Pagi itu, Jumat (22/3), mataku masih terasa berat. Tapi kupaksakan juga
bisa bangun pagi. Saya langsung mengecek telepon genggam. Setiap pagi,
kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyoo lagi tidak ke mana-mana, pasti
ada agenda dari humas Istana. Ternyata benar, ada sms masuk. "Acara RI 1
Jumat 22/3 di Istana Negara pukul 09.00 WiB, pertemuan silaturahim RI 1
dengan para pimpinan lembaga negara. Terminal penumpang II pelabuhan
Tanjung Priok pukul 15.00 WIB, ground breaking pembangunan terimal
Kalibaru pelabuhan tanjung priok," demikianlah bunyi SMS tersebut.
Berarti saya harus sudah tiba di Istana Negara setengah jam sebelum
jadwal acara di mulai. Begitulah aturannya. Jika terlambat, jangan harap
bisa masuk, pintu sudah ditutup dan disuruh menggun di luar sampai
acara selesai. Itulah aturannya, artinya tepat waktu.
saya langsung menuju kamar mandi, dan 20 menit sebelum pukul 09.00
WIB saya sudah tiba di Istana dan masuk ke ruang bioskop, ruang
wartawan. saya awalnya mengira teman-teman wartawan sudah pada menuju
gedung Istana Negara. Tapi ketika saya masuk, jumlah wartawan sudah
banyak tapi belum ada pergerakan ke arah gedung Istana Negara. Setelah
menayakan, ternyata, presiden melsayakan pertemuan tertutup dengan para
kepala negara dan wartawan tidak diperkenankan meliput. Jadi terpaksa
harus menunggu setelah acara selesai, baru ada keterangan pers. Meski
sedikit kecewa, karena sudah bangun lebih pagi, saya memilih
membuka-buka internet dan mencari isu-isu baru untuk dikembangkan hari
ini.
Setelah sekitar kurang lebih dua jam mengadakan pertemuan, presiden
beserta petinggi-petinggi lembaga negara akan mengadakan konferensi
pers. Presiden SBY yang menyampaikan apa saja isi pembicaraan mereka.
Sementara mulai dari Wakil Presiden Boediono, Ketua MPR Taufik Kiemas,
Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD, ketua DPD, Ketua BPK dan didampingi tiga menteri
koordinator yakni Djoko Suyanto, Hatta Rajasa, Agung Laksono, beserta
pelanggan tetap Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Sekretaris
Kabinet Dipo Alam berdiri di barisan kedua pada konferensi pers
tersebut.
Setelah menjelaskan soal isi rapat atau kosultsasi mereka, SBY tak
lupa menyinggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika masuk topik itu,
para wartawan semua sudah mahfum, bahkan sampai hafal apa saja yang
akan segera diuraikan sang kepala negara. SBY seolah memuji diri sendiri
atas prestasinya sendiri soal pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup
tinggi di atas 6% atau tepatnya 6,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi yang kedua tertinggi setelah China di Asia. Sementara
negara-negara lain masih sibuk berkutak menghadai krisis global yang
bersumber dari Eropa. SBY selalu memuji prestasinya tersebut di mana
saja ia berpidato. Untuk menguatkan prestasinya tersebut, SBY selalu
merefer ke media internasional dan pujian yang diterima dari dunia
internasional.
Berbanding terbalik ketika sang presiden menyinggung tanggapan dalam
negeri yang ia pandang selalu negatif. Bahkan pernah suatu ketika, di
saat memberikan sambutan di depan para bupati se Indonesia, SBY
mengkritik media nasional yang tidak pernah mengekspos prestasi yang
diukir pemerintahannya tersebut. Saat itu, ia menyarankan para bupati
agar membaca media asing saja agar tahu seperti apa prestasi Indonesia
di bawah pemerintahannya. Menurut SBY media asing justru yang lebih
obyektif daripada media nasional. SBY ternyata suka suuzon juga dengan
media nasional.
Cerita berapa kali orang nomor satu RI ini menceritakan kesukesannya
perekonomian Indonesia, tak terhitung banyaknya. Di mana pun SBY berada
dan memberikan pidato atau sambutan, selalu saja isu soal keberhasilan
dan pertumbuhan ekonomi ini ia selipkan dalam pidatonya. Pernah dalam
sehari, ada tiga kali agenda SBY memberikan pidato, maka pada semua
pidato itu, isu yang sama yakni pertumbuhan ekonomi pasti selalu di
kupas dan ujung-ujung presiden selalu lebih bangga menyebut yang
asing-asing, seperti pujian dari dunia internasional dan media-media
asing lebih tahu perkembangan Indonesia ketimbang media nasional.
Tak terkecuali hari ini, Setelah menyinggung pertumbuhan ekonomi di
depan para petinggi lembaga negara, presiden juga seperti diduga,
menyinggung pertumbuhan ekonomi yang sama pada pidatonya di Tanjung
Priok. Di sini, setelah memuji diri sendiri soal prestasi pertumbuhan
ekonomi, SBY menyebut seorang sahabatnya, yang berkunjun ke kantornya
dua hari lalu. Namanya Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris. Tony
ternyata juga memuji pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurutnya
sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia itu menurut Blair dalam
penuturan Presiden bagaikan mimpi di Eropa yang saat ini sedang
mengalami resesi. Mimik waja presiden tampak puas tiap kali ini menyebut
yang asing-asing.
Spontan ia mendapatkan tepuk tangan meriah dari hadirin. Namun salah
seorang teman wartawan di sampingku ternyata usil juga. Ia bilang, wah
pak beye di sini ia membual lagi. Mungkin bagi kita (wartawan) yang
tiap hari mendengarkan ocehan soal pertumbuhan ekonomi ini sudah hampir
mual mendengarnya. Tapi bagi orang-orang awam, cerita pak presiden ini
cukup membuai juga, ujarnya terkekeh-kekeh. Apagi ia menyebut Tony Blair
lagi sebagai sahabat, weleh-weleh kata teman tadi sambil geleng-geleng
kepala. Saya pun ikut tertawa juga mendengar gurauan tadi. Memang benar
apa yang dikatannya.
Menurutku presiden SBY sudah benar soal pertumbuhan ekonomi. Itu
memang berdasarkan data dan fakta. Patut diancungi jempol. Tapi kalau
tiap hari ceritanya hanya itu-itu saja, dan seolah-olah sudah puas
dengan itu, menjijikkan juga. Apakah pak presiden ini haus akan pujian
ya? Kok tiap kali menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi di
tengah krisis global, ia begitu bangga? Apakah tidak ada prestasi lain
selain itu? Apakah tidak ada ceritanya yang lain selain dari pertumbuhan
ekonomi? Lalu bagaimana soal kekerasan di OKU? Anggota TNI menyerang
markas polisi dan membakarnya habis? Bagaimana soal penembakan warga
sipil dan tentara di Papua? Lalu isu yang paling hangat dan menyedihkan
serta mengerikan adalah sekelompok orang bersenjata lengkap dan sangat
terlatih menyerbu penjara dan membunuh empat narapidana tersangka
pembunuh salah seorang anggota kopassus di Sleman, Yogyakarta?
Sejumlah gereja dan masjid untuk tempat ibadah warga muhamadiyah
diserang dan dibakar habis. Sejumlah nyawa melayang sia-sia. Lalu di
mana prestasi presiden? Apakah ia pernah mengungkapkan ada kemajuan soal
penangangan keamanan itu? Apakah SBY hanya bisa bangga pada pertumbuhan
ekonomi saja? Sebagai wartawan dan warga negara, sering kali aku tak
habis pikir soal ini. Sebagai orag yang tiap hari meliput di sekitar
Istana Kepresidenan, saya merasa ada yang janggal dengan presiden kita
ini. Menurutku sang bapak presiden terhormat ini sangat peduli pada diri
sendiri, jabatan, penghargaan, wibawa, keluarga dan kelompoknya seperti
partai demokrat.
Coba lihat isu-isu yang menyerang harga dirinya soal simbol kerbau
pada demonstrasi? Presiden marah dan saat ini tidak bisa lagi dibawa
binatang saat melakukan demonstrasi. Lalu lihat kasus demokrat yang
berlarut-larut soal konflik internal, pemilihan calon ketua umum dan
sebagainya. Membaca berita itu rakyat sudah muak sangking over
eksposnya. Lalu lihat isu anaknya Edhie Baskoro Yudhyono alias Ibas yang
bolos rapat paripurna di DPR tapi datang hanya untuk absen saja. Hanya
sehari berselang, cucunya dari Ibas di operasi dan itu semua menjadi
berita nasional. Sungguh ruang publik lebih banyak diisi isu soal
keluarga presiden. Lalu ketika pembunuhan terjadi di sana sini,
penyerbuan aparat ke amanan ke lebaga lain dan masyarakat sipil,
perhatian SBY tidak begitu terusik. Ia memilih menyerahkannya pada hukum
saja. Tapi ketika masalah SPTnya bocor di salah satu media, ia langsung
reaktif, langsung memberi tanggapan dan bahkan sering di angkat jadi
topik pembicaraan di setiap kesempatan. Narsiskah presiden kita? Saya
juga tidak tahu, tapi begitulah yang terlihat.
Noverius Laoli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar