Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendang berbicang-bincang dengan Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair di Kantor Presiden, Rabu (20/3). Foto: Noverius Laoli |
Dalam satu bulan terakhir, saya kerap kali bangun agak kesiangan. Cuaca Jakarta yang panas membuat sulit tidur dan tidurnya pun tidak nyenyak. Kamarku yang kecil dan hanya ada kipas angin tidak bisa mengusir gerah yang muncul tiap malam. Padahal pagi ini aku harus buru-buru ke Jakarta Convention Center (JCC) untuk menghadiri acara Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada tahun 2013 ini saya ditugaskan oleh kantor untuk menjadi wartawan istana negara dan meliput semua kegiatan sang presiden.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Aku berangkat ke JCC dengan sepeda motor. Suasana jalanan memang masih macet dan udara yang panas seakan membakar kulit. Para pengendara sepeda motor tampak tidak sabar dan terkesan buru-buru. Pengendara kenderaan roda dua ini suka menyalib sana sini seolah tak peduli akan nyawanya. Aku terus memacu sepeda motorku dan akhirnya memasuki kawasan Senayan. Sebagai wartawan yang memiliki kartu pers Istana Presiden, aku tidak mengalami kesulitan saat melalui pintu pemeriksaan. Bahkan tidak perlu lagi menggunakan ID pers yang disiapkan panitia bagi wartawan-wartawan lain yang tidak memiliki kartu pers istana.
Di JCC terlihat banyak orang yang berseragam militer. Ketika memasuki Plenary Hall, ruang pertemuan, terdapat sekitar 1000 tentara menggunakan pakain dinas militer negara masing-masing. Ternyata di pertemuan kali ini, ada sebanyak 38 negara yang mengirim militernya dan setiap negara dipimpin satu ketua delegasi. Kabarnya, ada juga banyak menteri pertahanan negara-negara di dunia yang sudah berada dan akan meramaikan Penyelenggaraan Jakarta Internasiotional Defense Dialogue (JIDD) 2013.
Di sinilah, Presiden SBY dan kemudian baru tahu, ternyata Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao memberikan sambutan mereka. Tentu saja dalam acara ini, semua pembicara pasti menyampaikan sambutan mereka dalam bahasa inggris. Bagi saya yang bahasa inggris hanya pas pasan tentu tidak mudah membuat berita dengan cepat dan menyimpulkan topik menarik yang akan dibicarakan. Tapi untung saja, sebelum SBY menyampaikan sambutan, saya sudah mendapatkan soft copy pidatonya dalam bahasa inggris. Dengan demikian, tugasku tidak terlalu sulit, tinggal membaca naskah pidato itu dan menentukan topik apa yang mau saya tulis. Tapi karena teksnya menggunakan bahasa inggris, maka saya harus lebih hati-hati memahami kata demi katanya agar tidak terjadi kesalahan pada saat membuat beritanya.
Setelah melakukan pertemuan kurang lebih selama satu setengah jam didampingi menteri luar negeri masing-masing negara dan beberapa menteri dari Indonesia, SBY dan Xanana keluar dari pintu utama Gedung Istana Merdeka. Presiden tampak asyik berbicara dengan Xanana ketika mereka melewati depan kerumunan wartawan dan menuju ke mobil dinas yang sudah menunggu Xanana. SBY kemudian meminta awak media untuk mendengarkan isi pembicaraan dari Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
Ada dua topik pembicaraan utama antara dua kepala negara. Topik pertama terkait masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Ternyata masih ada tiga titik yang masih bermasalah dan belum dituntaskan hingga hari ini. Sementara persoalan perbatasannya lainya sudah rampung 90%. SBY ingin tiga embarkasi yakni Dilumik-Memo, Bijael Sunan-Oben dan Noel Besi-Citrana dapat segera diselesaikan pada penghujung masa pemerintahannya yang tinggal satu setengah tahun lagi.
Hanya setengah jam berselang setelah melepas Xanana, SBY harus menerima mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Namun SBY menerima Tony Blair di Kantor Presiden yang sehari-hari digunakan sebagai tempat bekerja. Kantor Presiden ini berada di tengah-tengah antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Ruang Kantor Presiden ini memang tampak agak kecil seukuran ruangan kelas di sekolah negeri pada umumnya. Isinya juga tidak mewah. Di situ terdapat sejumlah kursi, lukisan yang menempel didinding putih, dan gorden berwarna merah yang ada di tengah menghadap ke arah kursi tamu. terdapat juga beberpa lampu hias, lemari kecil dan meja kecil serta karpet berwarna merah.
Maka tidak heran ketika sedang menunggu Tony Blair, SBY berbincang-bincang dengan para wartawan yang sudah berbaris rapi di halaman depan Kantor Presiden. SBY menceritakan bahwa kantornya itu sangat sederhana, jauh berbeda dengan kantor-kantor kepala negara lain, termasuk para pejabat di negeri ini. Padahal di kantor tersebut, presiden menjalankan roda pemerintahan dan menerima tamu-tamu penting, baik itu kepala negara, mantan kepala negara, dan sejumlah tokoh penting nasional.
Bukan kali ini saja presiden menceritakan soal kondisi kantornya tersebut. Seminggu yang lalu ketika menerima tujuh Jenderal Purnawirawan TNI yang dipimpin oleh Luhut B Panjaiatan, SBY mengibaratkan kantornya sebesar ruangan kerja danyon (komandan bataliyon) 74. Ia bilang kantornya tersebut tidak semewah ruang kerja bupati dan pejabat lainnya di negara ini.
Tidak berhenti di situ saja, setelah bercerita soal kondisi kantornya, presiden kini kembali bercerita soal kondisi fisiknya. Di depan wartawan ia kembali bicara, ia meminta para awak media yang diam saja dari tadi mendengarkan ocehannya untuk melihat matanya. SBY bilang matanya merah. Kalau kondisi seperti itu menurut sang presiden ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah mata merah menandakan ia sedang marah, atau yang kedua matanya merah karena ia kekurangan tidur. Setelah melemparkan pernyataan itu, ada wartawan yang berani bertanya, katanya yang benar yang mana pak? Namun tuan presiden hanya tertawa dan mengatakan "ngak tahulah." Para wartawan pun ikut tertawa bersama sang presiden.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut Mantan Perdana Menteri Tony Blair di depan Kantor Presiden, Rabu (20/3). Foto: Noverius Laoli |
Tidak lama kemudian sang tuan mantan perdana menteri, Tony Blair muncul dengan tiga mobil sedang. Ia langsung disambut hangat oleh presiden SBY. Mereka bersalaman hangat dan memasuki kantor presiden. Nah itulah aktivitas presiden hari ini, cukup melalahkan bukan. Namun jika presiden mengeluh karena matanya merah dan kantornya kecil, bagaimana dengan wartawan? Setelah dari JCC harus menuju Istana dengan kemacetan dan panas terik matahari. Apakah tuan SBY merasakan seperti para pewarta ini? Belum lagi deadline yang terus memburu mereka dan harus mendapatkan berita dan gambar terbaik di setiap momen acara presiden.
Mungkin kalau pak presiden mengalami mata merah karena marah atau kurang tidur, para pewarta mengalami mata dan hati yang merah lantaran harus berjuang mendapatkan berita dengan kondisi medan yang tidak mudah. Beda dengan SBY yang meluncur di tengah kemacetan Jakarta seperti melewati jalan tol pada musim libur. Wartawan harus berjuang dalam panas terik dan macetnya ibu kota. Tapi bagaimana pun bapak presiden pasti juga lelah, mungkin tidak hanya secara fisik tapi juga psikis.
Oleh Noverius Laoli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar