 juta - 4,5 juta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar