Oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri
Sindhunata adalah unikum dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Begitu kata Jakob Oetama, dalam kata pengantarnya untuk buku features jurnalistik Sindhunata, Cikar Bobrok (1998).
Menurut
Jakob, Sindhunata telah membuat reportase liputan dan laporan yang
dalam segala kejadian dan permasalahan berhasil menangkar denyut dan
napas perikemanusiaan, yang menampilkan suatu kejadian dan permasalahan
dalam konteks yang kemarin, kini, dan akan datang, serta yang penemuan,
pengolahan dan pengerjaannya disertai pergulatan, refleksi, serta
pemahaman.
Selanjutnya,
Jakob menyimpulkan, “Dengan sikap dan orientasi itu kejadian dan
persoalan berhasil diangkat ke atas panggung reportase dalam sosoknya
yang nyata, hidup, berdenyut, berdesak, berkeringat, berairmata,
bersenyum, dan berpengharapan.”
Lahir
di Kampung Hendrik, Batu, Malang pada 12 Mei 1952, Dr. Gabriel Possenti
Sindhunata, SJ menyelesaikan pendidikan seminari di Seminarium Marianum
Lawang, Malang pada 1971. Pada tahun 1980 dia menyelesaikan studi
filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, dan pada 1983
berhasil lulus studi teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan,
Yogyakarta. Sindhunata kemudian melanjutkan studi doktoral filsafat di
Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät SJ di München,
Jerman pada tahun 1986 hingga 1992. Tesis doktoralnya membahas mengenai
pemberontakan petani Jawa di zaman colonial pada abad ke-ke-19 sampai
awal abad ke-20. Tesis itu telah terbit menjadi buku berjudul Hoffen auf den Ratu-Adil.
Karir jurnalistik Sindhunata dimulai dengan bekerja sebagai wartawan Majalah Teruna
terbitan P.N. Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1974. Walaupun hanya
bertugas menulis berita tentang kegiatan di SMA-SMA di Jakarta,
Sindhunata sangat terkesan dengan pengalamannya ini. Sindhunata sendiri
mengatakan, “Pengalaman ini menggariskan ke mana kehidupan saya
selanjutnya akan berjalan, yakni ke dalam dunia jurnalistik.” Dan
ternyata, Sindhunata memang setia menjalani garis hidupnya sebagai
wartawan sampai kini. Pantas, bila PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
pada tahun 2005 menganugerahinya Penghargaan Kesetiaan Profesi sebagai
Wartawan selama tiga puluh tahun masa pengabdian.
Pergulatannya sebagai wartawan dimulai ketika pada tahun 1977 dia menjadi wartawan harian Kompas, Jakarta. Di harian ini Sindhunata dikenal karena feature-feature tentang nasib dan penderitaan orang kecil. Feature-feture-nya
itu sedemikian menyentuh hati pembacanya. Dengan membaca tulisannya,
pembaca seolah dibawa masuk ke dalam nasib, penderitaan, dan pengalaman
orang-orang kecil yang dijumpai Sindhunata dalam tugas jurnalistiknya.
Ia tak berhenti menulis feature juga ketika ia berhenti menjadi wartawan Kompas dan bekerja di Majalah Kebudayaan Basis di Yogyakarta. Atas pertimbangan dan saran empu sastra Jawa kuno dan pendiri Majalah Basis,
Prof. Dr. Piet Zoetmulder, SJ, pada tahun 1994, ia menjadi pemimpin
redaksi majalah kebudayaan tersebut menggantikan Dick Hartoko, yang
memasuki masa pensiun. Berbekal dari pengalaman malang melintang di
dunia wartawan, Sindhunata membuat terobosan yang menyegarkan. Ia
mengubah format dan tampilan Basis. Dalam hal ini pun
Sindhunata telah menyumbangkan jasanya. Ia telah berhasil mematahkan
anggapan bahwa sebuah majalah ilmiah itu harus berkesan serius dan
ilmiah pula. Di bawah kepemimpinannya, ia membuat majalah ilmiah dan
serius itu menjadi menarik dan enak dibaca tanpa mengurangi bobot
ilmiahnya.
Di majalah Basis
ini pun Sindhunata tetap konsisten dengan pengalamannya jurnalistiknya.
Ia menggarap keilmiahan dengan citarasa jurnalistiknya yang humanis.
Seperti yang tertera pada logonya, ia menyebut Basis sebagai
jurnalisme seribu mata. Maksudnya, keilmiahan pun harus didekati dari
berbagai aspek terutama aspek kemanusiaannya. Kata Sindhunata,
“Sesungguhnya aspek kemanusiaan inilah inti terdalam yang hendak dituju
oleh Basis. Itulah yang tersembunyi dalam semboyan Basis
‘Menembus Fakta’.” Tak banyak wartawan Indonesia yang sempat mengenyam
pendidikan doktoral seperti Sindhunata. Pendidikannya itu mau tidak mau
ikut mempengaruhi dan memperdalam tugas jurnalistiknya. Mungkin karena
itulah ia bisa memimpin Majalah Basis di mana jurnalisme tak kehilangan keilmiahannya.
Selain
sebagai wartawan, Sindhunata adalah seorang romo, rohaniwan Yesuit,
filsuf, teolog, novelis, dan penyair. Novelnya yang telah menjadi klasik
adalah Anak Bajang Menggiring Angin. Ia juga telah menerbitkan novelnya yang terbaru Putri Cina
(2007). Sindhunata juga senang menulis dalam bahasa Jawa. Menurutnya
bahasa Jawa itu harus diasah, maka menulislah ia dalam bahasa Jawa di
rubrik “Blencong” di harian Suara Merdeka.
Hingga
kini sudah lebih dari tiga puluh judul buku lahir dari tangannya.
Pantas bila ia disebut sebagai penulis yang lengkap dan serba bisa. Feature-feature
jurnalistiknya telah diterbitkan pada tahun 2006 dalam pancalogi:
“Manusia & Pengharapan”, “Manusia & Keadilan”, “Manusia &
Keseharian”, “Manusia & Perjalanan”, dan “Manusia & Kebatinan”.
Menyambut buku tersebut, Hikmat Darmawan, pengasuh Beranda Komunitas
Mizan, menulis: Sindhunata adalah keajaiban. Kumpulan fiturnya di Kompas
sejak tahun 1978 hingga 2002 yang terbit dalam lima buku ini adalah
esai tajam tentang Indonesia sekaligus mata air pelajaran jurnalisme
sastrawi. (Kompas, 23 Januari 2007). Selanjutnya Hikmat
Darmawan mengatakan, “Sebagaimana Bing Slamet dan Benyamin S. adalah
seniman lengkap, Sindhunata adalah penulis lengkap.”
Memang
dalam menulis Sindhunata tidak membatasi minatnya. Ia bisa menulis
tentang apa saja: agama, pelacur, tukang rambutan, burung-burung di
bundaran Hotel Indonesia, beras, dan seterusnya – semua dengan gusto,
penuh cita rasa, dan opini/ide yang telah matang dimasak oleh benaknya.
Yang juga tak boleh dilupakan adalah tulisannya tentang sepak bola di Harian Kompas
sejak tahun 1988. Pembaca amat menantikan Catatan Sepak Bola Sindhunata
sebab di dalamnya pembaca bisa mendapatkan kisah-kisah tentang manusia
dan pergulatannya, juga tentang nasionalisme, filsafat, dan budaya di
balik peristiwa permainan bola. Tulisan-tulisan tersebut telah
diterbitkan dalam trilogi Catatan Sepak Bola Sindhunata: Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-Bola Nasib.
Kalau toh harus disingkatkan apakah sumbangan Sindhunata dalam dunia jurnalistik, jawabannya mungkin adalah konsistensinya pada genre
jurnalisme humanis sastrawi. Jurnalisme sastrawi adalah tulisan
jurnalistik yang tidak sekadar memberi informasi suatu kejadian tetapi
juga menggali kedalaman makna dari informasi tersebut. Selanjutnya
tulisan tersebut tidak ditampilkan secara kering tetapi dituturkan dalam
cara berkisah yang bisa memikat, dan membangkitkan emosi pembaca
sebagaimana dibuat oleh karya sastra.
Jurnalisme
sastrawi juga berusaha untuk mengetuk hati nurani pembaca dan mengajak
pembacanya membuat permenungan tentang hidupnya sendiri. Untuk itu
seorang jurnalis perlu banyak membaca, lebih-lebih karya sastra. Dalam
hal ini Sindhunata kiranya telah memenuhi kriteria yang diinginkan oleh
wartawan senior dan tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar. Sebagaimana
dikutip oleh Jakob Oetama, dalam berbagai kesempatan Rosihan Anwar
sering berkomentar bahwa pendidikan, minat serta pengembangan humaniora
merupakan latar belakang yang kondusif bagi seorang wartawan. Ia
menyarankan agar wartawan suka membaca, termasuk buku dan karya satra
klasik dunia maupun negeri sendiri.
Tulisan-tulisan Sindhunata memang terbukti sangat enak dibaca, menimbulkan apa yang dikatakan Roland Barthes sebagai the pleasure of the text. Silakan buktikan dengan membuka halaman pertama majalah Basis.
Di sana Anda akan menemui tulisan singkat nan padat di bawah rubrik
”Tanda-Tanda Zaman”, yang menjadi prolog dan visi memikat yang membuat
pembaca mau membuka dan membaca majalah itu hingga selesai.
Dan
tentang kedalaman tulisan-tulisannya, tak usah diragukan lagi.
Sindhunata menulis dengan detail. Ia bukan tipe "jurnalis telepon" yang
hanya bermodal wawancara telepon, ditambah riset serba sedikit di
perpustakaan atau internet, lalu menulis di belakang meja. Kata
Sindhunata, "Pekerjaan pertama seorang wartawan adalah pekerjaan kaki,
baru kemudian pekerjaan tangan, tulis-menulis...." Dengan berada di
lapangan, langsung mengalami peristiwa, Sindhunata bisa merengkuh detail
peristiwa, dan juga rasa dari peristiwa itu.
Prinsip
ini yang dipegang Sindhunata dalam menulis: langsung terjun ke
lapangan. Karena prinsip itu Sindhunata bahkan pernah menghabiskan
beberapa hari di lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak pada 1979.
Pengalaman itu membuahkan empat feature bersambung tentang
"dunia maksiat" tersebut. Ia juga pernah ikut berjudi sabung ayam di
Bali, agar dapat memahami bagaimana dunia perjudian itu berjalan,
sebelum kemudian menulis laporan jurnalistik.
Salah
satu cara lain dari Sindhunata dalam mengungkap detail tampak dalam
tulisannya tentang tokoh-tokoh. Memang Sindhunata telah banyak menulis feature
tentang tokoh-tokoh. Baik orang kecil sampai seniman tradisional
kawakan seperti dalang Ki Darman Gondo, penari topeng Losari, Ibu Dewi,
pembuat wayang suket, Mbah Gepuk, pelukis rakyat Citrowaluyo, empu
gending Martopangrawit, penari topeng Malangan Mbah Gimun, dan
sebagainya. Dari tulisan-tulisannya tampak kepiawaian Sindhunata
mengolah detail untuk membangun perspektif kemanusiaan tokoh tersebut.
Dalam feature-feature-nya kita dapat membaca nama-nama ndeso
seperti Mbok Tukiyem, Gujam yang pedagang rambutan, Mbah Setro, Mbok
Miji, Sum yang pelacur, Pak Riadi, Pak Gacuk, Suwardi, Pak Sa'i, Pak
Umang, Ateng, Pak Imu, dan sebagainya. Dari tulisan ini tampak betapa
media perlu mengungkapkan bahwa ada ada hidup yang lain di luar
hiruk-pikuk yang dikabarkan di koran-koran dan infotainment.
Feature
Sindhunata yang berjudul "Segelas Beras untuk Berdua", misalnya
bercerita tentang Mbah Setro, penjual arang yang menyiasati hidup yang
sulit. Kira-kira tahun 2004-an, Mbah Setro masih menjual arang, yang
digumulinya sejak zaman Belanda. Setiap hari Mbah Setro menyunggi
keranjang berisi arang diatas kepalanya menempuh jalan berkilo-kilometer
untuk sampai ke pasar di daerah Patangpuluhan dan Karangkajen,
Yogyakarta.
Besarkah
penghasilan Mbah Setro yang buta huruf itu? Dengan dua ikat arang yang
dia bawa, Mbah Setro dapat mengumpulkan uang Rp12.000 sampai Rp15.000.
Dan keuntungannya hanyalah Rp2.000 sampai Rp5.000! Uang sekecil itu
jelas tak bisa digunakan untuk menebus kebutuhan pokok Mbah Setro
bersama istrinya, Khatijah. Untuk menyiasatinya terpaksa Mbah Setro
"berpuasa". Ia hanya menyeruput teh panas di waktu subuh jelang
berangkat ke pasar dengan arang di pundak. "Untuk kami berdua, segelas
beras sudah cukup," tutur Khatijah istrinya.
Atau misalnya lagi feature-nya
yang berjudul “Mbok Tukinem Dicoba Melebihi Kemampuannya”. Di sana
Sindhunata berkisah tentang Mbok Tukinem yang buta dan tak henti dilanda
kemalangan. Setelah dimuat di Harian Kompas, banyak pembaca
yang terenyuh dan tergerak membantu, sehingga terkumpul uang sejumlah
lebih dari satu juta rupiah. Untuk tahun 1982 jumlah itu jelas sangat
besar. Peristiwa itu kemudian ditulis Sindhunata menjadi feature
baru, berjudul ”Hadiah Natal Buat Mbok Tukinem”. Memang, membaca
tulisannya ini orang pasti akan tergerak untuk tidak bersikap serakah
tetapi mensyukuri kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang diterima dalam
hidupnya. Itulah salah satu contoh bahwa tulisan feature
Sindhunata mampu menggerakkan hati pembaca bahkan sampai mereka rela
memberikan sumbangan yang nyata kepada orang ditulisannya dan memang
membutuhkan bantuan mereka.
Jelas, jurnalisme bagi Sindhunata adalah jurnalisme yang berpihak, yaitu berpihak pada wong cilik
atau kelas bawah yang sering dilupakan banyak orang. Dan Sindhunata,
dengan kerja jurnalistiknya berusaha mengabarkan keberadaan dan
penderitaan mereka serta mengajak agar pembaca jangan tidak acuh
terhadap nasib mereka.
Begitulah
Sindhunata. Berkat ”kerja kaki”-nya, dan dengan ramuan jurnalisme
sastrawi, Sindhunata kiranya telah berhasil menyingkirkan anggapan bahwa
wartawan itu hanya pandai menulis tapi tidak berbuat. Tulisan-tulisan
Sindhunata jelas memperlihatkan bahwa seorang jurnalis juga bisa berbuat
banyak untuk kemanusiaan dan menolong penderitaan. Maka tak salah bila
ada yang mengatakan, fokus Sindhu dengan tulisan-tulisannya adalah
kemanusiaan (humanisme)--sesuatu yang mahal untuk era yang kadung
disuntuki ketakpedulian.***
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Penulis/Periset Sejarah,Tinggal di Yogyakarta.
Sumber tulisan: http://belajarsejarah.com/?detail=beritanya&id=111&kode=1
|
Senin, 11 Juni 2012
SINDHUNATA, Kerja Kaki dan Tangan Sang Wartawan
Rabu, 06 Juni 2012
Jadikan Ranch sebagai rumah yang nyaman
Tidak mudah mengelola bisnis ritel
dengan sasaran market menengah atas seperti Ranch Market.
Apalagi, basic saya adalah profesional di bisnis steel.
Sudah begitu, ketika baru buka sebulan di Kebon Jeruk, Jakarta, pada
1998, Ranch Market habis dijarah karena terjadi kerusuhan.
Saat itu, karyawan down, kami shock. Namun, menurut saya, the show must go on. Seperti orang Jawa bilang, masih untung toko kita tak dibakar. Makanya, saya katakan ke mereka kalau kami akan buka lagi, meski kerusuhan itu membuat kami merugi sampai Rp 6 miliar.
Kerusuhan itu juga yang membuat Ranch Amerika hengkang, tak lagi memberi supervisi pendirian Ranch. Namun hubungan kami clear. Kami bahkan tak perlu lagi membayar royalti. Mereka membebaskan kami memakai nama Ranch, asalkan tetap dalam teritori Indonesia.
Tidak adanya supervisi dari Amerika justru menjadi peluang kami untuk melakukan re-concept Ranch. Berbeda dengan Ranch Amerika yang menyasar pasar orang Asia, kami menyasar high end market, termasuk ekspatriat.
Tuntutannya tentu kami harus menjaga kualitas dan layanan. Di sinilah tantangan saya dan karyawan mewujudkannya. Ini pula yang lantas saya terjemahkan dalam culture atau value di Supra Boga. Yakni menciptakan suasana belanja yang menyenangkan.
Caranya, pertama, kami harus melakukan diferensiasi produk. Artinya, produk yang kami jual tidak ada di tempat lain, tidak massal, dan unik. Ini penting agar menarik keinginan konsumen datang.
Makanya, sejak awal berdiri, kami terus mencari produk-produk tersebut. Kami ogah menunggu di meja layaknya dokter yang menunggu pasien. Kami memiliki tim product yang bertugas mencari produk eksklusif.
Tak hanya itu, kami juga membekali kemampuan karyawan agar mumpuni dalam menjelaskan produk, sekaligus mencari alternatif bila produk yang dicari tidak ada demi terciptanya pengalaman menyenangkan bagi konsumen. Tidak dengan cara responsif, tapi antisipatif.
Tak gampang di tengah persaingan bisnis ritel yang ketat. Makanya, saya lebih suka menerima pegawai yang fresh karena lebih mudah dibentuk sesuai standar kami.
Kedua, memberikan produk terbaik. Produk yang kami jual adalah produk fresh. Bagi pemain lain, ini susah karena banyak banget sampahnya. Makanya, sejak awal, kami melengkapi Ranch dengan berbagai alat dan sistem pengolahan demi menjaga kesegaran produk kami.
Tak hanya di hilir, produk kami juga terjaga sampai hulu. Misalnya, daging sapi, kami sediakan sapi yang hanya makan gandum dalam jangka waktu tertentu. Makanya, kami menjalin kerja sama dengan peternak.
Ketiga, dari sisi service, kami harus excellent. Ramah saja tak cukup, tapi harus excellent. Ini penting karena kami menciptakan rumah ketiga bagi konsumen. Rumah pertama adalah rumah mereka, rumah kedua kantor dan rumah ketiga adalah Ranch.
Ranch juga kami ciptakan sebagai rumah kedua untuk karyawan. Mereka bebas melakukan apa saja, tapi juga harus patuh dengan aturan yang kami buat.
Sebagai orang tua yang demokratis, kami membebaskan mereka berbicara dengan saya, menyampaikan unek-unek. Tapi, mereka punya target mewujudkan mimpi bersama, menjadikan rumah ini sebagai the biggest company.
Saya bukan pemimpin otoriter. Ketika saya tak tahu, saya bertanya. Ikan busuk itu dimulai dari kepala. Saya tak mau seperti itu.
Sumber: KONTAN
Saat itu, karyawan down, kami shock. Namun, menurut saya, the show must go on. Seperti orang Jawa bilang, masih untung toko kita tak dibakar. Makanya, saya katakan ke mereka kalau kami akan buka lagi, meski kerusuhan itu membuat kami merugi sampai Rp 6 miliar.
Kerusuhan itu juga yang membuat Ranch Amerika hengkang, tak lagi memberi supervisi pendirian Ranch. Namun hubungan kami clear. Kami bahkan tak perlu lagi membayar royalti. Mereka membebaskan kami memakai nama Ranch, asalkan tetap dalam teritori Indonesia.
Tidak adanya supervisi dari Amerika justru menjadi peluang kami untuk melakukan re-concept Ranch. Berbeda dengan Ranch Amerika yang menyasar pasar orang Asia, kami menyasar high end market, termasuk ekspatriat.
Tuntutannya tentu kami harus menjaga kualitas dan layanan. Di sinilah tantangan saya dan karyawan mewujudkannya. Ini pula yang lantas saya terjemahkan dalam culture atau value di Supra Boga. Yakni menciptakan suasana belanja yang menyenangkan.
Caranya, pertama, kami harus melakukan diferensiasi produk. Artinya, produk yang kami jual tidak ada di tempat lain, tidak massal, dan unik. Ini penting agar menarik keinginan konsumen datang.
Makanya, sejak awal berdiri, kami terus mencari produk-produk tersebut. Kami ogah menunggu di meja layaknya dokter yang menunggu pasien. Kami memiliki tim product yang bertugas mencari produk eksklusif.
Tak hanya itu, kami juga membekali kemampuan karyawan agar mumpuni dalam menjelaskan produk, sekaligus mencari alternatif bila produk yang dicari tidak ada demi terciptanya pengalaman menyenangkan bagi konsumen. Tidak dengan cara responsif, tapi antisipatif.
Tak gampang di tengah persaingan bisnis ritel yang ketat. Makanya, saya lebih suka menerima pegawai yang fresh karena lebih mudah dibentuk sesuai standar kami.
Kedua, memberikan produk terbaik. Produk yang kami jual adalah produk fresh. Bagi pemain lain, ini susah karena banyak banget sampahnya. Makanya, sejak awal, kami melengkapi Ranch dengan berbagai alat dan sistem pengolahan demi menjaga kesegaran produk kami.
Tak hanya di hilir, produk kami juga terjaga sampai hulu. Misalnya, daging sapi, kami sediakan sapi yang hanya makan gandum dalam jangka waktu tertentu. Makanya, kami menjalin kerja sama dengan peternak.
Ketiga, dari sisi service, kami harus excellent. Ramah saja tak cukup, tapi harus excellent. Ini penting karena kami menciptakan rumah ketiga bagi konsumen. Rumah pertama adalah rumah mereka, rumah kedua kantor dan rumah ketiga adalah Ranch.
Ranch juga kami ciptakan sebagai rumah kedua untuk karyawan. Mereka bebas melakukan apa saja, tapi juga harus patuh dengan aturan yang kami buat.
Sebagai orang tua yang demokratis, kami membebaskan mereka berbicara dengan saya, menyampaikan unek-unek. Tapi, mereka punya target mewujudkan mimpi bersama, menjadikan rumah ini sebagai the biggest company.
Saya bukan pemimpin otoriter. Ketika saya tak tahu, saya bertanya. Ikan busuk itu dimulai dari kepala. Saya tak mau seperti itu.
Oleh Nugroho Setiadharma
Sumber: KONTAN
Kamis, 24 Mei 2012
Femi Sekilas Pandang
Femi Adi Soempeno saat di semayangkan di Rumaha Sakit Harapan Kita, Slipi Jakara, Rabu 23 Mei 2012. Foto, oleh: Noverius Laoli |
Peristiwa nahas jatuhnya Pesawat Sukhoi buatan Rusia meninggalkan kenangan mendalam akan seorang sahabat. Femi Adi Soempeno, wartawan Bloomberg, Media asal Amerika Serikat.
Femi yang saya kenal adalah sosok pribadi yang hangat dan menyenangkan. Selain sebagai sosok yang cerdas, ia juga seorang yang mudah bergaul. Meskipun aku tidak mengenalnya secara dekat, tapi kami sempat beberapa kali liputan bersama di pengadilan. Pertama sekali mengenalnya sebenarnya bukan di pengadilan, melainkan di gedung Kontan, Media Bisnis dan Ekonomi, tempat aku bekerja.
Kala itu, salah seorang asisten redaktur (Asred) memperkenalkan perempuan kelahiran Yogyakarta, 4 April 1980 ini. “Mbak Femi ini dulu redaktur saya, dialah yang membimbingku menulis sehingga bisa sampai seperti sekarang ini,” jelasnya. Femi pun saat itu hanya senyum-senyum saja tanpa memberikan komenter apa-apa.
Aku pun berlagak biasa saja, bersalaman dan berkenalan dengannya. Namun setelah itu, aku tak bertemu denganya lagi. Beberapa bulan berselang, aku bertemu secara tidak sengaja dengannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat itu kami sedang mewawancarai pengacara senior yakni Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan.
Persoalan yang kami angkat terkait masalah Citibank dengan nasabahnya almarhum Irzen Octa, yang diduga mengalami kekerasan dari debt kolektor Citibank. Setelah melakukan wawancara, kami melirik satu sama lain dan kaget. Sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya. Dan tidak susah bagi kami untuk saling mengenal. Apalagi, Femi pernah menjadi wartawan Kontan, meskipun sudah tidak bekerja di media ini saat aku menjadi wartawan di sana.
Dari pertemuan tersebut, kami beberapa kali bertemu di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta. Seperti baisa, kami liputan bareng dan ngobrol sekedar basa-basi. Terakhir kami bertemu dan berbincang banyak hal ketika sidang perdana Muhammad Nazaruddin.
Satu hal yang membuat saya berkesan atasnya adalah orangnya sangat perhatian, hangat, menyenangkan dan tepat janji. Sebagai contoh, ketika sedang liputan Nazaruddin, aku sekedar iseng aja meminta tolong kalau nanti ia dapat berkas, aku minta foto kopinya.
Setelah sidang pledoi Nazaruddin selesai, aku sudah melupakan permintaan tersebut dan fokus mewawancara pengacara. Tapi, tiba-tiba saat selesai wawancara, Femi mencari aku, dan ia langsung menyodorkan salah satu berkas pembelaan Nazaruddin kepadaku. “Ini gua tadi ambil dua, satu untuk lu dan satu untuk gua, gua cabut dulu ya, masih liputan di tempat lain soalnya,” ucapnya sambil tersenyum dan langsung pergi.
Tak disangka, mungkin itukah terakhir kali liputan bersama dengan Femi? Aku tidak tahu. Tapi peristiwa jatuhnya Sukhoi, ternyata menyisahkan kenangan dengan Femi. Wajah dan senyumnya sekilas melintas dalam benak. Bahkan seperti tidak percaya ia ikut dalam penerbangan itu. Rasa-rasanya, Femi masih baik-baik saja. Semoga ia tetap baik-baik saja.
Salah seorang teman seangkatannya saat jadi wartawan di Kontan bercerita, beberapa hari yang lalu sebelum peristiwa naas ini, Femi sempat makan bersama dengannya. Dalam perbincangan mereka, Femi menuturkan bahwa ia telah menyiapkan tulisan atau obituari untuk tokoh-tokoh besar di Indonesia yang dia prediksi akan meninggal dunia dalam beberapa tahun ke depan, atau bisa saja meninggalnya mendadak.
Nah, obituari itu akan langsung dipublikasikan kalau tokoh yang dipersiapkan obituari itu meninggal secara mendadak. Apakah ini tanda-tanda? Aku tidak tahu. Meskipun demikian, Tuhan mungkin berkehendak lain.
Saat ini, Femi telah berada di tempat terindah yang menjadi asal dan tujuan. Selamat jalan sahabat, kau kami kenang sebagai seorang wartawan yang hangat, cerdas dan bersahabat.
Noverius Laoli
Konglomerasi Media Menggurita, Jurnalis Belum Sejahtera
yus ardhiansyah • Selasa, 1 Mei '12 19:38 • 0 komentar
Hari ini, 1 Mei 2012, kita kembali memperingati Hari Buruh se-Dunia.
Seluruh gerakan buruh dari berbagai sektor turun ke jalan, melakukan
aksi memprotes kondisi kesejahteraan dan kondisi kerja yang belum adil
bagi kaum buruh. Tidak terkecuali buruh media, yakni para jurnalis, juga
belum merasakan kesejahteraan dan kondisi kerja yang adil. Bagi
jurnalis, bahkan tidak hanya menghadapi persoalan kesejahteraan saja,
tetapi juga masalah kebebasan pers yang semakin mengancam, yang datang
dari aparat negara, laskar kemasyarakatan, dan intervensi pemilik
perusahaan pers terhadap independensi ruang redaksi .
Ancaman terakhir inilah yang kini dirasakan AJI Jakarta semakin mengkhawatirkan. Terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, AJI Jakarta melihat pemusatan kepemilikan media semakin kentara, terutama di media televisi, sehingga mengancam independensi ruang redaksi Kolaborasi penguasa partai politik dan penguasa media massa bakal menempatkan jurnalis Indonesia menjadi lebih rentan terhadap berbagai intervensi politik kekuasaan. Kondisi ini tentu sangat mengancam fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi menjalankan kontrol publik terhadap jalannya kekuasaan negara dalam kehidupan sehari-hari.
Gurita konglomerasi media saat ini semakin menakutkan. AJI Jakarta bersama sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk mengingatkan kembali tentang bahayanya pemusatan kepemilikan bagi publik, dalam perayaan hari buruh ini, AJI Jakarta mengusung ikon gurita, simbol bahwa jurnalis semakin terjepit dalam situasi konglomerasi media saat ini.
Ironisnya, dalam situasi saat ini, kesejahteraan jurnalis semakin memprihatinkan. Di Jakarta saja, hasil survei upah jurnalis yang dilakukan AJI Jakarta menjelang hari buruh kali ini, menunjukkan banyak jurnalis di Jakarta memiliki penghasilan yang tidak layak, diukur dari standar upah layak AJI Jakarta tahun 2012 yang tahun sebesar Rp 4,9 juta per per bulan –ralat, sebelumnya ditulis Rp 5,2 juta per bulan-- (take home pay, untuk jurnalis setingkat reporter dengan masa kerja 1-3 tahun). Ternyata, jurnalis televisi dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan (lihat daftar survei upah).
Kondisi ini tentu tidak kondusif untuk menciptakan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia. Kesejahteraan jurnalis yang rendah tentu akan membuat jurnalis rentan mendapat godaan suap dalam bentuk apapun dari narasumber. Ini sangat membahayakan bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik.
Selain masalah kesejahteraan dan kebebasan pers yang mencuat, kondisi kerja jurnalis di Jakarta awal tahun ini diwarnai dengan pemberangusan serikat pekerja oleh perusahaan media. Pemberangusan serikat pekerja ini menandakan media massa di Indonesia belum benar-benar menjadi instrumen demokrasi yang sejati, karena perusahaan media justru menebarkan ancaman terhadap kebebasan bersuara dan berorganisasi bagi jurnalis. Hal ini tercermin dari kasus Luviana dan pemecatan 13 orang anggota dan pengurus Serikat Pekerja Indonesia Finance Today (IFT) yang saat ini diadvokasi oleh AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Luviana, jurnalis perempuan dari Metro Tv, tiga bulan terakhir ini dibebastugaskan oleh Manajemen Metro Tv lantaran menuntut perbaikan kesejahteraan, meminta perbaikan manajemen ruang redaksi, dan menggagas berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di Metro TV, perusahaan televisi milik Surya Paloh, seorang pengusaha yang juga pendiri Partai Nasdem dan tengah gencar menggaungkan slogan Restorasi Indonesia itu melalui televisinya.
Begitu juga dalam kasus Serikat Karyawan IFT. Tiga belas orang jurnalis anggota Sekar IFT telah dipecat secara sepihak oleh manajemen PT Indonesia Finanindo Media, perusahaan media penerbit harian Indonesia Finance Today (IFT). Para jurnalis anggota dan pengurus Sekar IFT ini tengah memperjuangkan hak normatifnya, antara menuntut manajemen mengembalikan pemotongan gaji sepihak 5%-27,5% yang berlaku sejak Februari 2012, membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan selama tahun 2011. Kesemua tuntutan karyawan itu sebenarnya merupakan hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja Sama (Kontrak Kerja) yang dilanggar sendiri oleh manajemen.
Kasus Luviana dan Sekar IFT menunjukkan ancaman kebebasan bersuara dan berpendapat di perusahaan pers masih mengintai setiap saat. Pemilik media juga masih alergi terhadap keberadaan Serikat Pekerja sehingga memberangus serikat (Union Busting). Padahal keberadaan serikat pekerja amat diperlukan bagi jurnalis untuk memperbaiki iklim kerja yang masih tidak demokratis. Antara lain masih diberlakukan sistem kontrak kepada jurnalis di luar ketentuan.
Kondisi inilah yang membuat AJI Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya, turun ke jalan melakukan aksi MayDay bersama para buruh. Dalam peringatan hari buruh 2012 ini, AJI Jakarta menyatakan sejumlah sikap sebagai berikut:
1. AJI Jakarta menuntut negara tidak boleh lagi absen dalam upaya melindungi jurnalis dari ancaman kekerasan. Negara juga perlu berperan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang konstitusional untuk mencegah pemusatan kepemilikan media.
2. AJI Jakarta mendesak perusahaan media untuk lebih menghargai jurnalisnya dengan memberikan upah yang layak, memperbaiki kontrak kerja, serta melindungi kebebasan bersuara dan berserikat.
3. Menyatakan upah layak jurnalis tahun 2012 sebesar Rp 4,9 juta per bulan (ralat, sebelumnya dinyatakan Rp 5,2 juta per bulan). Kami mendesak upah layak ini dijadikan acuan bagi perusahaan media dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter dengan pengalaman minimal 1-3 tahun di media cetak, online, televisi, dan radio.
4. Kami mendesak perbaikan kontrak kerja bagi kontributor, koresponden dan stringer di media cetak, televisi, radio, dan online.
Jakarta, 1 Mei 2012
Hormat Kami,
Umar Idris Dian Yuliastuti
Ketua AJI Jakarta Sekretaris
Lampiran:
Hasil Survei Upah Jurnalis di Jakarta Tahun 2012
Penyelenggara: Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta
Media Cetak (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Bisnis Indonesia Rp 4,5 juta Rp 6 juta - 8 juta
2 Gatra Rp 2,2 juta Rp 2,5 juta - 3,5 juta
3 Jurnal Nasional Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kontan Rp 4,2 juta RP 6,3 juta - 6,5 juta
5 Koran Jakarta Rp 2,5 juta Rp 3,5 juta - 4 juta
6 Koran Sindo Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
7 Rakyat Merdeka Rp 2 juta Rp 2,3 juta - 3 juta
8 Tempo Rp 2,3 juta Rp 4 juta - 5,8 juta
9 The Jakarta Globe Rp 5 juta Rp 6 - 12 juta
10 Top Skor Rp 2,5 juta Rp 4 - 5 juta
Media Elektronik (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Berita Satu TV Rp 3,25 juta
2 Jak TV Rp 2 juta Rp 3 juta - 4 juta
3 KBR 68H Rp 2,8 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kompas TV Rp 3 juta
5 Metro TV Rp 2,2 juta Rp 4 juta
6 RCTI Rp 2,5 juta RP 5 - 8 juta
7 SCTV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 5 juta
8 Tempo TV Rp 2,8 juta
9 Trans TV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 TV One Rp 2,5 juta Rp 3 juta -5 juta
Media Online (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Antara News.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4,5 juta
2 Detik.com Rp 3,2 juta Rp 4 juta - 5 juta
3 Inilah.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
4 Jurnal Parlemen.com Rp 2,7 juta Rp 3 juta - 4 juta
5 Kapanlagi.com Rp 3 juta Rp 4 juta - 5 juta
6 Kompas.com Rp 3,7 juta Rp 4 juta - 5 juta
7 Media Indonesia.com Rp 3,5 juta Rp 4 - 5 juta
8 Merdeka.com Rp 3 juta
9 Okezone.com Rp 2,3 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 Viva News.com Rp 2,5 juta RP 3,5 juta - 4,5 juta
Ancaman terakhir inilah yang kini dirasakan AJI Jakarta semakin mengkhawatirkan. Terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, AJI Jakarta melihat pemusatan kepemilikan media semakin kentara, terutama di media televisi, sehingga mengancam independensi ruang redaksi Kolaborasi penguasa partai politik dan penguasa media massa bakal menempatkan jurnalis Indonesia menjadi lebih rentan terhadap berbagai intervensi politik kekuasaan. Kondisi ini tentu sangat mengancam fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi menjalankan kontrol publik terhadap jalannya kekuasaan negara dalam kehidupan sehari-hari.
Gurita konglomerasi media saat ini semakin menakutkan. AJI Jakarta bersama sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk mengingatkan kembali tentang bahayanya pemusatan kepemilikan bagi publik, dalam perayaan hari buruh ini, AJI Jakarta mengusung ikon gurita, simbol bahwa jurnalis semakin terjepit dalam situasi konglomerasi media saat ini.
Ironisnya, dalam situasi saat ini, kesejahteraan jurnalis semakin memprihatinkan. Di Jakarta saja, hasil survei upah jurnalis yang dilakukan AJI Jakarta menjelang hari buruh kali ini, menunjukkan banyak jurnalis di Jakarta memiliki penghasilan yang tidak layak, diukur dari standar upah layak AJI Jakarta tahun 2012 yang tahun sebesar Rp 4,9 juta per per bulan –ralat, sebelumnya ditulis Rp 5,2 juta per bulan-- (take home pay, untuk jurnalis setingkat reporter dengan masa kerja 1-3 tahun). Ternyata, jurnalis televisi dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan (lihat daftar survei upah).
Kondisi ini tentu tidak kondusif untuk menciptakan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia. Kesejahteraan jurnalis yang rendah tentu akan membuat jurnalis rentan mendapat godaan suap dalam bentuk apapun dari narasumber. Ini sangat membahayakan bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik.
Selain masalah kesejahteraan dan kebebasan pers yang mencuat, kondisi kerja jurnalis di Jakarta awal tahun ini diwarnai dengan pemberangusan serikat pekerja oleh perusahaan media. Pemberangusan serikat pekerja ini menandakan media massa di Indonesia belum benar-benar menjadi instrumen demokrasi yang sejati, karena perusahaan media justru menebarkan ancaman terhadap kebebasan bersuara dan berorganisasi bagi jurnalis. Hal ini tercermin dari kasus Luviana dan pemecatan 13 orang anggota dan pengurus Serikat Pekerja Indonesia Finance Today (IFT) yang saat ini diadvokasi oleh AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Luviana, jurnalis perempuan dari Metro Tv, tiga bulan terakhir ini dibebastugaskan oleh Manajemen Metro Tv lantaran menuntut perbaikan kesejahteraan, meminta perbaikan manajemen ruang redaksi, dan menggagas berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di Metro TV, perusahaan televisi milik Surya Paloh, seorang pengusaha yang juga pendiri Partai Nasdem dan tengah gencar menggaungkan slogan Restorasi Indonesia itu melalui televisinya.
Begitu juga dalam kasus Serikat Karyawan IFT. Tiga belas orang jurnalis anggota Sekar IFT telah dipecat secara sepihak oleh manajemen PT Indonesia Finanindo Media, perusahaan media penerbit harian Indonesia Finance Today (IFT). Para jurnalis anggota dan pengurus Sekar IFT ini tengah memperjuangkan hak normatifnya, antara menuntut manajemen mengembalikan pemotongan gaji sepihak 5%-27,5% yang berlaku sejak Februari 2012, membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan selama tahun 2011. Kesemua tuntutan karyawan itu sebenarnya merupakan hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja Sama (Kontrak Kerja) yang dilanggar sendiri oleh manajemen.
Kasus Luviana dan Sekar IFT menunjukkan ancaman kebebasan bersuara dan berpendapat di perusahaan pers masih mengintai setiap saat. Pemilik media juga masih alergi terhadap keberadaan Serikat Pekerja sehingga memberangus serikat (Union Busting). Padahal keberadaan serikat pekerja amat diperlukan bagi jurnalis untuk memperbaiki iklim kerja yang masih tidak demokratis. Antara lain masih diberlakukan sistem kontrak kepada jurnalis di luar ketentuan.
Kondisi inilah yang membuat AJI Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya, turun ke jalan melakukan aksi MayDay bersama para buruh. Dalam peringatan hari buruh 2012 ini, AJI Jakarta menyatakan sejumlah sikap sebagai berikut:
1. AJI Jakarta menuntut negara tidak boleh lagi absen dalam upaya melindungi jurnalis dari ancaman kekerasan. Negara juga perlu berperan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang konstitusional untuk mencegah pemusatan kepemilikan media.
2. AJI Jakarta mendesak perusahaan media untuk lebih menghargai jurnalisnya dengan memberikan upah yang layak, memperbaiki kontrak kerja, serta melindungi kebebasan bersuara dan berserikat.
3. Menyatakan upah layak jurnalis tahun 2012 sebesar Rp 4,9 juta per bulan (ralat, sebelumnya dinyatakan Rp 5,2 juta per bulan). Kami mendesak upah layak ini dijadikan acuan bagi perusahaan media dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter dengan pengalaman minimal 1-3 tahun di media cetak, online, televisi, dan radio.
4. Kami mendesak perbaikan kontrak kerja bagi kontributor, koresponden dan stringer di media cetak, televisi, radio, dan online.
Jakarta, 1 Mei 2012
Hormat Kami,
Umar Idris Dian Yuliastuti
Ketua AJI Jakarta Sekretaris
Lampiran:
Hasil Survei Upah Jurnalis di Jakarta Tahun 2012
Penyelenggara: Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta
Media Cetak (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Bisnis Indonesia Rp 4,5 juta Rp 6 juta - 8 juta
2 Gatra Rp 2,2 juta Rp 2,5 juta - 3,5 juta
3 Jurnal Nasional Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kontan Rp 4,2 juta RP 6,3 juta - 6,5 juta
5 Koran Jakarta Rp 2,5 juta Rp 3,5 juta - 4 juta
6 Koran Sindo Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
7 Rakyat Merdeka Rp 2 juta Rp 2,3 juta - 3 juta
8 Tempo Rp 2,3 juta Rp 4 juta - 5,8 juta
9 The Jakarta Globe Rp 5 juta Rp 6 - 12 juta
10 Top Skor Rp 2,5 juta Rp 4 - 5 juta
Media Elektronik (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Berita Satu TV Rp 3,25 juta
2 Jak TV Rp 2 juta Rp 3 juta - 4 juta
3 KBR 68H Rp 2,8 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kompas TV Rp 3 juta
5 Metro TV Rp 2,2 juta Rp 4 juta
6 RCTI Rp 2,5 juta RP 5 - 8 juta
7 SCTV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 5 juta
8 Tempo TV Rp 2,8 juta
9 Trans TV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 TV One Rp 2,5 juta Rp 3 juta -5 juta
Media Online (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Antara News.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4,5 juta
2 Detik.com Rp 3,2 juta Rp 4 juta - 5 juta
3 Inilah.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
4 Jurnal Parlemen.com Rp 2,7 juta Rp 3 juta - 4 juta
5 Kapanlagi.com Rp 3 juta Rp 4 juta - 5 juta
6 Kompas.com Rp 3,7 juta Rp 4 juta - 5 juta
7 Media Indonesia.com Rp 3,5 juta Rp 4 - 5 juta
8 Merdeka.com Rp 3 juta
9 Okezone.com Rp 2,3 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 Viva News.com Rp 2,5 juta RP 3,5 juta - 4,5 juta
Selasa, 08 Mei 2012
Arogansi Kepala Desa Lubuk Ampolu, Kabupaten Tapanuli Tengah
Jika selama ini kita disuguhi informasi soal arogansi Polisi dan TNI terhadap warga negara, ternyata kepala daerah, seperti kepala desa juga, bertindak arogan kepada warganya. Apalagi warga di desa cenderung tidak berpendidikan, dan tidak tahu apa yang menjadi hak-hak mereka.
Sebagai sebuah negara yang merdeka, setiap warga negara Indonesia seharusnya mendapatkan kehidupan yang tenang dan aman. Menciptakan ketenangan dan keamanan itu, menjadi bagian dari tugas pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kotamadya dan desa/kelurahan. Pemerintah memang sudah seharusnya mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warganya. Jika hal itu tidak tercapai, maka pemerintah dapat disebut gagal dalam melaksanakan tugasnya.
Namun, secara fakta, tidak semua pemerintah mampu menciptakan rasa aman bagi warganya. Pasti saja ada yang membuat warga terganggu bahkan menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan. Baik itu akibat serangan dari orang lain, maupun dari pemerintah daerah itu sendiri. Lebih para lagi, jika pemerintah setempat yang menciptakan ketidaknyamanan tersebut. Jika kepala desa menakut-nakuti warganya, bahwa mereka akan ditangkap polisi jika tidak menaati apa yang dimintanya, ini sudah di luar batas kewajaran.
Ketidaknyamanan tersebut dialami oleh salah seorang warga di Desa Lubuk Ampolu, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Persoalannya bermula, ketika, salah seorang warga desa tetangga mengklaim bahwa perbatasan kebun miliknya dengan warga di Desa Lubuk Ampolu ini bermasalah. Warga desa tetangga ini mengatakan, perbatasan kebun tersebut sudah bergeser dan harus diluruskan. Ia menguatkan pernyataannya dengan keterangan dua saksi, yang sebelumnya sebagai pemilik kebun tersebut. Namun, ia tidak memiliki bukti atas klaimnya tersebut.
Kepala Desa Lubuk Ampolu pun memanggil para pihak dan membicarakannya. Dalam pembicaraan tersebut, kepala desa bersama perangkat desa melihat ada persoalan yang sulit diatasi. Warga desa tetangga hanya menuding saja, tanpa bukti. Ia hanya dikuatkan dua saksi. Yang notabene, keterangan saksi bisalah dibuat-buat asal sudah dapat “suntikan,”. Selain itu, keterangan saksi sangatlah lemah. Para aparat desa pun beradu argumen dan memiliki pandangan yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan.
Di tengah perbedaan pendapat tersebut, sang kepala desa menengahi dan memberikan solusi. Ia meminta agar warga tersebut bersedia mengambil jalan tengah dengan rela membagi dua kebun milik warga desa Lubuk Ampolu, yang notabene warganya sendiri. Artinya, meskipun tidak sepenuhnya memenuhi permintaan warga desa tetangga, tapi setengah dari klaim warga desa tetangga itu harus dikabulkan.
Karena merasa tidak adil dan dirugikan, warga desa Lubuk Ampolu ini menentang keras permintaan kepala desanya tersebut. “Masa kebun itu sudah saya bangun selama lebih dari dua puluh tahun, harus saya berikan kepada dia, yang sama sekali tidak pernah mengerjakannya,” jelasnya. Bahkan ia merasa semakin tidak adil, karena bukti-bukti yang dia sodorkan seperti kayu yang sudah di cat di perbatasan, lalu masih ada sampai sekarang dan surat tanah yang sudah ditandatangani kedua belah pihak, sama sekali tidak dipertimbankan oleh kepada desanya. Ia justru curiga ada ada dengan kepala desa saya?
Jika suatu hari misalnya, setiap orang mengklaim bahwa perbatasan kebun mereka ada yang salah dan seharusnya perbatasan itu di tengah kebun milik orang lain, lalu ia membawa dua orang saksinya, tanpa bukti, maka jika berpatokan pada saran kepala desa Lubuk Ampolu, klaim orang itu harus dikabulkan, minimal sebagian . Maka tentu saja, setiap orang mengalami ketidakadailan. Kebijakan tersebut bisa memicusetiap orang untuk mengklaim kebun milik orang lain sebagai miliknya, toh jika tidak berhasil, mereka akan mendapat minimal separuh kebun milik orang lain. Kebijakan kepala desa ini suatu kesalah besar yang membawa warganya pada ketidaknyamanan dan ketidakadilan.
Atas penolakan warga Desa Lubuk Ampolu tersebut, sang kepala desa bukannya memberikan respon yang bijak, justru kepala desa Lubuk Ampolu membela warga desa tetangga dengan mengatakan bahwa warganya tersebut harus menaati keputusannya. Ia melarang warga desanya ini mengelola kebun karet miliknya. Alasannya, karena masih dalam sengketa. Karena tidak ada kesepakatan, dan atas usulan perangkat desa yang lain, akhirnya dibuat keputusan bahwa perangkat desa tidak bisa mengatasi persoalan itu dan sudah angkat tangan. Artinya, kalau kedua belah pihak bersedia, maka mereka harus melanjutkannya ke Pengadilan. Soalnya, ranah hukum ini masuk dalam kategori perdata dan bukan pidana yang bisa ditangani polisi.
Beberapa hari kemudian, warga desa Lubuk Ampolu ini mengalami intimidasi dari pihak lawan. Setiap kali mereka bekerja di kebun karet milik mereka, sejumlah anak muda mengawasi mereka secara terang-terangan. Namun, warga desa Lubuk Ampolu ini masih bersabar. Sampai pada akhirnya, ia kembali dipanggil oleh kepala desanya. Bahkan cara memanggilanya pun dititipkan lewat anak kecil yang berusia sekitar belasan tahun. Sesuatu yang tidak lazim sebenarnya. Seharusnya kepala desa bisa membuat surat pemanggilan kepada warganya.
Warga desa Lubuk Ampolu ini memilih untuk memenuhi panggilan tersebut. Dalam pertemuannya dengan sang kepala desa, ia merasakan ada tekanan lagi. Soalnya kepala desa memintanya untuk tidak bekerja di kebun milikya yang masih dalam sengketa. Kalau ia terus bekerja, maka kepala desa akan lepas tangan dan menyuruh polisi menangkap warganya ini.
Tentu saja pernyataan kepala desa ini benar-benar aneh dan terkesan bodoh. Soalnya, persoalan perdata bukanlah urusan polisi, kecuali kalau memang ada unsur pidananya. Itu adalah urusan pengadilan. Maka tidak ada maksud lain dari kepala desa ini selain menakut-nakuti warganya bekerja dan mengintimidasinya secara langsung. Warga desa Lubuk Ampolu ini merasa hidupnya tidak nyaman hidup di desa tersebut. Dan tentu saja ia pun merasa takut jika ditangkap polisi, karena ia tidak tahu hukum sedikit pun.
Arogansi kepala desa seperti ini, mungkin juga dialami oleh banyak warga desa lainnya. Namun, jika arogansi dengan mengintimidasi dan membuat warganya tidak nyaman tetap dibiarkan, maka negara ini semakin jauh saja dari cita-cita kemerdekaan. Sudah menjadi kewajiban para camat dan bupati di daerah memantau dan membina kepala desa di wilayah mereka, agar tahu apa yang menjadi tugas mereka dan tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kedudukannya sebagai kepala desa. Soalnya, ada kepala desa yang mengajadikan diri mereka semacam raja-raja kecil di wilayah mereka. Para kepala desa ini sering kali bertindak otoriter, dan jauh dari demokrasi.
Sebagai sebuah negara yang merdeka, setiap warga negara Indonesia seharusnya mendapatkan kehidupan yang tenang dan aman. Menciptakan ketenangan dan keamanan itu, menjadi bagian dari tugas pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kotamadya dan desa/kelurahan. Pemerintah memang sudah seharusnya mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warganya. Jika hal itu tidak tercapai, maka pemerintah dapat disebut gagal dalam melaksanakan tugasnya.
Namun, secara fakta, tidak semua pemerintah mampu menciptakan rasa aman bagi warganya. Pasti saja ada yang membuat warga terganggu bahkan menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan. Baik itu akibat serangan dari orang lain, maupun dari pemerintah daerah itu sendiri. Lebih para lagi, jika pemerintah setempat yang menciptakan ketidaknyamanan tersebut. Jika kepala desa menakut-nakuti warganya, bahwa mereka akan ditangkap polisi jika tidak menaati apa yang dimintanya, ini sudah di luar batas kewajaran.
Ketidaknyamanan tersebut dialami oleh salah seorang warga di Desa Lubuk Ampolu, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Persoalannya bermula, ketika, salah seorang warga desa tetangga mengklaim bahwa perbatasan kebun miliknya dengan warga di Desa Lubuk Ampolu ini bermasalah. Warga desa tetangga ini mengatakan, perbatasan kebun tersebut sudah bergeser dan harus diluruskan. Ia menguatkan pernyataannya dengan keterangan dua saksi, yang sebelumnya sebagai pemilik kebun tersebut. Namun, ia tidak memiliki bukti atas klaimnya tersebut.
Kepala Desa Lubuk Ampolu pun memanggil para pihak dan membicarakannya. Dalam pembicaraan tersebut, kepala desa bersama perangkat desa melihat ada persoalan yang sulit diatasi. Warga desa tetangga hanya menuding saja, tanpa bukti. Ia hanya dikuatkan dua saksi. Yang notabene, keterangan saksi bisalah dibuat-buat asal sudah dapat “suntikan,”. Selain itu, keterangan saksi sangatlah lemah. Para aparat desa pun beradu argumen dan memiliki pandangan yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan.
Di tengah perbedaan pendapat tersebut, sang kepala desa menengahi dan memberikan solusi. Ia meminta agar warga tersebut bersedia mengambil jalan tengah dengan rela membagi dua kebun milik warga desa Lubuk Ampolu, yang notabene warganya sendiri. Artinya, meskipun tidak sepenuhnya memenuhi permintaan warga desa tetangga, tapi setengah dari klaim warga desa tetangga itu harus dikabulkan.
Karena merasa tidak adil dan dirugikan, warga desa Lubuk Ampolu ini menentang keras permintaan kepala desanya tersebut. “Masa kebun itu sudah saya bangun selama lebih dari dua puluh tahun, harus saya berikan kepada dia, yang sama sekali tidak pernah mengerjakannya,” jelasnya. Bahkan ia merasa semakin tidak adil, karena bukti-bukti yang dia sodorkan seperti kayu yang sudah di cat di perbatasan, lalu masih ada sampai sekarang dan surat tanah yang sudah ditandatangani kedua belah pihak, sama sekali tidak dipertimbankan oleh kepada desanya. Ia justru curiga ada ada dengan kepala desa saya?
Jika suatu hari misalnya, setiap orang mengklaim bahwa perbatasan kebun mereka ada yang salah dan seharusnya perbatasan itu di tengah kebun milik orang lain, lalu ia membawa dua orang saksinya, tanpa bukti, maka jika berpatokan pada saran kepala desa Lubuk Ampolu, klaim orang itu harus dikabulkan, minimal sebagian . Maka tentu saja, setiap orang mengalami ketidakadailan. Kebijakan tersebut bisa memicusetiap orang untuk mengklaim kebun milik orang lain sebagai miliknya, toh jika tidak berhasil, mereka akan mendapat minimal separuh kebun milik orang lain. Kebijakan kepala desa ini suatu kesalah besar yang membawa warganya pada ketidaknyamanan dan ketidakadilan.
Atas penolakan warga Desa Lubuk Ampolu tersebut, sang kepala desa bukannya memberikan respon yang bijak, justru kepala desa Lubuk Ampolu membela warga desa tetangga dengan mengatakan bahwa warganya tersebut harus menaati keputusannya. Ia melarang warga desanya ini mengelola kebun karet miliknya. Alasannya, karena masih dalam sengketa. Karena tidak ada kesepakatan, dan atas usulan perangkat desa yang lain, akhirnya dibuat keputusan bahwa perangkat desa tidak bisa mengatasi persoalan itu dan sudah angkat tangan. Artinya, kalau kedua belah pihak bersedia, maka mereka harus melanjutkannya ke Pengadilan. Soalnya, ranah hukum ini masuk dalam kategori perdata dan bukan pidana yang bisa ditangani polisi.
Beberapa hari kemudian, warga desa Lubuk Ampolu ini mengalami intimidasi dari pihak lawan. Setiap kali mereka bekerja di kebun karet milik mereka, sejumlah anak muda mengawasi mereka secara terang-terangan. Namun, warga desa Lubuk Ampolu ini masih bersabar. Sampai pada akhirnya, ia kembali dipanggil oleh kepala desanya. Bahkan cara memanggilanya pun dititipkan lewat anak kecil yang berusia sekitar belasan tahun. Sesuatu yang tidak lazim sebenarnya. Seharusnya kepala desa bisa membuat surat pemanggilan kepada warganya.
Warga desa Lubuk Ampolu ini memilih untuk memenuhi panggilan tersebut. Dalam pertemuannya dengan sang kepala desa, ia merasakan ada tekanan lagi. Soalnya kepala desa memintanya untuk tidak bekerja di kebun milikya yang masih dalam sengketa. Kalau ia terus bekerja, maka kepala desa akan lepas tangan dan menyuruh polisi menangkap warganya ini.
Tentu saja pernyataan kepala desa ini benar-benar aneh dan terkesan bodoh. Soalnya, persoalan perdata bukanlah urusan polisi, kecuali kalau memang ada unsur pidananya. Itu adalah urusan pengadilan. Maka tidak ada maksud lain dari kepala desa ini selain menakut-nakuti warganya bekerja dan mengintimidasinya secara langsung. Warga desa Lubuk Ampolu ini merasa hidupnya tidak nyaman hidup di desa tersebut. Dan tentu saja ia pun merasa takut jika ditangkap polisi, karena ia tidak tahu hukum sedikit pun.
Arogansi kepala desa seperti ini, mungkin juga dialami oleh banyak warga desa lainnya. Namun, jika arogansi dengan mengintimidasi dan membuat warganya tidak nyaman tetap dibiarkan, maka negara ini semakin jauh saja dari cita-cita kemerdekaan. Sudah menjadi kewajiban para camat dan bupati di daerah memantau dan membina kepala desa di wilayah mereka, agar tahu apa yang menjadi tugas mereka dan tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kedudukannya sebagai kepala desa. Soalnya, ada kepala desa yang mengajadikan diri mereka semacam raja-raja kecil di wilayah mereka. Para kepala desa ini sering kali bertindak otoriter, dan jauh dari demokrasi.
Selasa, 17 April 2012
Premanisme Kepala Desa Dan Kroni-Kroninya
Ketidakadilan masih dirasakan masyarakat kecil di pedesaan. Kenyataan ini menyeruak ketika kepala desa, penatua-penatua, dan pengambilan kebijakan di daerah tersebut, masuk angin. Artinya mereka mendapat sogokan dari salah satu pihak yang bersengketa. Akibatnya, yang tidak bersalahpun, dijatuhi hukuman lantaran dituduh melakukan kesalahan, dan mereka tidak mampu membela diri. Bahkan jika mereka membantah, mereka dituduh melawan keputusan pemerintah daerah setempat. Bahkan acapkali masyarakat kecil tersebut ditekan dengan cara dibentak-bentak saat keputusan yang dipaksakan diambil.
Kenyataan ini penulis saksikan sendiri. Pekan lalu (Rabu 11/4/2012) ketika pulang ke kampung halaman di Desa Lubuk Ampolu, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Masalah yang menyeruak kala itu adalah permasalahan perbatasan tanah, khususnya kebun karet, milik dua orang petani karet. Salah satunya, sebut saja bernama, Baharuddin, mengklaim perbatasan kebun miliknya, dengan sebut saja bernama Gano. Baharuddin menuturkan bahwa perbatasan kebunnya dengan Gano bukanlah perbatasan yang sudah ada saat ini, melainkan harusnya di tengah kebun milik Gano. Gano tentu saja membantah dan mengatakan bahwa perbatasannya seperti yang sudah terjadi selama ini. Buktinya ada surat yang sudah ditandatangani oleh Baharuddin sendiri.
Selain itu, Gano juga bilang dia sudah menanam pohon karet dengan usia lebih dari 20 tahun di atas lahan tersebut, dan tidak ada gugatan apa-apa. Apalagi sebelumnya daerah itu adalah hutan. Namun, klaim Baharuddin muncul ketika ia menyuruh orang menebang pohon tersebut untuk dijual hasilnya. Tapi saat pohon kayu dikebunnya ditebang, pohon tersebut menimpa pohon karet milik Gano dan akhirnya lima pohon karetnya ikut tumbang ke tanah. Padahal dari pohon karet miliknya itulah, Gano bisa menyambung hidup sehari-hari.
Baharuddin bukannya meminta maaf atas kejadian itu, tapi justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai lahan Gano. Ia kemudian mengatakan bahwa perbatasannya ada di tengah kebun milik Gano dan bukan perbatasan yang sekarang. Jadi pohon karet yang tumbang tersebut adalah miliknya. Ia menguatkan klaimnya dengan menghadirkan saksi yang tampaknya tidak netral yakni anak dari pemilik kebun tersebut sebelumnya – mereka sudah menjual kebun tersebut sekitar 30 tahun lalu, dan saat itu masih hutan. Anehnya para saksi tersebut sudah pernah menjual tanah itu ke beberapa orang sebelum jatuh ke tangan kedua belah pihak. Selain itu, mereka begitu ngotot dan terkesan memaksakan agar kesaksian mereka diterima. Namun yang perlu dicatat mereka adalah keluarga dekat pengambil kebijakan yakni kepala desa di desa tersebut.
Yang tidak kalah serunya adalah yang mengambil keputusan terdiri dari kedua saksi tadi, ditambah kepala desa, Bapaknya kepala desa, dan Saudara laki-laki dari kepada desa, plus dua orang penatua di kampung tersebut. Semua kelompok tersebut membenarkan klaim Baharuddin dan menyalahkan Gano, tanpa memberikan analisa yang jelas dan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dua orang penatua lainnya yang tampak netral tidak bisa berbuat apa-apa bahkan sebelum mereka selesai bicara pun, perkataan mereka sudah dipotong oleh kelompok yang pro Baharuddin.
Perlu juga diketahui, saat mengambil keputusan yang dipaksakan tersebut disertai dengan bentakan-bentakan kepada pihak Gano, khusunya dari kepala desa, bersama dengan Bapaknya, yang juga penaehat dan Saudara laki-lakinya, yang tidak jelas jabatannya di desa tersebut. Namun Gano sebagai masyarakat di daerah ini tidak menerima begitu saja. Soalnya ia merasa bahwa tidak ada masalah di perbatasan tersebut, dia pun menolak keputusan itu. Namun, kepala desa, bersama dengan Bapaknya dan kakanya plus dengan saudaranya yang hadir di situ menuduh Gano tidak taat pada keputusan pemerintah daerah. Mereka memarahi Gano karena dianggap tidak menghargai keputusan mereka sebagai pemerintah daerah. Akhirnya mereka pun membuat keputusan bahwa Gano dilarang mengelola kebun miliknya lagi. Untuk menundukkan Gano mereka bilang, Gano hanyalah masyarakat biasa, jadi harus tunduk pada putusan mereka.
Di daerah yang sama, beberapa minggu sebelumnya, salah seorang warga yang dipukuli warga setempat nyaris dijatuhi sanksi, dengan alasan bahwa dia telah mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Sementara para pemukulnya tidak dihukum sedikit pun. Setelah ditilik lebih jauh, pemukul warga tersebut adalah warga setempat yang sudah lama berdiam di kampung tersebut dan punya kerabat yang punya pengaruh, sementara yang dihajar adalah pedatang baru yang mediami daerah tersebut sekitar satu tahun dan tidak punya saudara yang bisa membelanya.
Sungguh ironis menyaksikan kenyataan ini. Hati nurani penulis sebagai masyarat pun tergerak. Inilah kenyataan yang acapkali terjadi di daerah, dan tak pernah diekspos. Penguasa di desa tersbut berlagak seperti raja, dan terkadang bertindak otoriter. Mereka lupa bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi di mana setiap orang memiliki hak untuk membela diri. Sistem feodalisme macam ini ternyata terus dipelira di daerah-daerah untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Apalagi jika pejabat daerah mendapatkan sogokan. Sebuah tindakan yang tidak terpuji dan memalukan.
Melalui artikel ini, penulis hendak mengugah kesadaran para pemimpin di negeri ini, khususnya kepada pengambil kebijakan di daerah seperti Bupati dan Camat. Mereka tidak bisa menutup mata atas peristiwa-peristiwa ketidakadilan yang dialami warga di wilayah mereka, hanya karena warga tersebut tidak tahu apa yang menjadi hak mereka dan ke mana mereka harus mengadu. Dibentak saja, mereka sudah tidak bernyali. Mengadu ke polisi mereka takut karena tidak tahu harus bilang apa, dan tidak uang pelicin agar kasusnya diperhatikan.
Noverius Laoli
Kenyataan ini penulis saksikan sendiri. Pekan lalu (Rabu 11/4/2012) ketika pulang ke kampung halaman di Desa Lubuk Ampolu, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Masalah yang menyeruak kala itu adalah permasalahan perbatasan tanah, khususnya kebun karet, milik dua orang petani karet. Salah satunya, sebut saja bernama, Baharuddin, mengklaim perbatasan kebun miliknya, dengan sebut saja bernama Gano. Baharuddin menuturkan bahwa perbatasan kebunnya dengan Gano bukanlah perbatasan yang sudah ada saat ini, melainkan harusnya di tengah kebun milik Gano. Gano tentu saja membantah dan mengatakan bahwa perbatasannya seperti yang sudah terjadi selama ini. Buktinya ada surat yang sudah ditandatangani oleh Baharuddin sendiri.
Selain itu, Gano juga bilang dia sudah menanam pohon karet dengan usia lebih dari 20 tahun di atas lahan tersebut, dan tidak ada gugatan apa-apa. Apalagi sebelumnya daerah itu adalah hutan. Namun, klaim Baharuddin muncul ketika ia menyuruh orang menebang pohon tersebut untuk dijual hasilnya. Tapi saat pohon kayu dikebunnya ditebang, pohon tersebut menimpa pohon karet milik Gano dan akhirnya lima pohon karetnya ikut tumbang ke tanah. Padahal dari pohon karet miliknya itulah, Gano bisa menyambung hidup sehari-hari.
Baharuddin bukannya meminta maaf atas kejadian itu, tapi justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai lahan Gano. Ia kemudian mengatakan bahwa perbatasannya ada di tengah kebun milik Gano dan bukan perbatasan yang sekarang. Jadi pohon karet yang tumbang tersebut adalah miliknya. Ia menguatkan klaimnya dengan menghadirkan saksi yang tampaknya tidak netral yakni anak dari pemilik kebun tersebut sebelumnya – mereka sudah menjual kebun tersebut sekitar 30 tahun lalu, dan saat itu masih hutan. Anehnya para saksi tersebut sudah pernah menjual tanah itu ke beberapa orang sebelum jatuh ke tangan kedua belah pihak. Selain itu, mereka begitu ngotot dan terkesan memaksakan agar kesaksian mereka diterima. Namun yang perlu dicatat mereka adalah keluarga dekat pengambil kebijakan yakni kepala desa di desa tersebut.
Yang tidak kalah serunya adalah yang mengambil keputusan terdiri dari kedua saksi tadi, ditambah kepala desa, Bapaknya kepala desa, dan Saudara laki-laki dari kepada desa, plus dua orang penatua di kampung tersebut. Semua kelompok tersebut membenarkan klaim Baharuddin dan menyalahkan Gano, tanpa memberikan analisa yang jelas dan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dua orang penatua lainnya yang tampak netral tidak bisa berbuat apa-apa bahkan sebelum mereka selesai bicara pun, perkataan mereka sudah dipotong oleh kelompok yang pro Baharuddin.
Perlu juga diketahui, saat mengambil keputusan yang dipaksakan tersebut disertai dengan bentakan-bentakan kepada pihak Gano, khusunya dari kepala desa, bersama dengan Bapaknya, yang juga penaehat dan Saudara laki-lakinya, yang tidak jelas jabatannya di desa tersebut. Namun Gano sebagai masyarakat di daerah ini tidak menerima begitu saja. Soalnya ia merasa bahwa tidak ada masalah di perbatasan tersebut, dia pun menolak keputusan itu. Namun, kepala desa, bersama dengan Bapaknya dan kakanya plus dengan saudaranya yang hadir di situ menuduh Gano tidak taat pada keputusan pemerintah daerah. Mereka memarahi Gano karena dianggap tidak menghargai keputusan mereka sebagai pemerintah daerah. Akhirnya mereka pun membuat keputusan bahwa Gano dilarang mengelola kebun miliknya lagi. Untuk menundukkan Gano mereka bilang, Gano hanyalah masyarakat biasa, jadi harus tunduk pada putusan mereka.
Di daerah yang sama, beberapa minggu sebelumnya, salah seorang warga yang dipukuli warga setempat nyaris dijatuhi sanksi, dengan alasan bahwa dia telah mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Sementara para pemukulnya tidak dihukum sedikit pun. Setelah ditilik lebih jauh, pemukul warga tersebut adalah warga setempat yang sudah lama berdiam di kampung tersebut dan punya kerabat yang punya pengaruh, sementara yang dihajar adalah pedatang baru yang mediami daerah tersebut sekitar satu tahun dan tidak punya saudara yang bisa membelanya.
Sungguh ironis menyaksikan kenyataan ini. Hati nurani penulis sebagai masyarat pun tergerak. Inilah kenyataan yang acapkali terjadi di daerah, dan tak pernah diekspos. Penguasa di desa tersbut berlagak seperti raja, dan terkadang bertindak otoriter. Mereka lupa bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi di mana setiap orang memiliki hak untuk membela diri. Sistem feodalisme macam ini ternyata terus dipelira di daerah-daerah untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Apalagi jika pejabat daerah mendapatkan sogokan. Sebuah tindakan yang tidak terpuji dan memalukan.
Melalui artikel ini, penulis hendak mengugah kesadaran para pemimpin di negeri ini, khususnya kepada pengambil kebijakan di daerah seperti Bupati dan Camat. Mereka tidak bisa menutup mata atas peristiwa-peristiwa ketidakadilan yang dialami warga di wilayah mereka, hanya karena warga tersebut tidak tahu apa yang menjadi hak mereka dan ke mana mereka harus mengadu. Dibentak saja, mereka sudah tidak bernyali. Mengadu ke polisi mereka takut karena tidak tahu harus bilang apa, dan tidak uang pelicin agar kasusnya diperhatikan.
Noverius Laoli
Minggu, 15 April 2012
Bupati-bupati Inlander
Sri-Edi Swasono, GURU BESAR UI; KETUA UMUM MAJELIS LUHUR TAMANSISWA
Sumber : KOMPAS, 18 Februari 2012
Seorang pejabat tinggi pemerintah menyampaikan kepada saya niatnya menerbitkan buku berdasarkan data yang dimiliki kantornya berjudul ”Tukang Becak dan Kemiskinan Massal”. Saya bilang, judul semacam itu tidak akan menarik selera baca.
John Kenneth Galbraith yang menulis buku Why The Poor Are Poor, 55 tahun lalu, tak direspons pembaca. Istrinya mengusulkan judul buku diganti The Affluent Society. Buku itu pun terkenal sebagai buku superlaris, menyajikan pencerahan tentang ekonomi dan humanisme.
Kepada pejabat tinggi itu saya sarankan agar judul bukunya diganti ”Bupati-bupati Inlander” atau ”Bupati-bupati Keblinger”, pasti bukunya akan jadi tersohor.
Tugas Kerakyatan
Ketika saya berkunjung ke satu kabupaten, yang sesuai kriteria Bappenas termasuk kabupaten tertinggal, sang bupati memamerkan pemasukan anggaran Rp 1 miliar per tahun berupa royalti dari restoran cepat saji makanan asing yang diizinkannya berdiri di pinggir alun-alun kabupaten. Alun-alun turun pangkat, bukan lagi sebagai kemegahan lokal yang dikelilingi kantor kabupaten, masjid agung, kantor pos, penjara, dan kawedanan. Sang bupati yang bangga dengan hadirnya restoran waralaba asing itu masih inlander, mudah terkagum-kagum.
Berapa omzet restoran cepat saji ini jika berani membayar royalti Rp 1 miliar per tahun: Rp 10 miliar-kah, Rp 15 miliar-kah? Maka, akan sebesar omzet itu pula uang rakyat tersedot ke situ, tidak lagi dibelanjakan jajanan pasar dan makanan lokal lain buatan rakyat. Proses pemiskinan ini tidak menguak kesadaran sang bupati. Baginya modernisasi adalah pembaratan, mengagumi investor asing, lengah akan tugas kerakyatan.
Membangun mal atau supermal tentu tak harus dilarang, tetapi semestinya dikenai syarat-syarat. Sebagai pemberi izin, seharusnya kekuasaan pemerintah daerah ini disertai aturan menata kehidupan ekonomi demi menyejahterakan rakyat. Misalnya, 70 persen produk yang dijual di mal harus produk lokal dan produk dalam negeri. Lalu, 30 persen tempat disediakan untuk usaha-usaha kecil—termasuk pedagang kaki lima bisa masuk ke dalam mal— dengan biaya kios yang terjangkau.
Pelanggaran terhadap aturan ini tidak boleh ditoleransi dengan denda. Barangkali ada baiknya pula jika konsumen-konsumen dapat diatur oleh perbankan memperoleh saham kesertaan dari minimarket-minimarket di RT/RW. Bukankah rakyat harus senantiasa terbawa serta dalam kemajuan pembangunan?
Pemodal dan Pedagang Politik
Globalisasi dengan selera hidup konsumtif affluency-nya mendapat tempat di Indonesia. Kesan kuat terasakan, banyak penguasa daerah mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal, supermarket, dan semacamnya. Ibaratnya, pembangunan ada jika muncul restoran hamburger, piza, dan semacamnya, serba absurd dengan papan-papan nama serba berbahasa asing. Ternyata sebagian teman kampus menyukai pula model dan selera ekonomi macam ini, tetapi bagi sebagian yang lain menyebutnya sebagai kemiskinan akademis.
Akibatnya nyata: demi mal, supermarket—dan tentu demi hotel mewah dan permukiman supermewah—pembangunan telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Transfer pemilikan—terutama tanah—dari si lemah ke si kuat makin intensif dan masif, sekaligus merupakan proses minderisasi (inferiorization) rakyat.
Tidak ada orang yang tergusur dengan pesangon menjadi kaya, sebaliknya pemilik baru akan terus memperoleh rente ekonomi. Pemilikan bersama (co-ownership) adalah kata kunci penyelesaian. Pemiskinan rakyat ini terjadi karena berlakunya pakem-pakem zaman edan, mumpungisme alias carpediemism dan cita rasa murah penguasa-penguasa daerah, maka pembangunan berubah menjadi proses dehumanisasi.
Terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara rakyat suara uang receh. Tokoh lokal yang terbaik tidak terpilih jadi pemimpin akibat takhta bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal dan pedagang politik. Kata Mendagri, ada 160 bupati jadi tersangka atau masuk bui. Indeks korupsi APBD diberitakan tetap tinggi. Mereka bupati-bupati keblinger, jabatannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk diri sendiri.
Siapa salah jika sang bupati tak mengenal potensi rakyat, potensi daerah, dan nilai oportunitasnya? Siapa salah kalau sang bupati tak berwawasan pembangunan humanistis sebagaimana dikehendaki konstitusi kita: bahwa pembangunan harus menghasilkan nilai tambah ekonomi sekaligus nilai tambah sosial-kultural?
Pembangunan semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat. Brutalitas neoliberalisme ekonomi menambah kesewenang-wenangan dan kesengsaraan rakyat. Otonomi daerah telah membawa kegamangan bagi para bupati. Ibaratnya, sumber daya alam boleh diobral: Indonesia is for sale!
Barangkali Mendagri lengah budaya di sini, ia ”menyekolahkan” bupati-bupati baru ke Harvard School of Government, bukan ke kampus-kampus kita sendiri yang memahami pembangunan partisipatori-emansipatif. Barangkali itulah hasilnya ke Harvard, asingisasi.
Bukan Sekadar Bagi-bagi Kue
Pembangunan bukan lagi sekadar memperbesar ”kue pembangunan”, bukan memperbesar produk domestik bruto (PDB). Bahkan, tak lagi sekadar bagaimana membagi kue pembangunan secara adil.
Hakikat pembangunan justru menyangkut jenis kue pembangunan itu sendiri, menyangkut pola produksi yang mendikte pola konsumsi. Apakah kita membuat ”kue tar” dengan bahan-bahan impor yang tak diproduksi di dalam negeri? Apakah kita membuat ”tumpeng” sebagai kue pembangunan yang penuh bahan lokal produksi rakyat kita sendiri, yang berarti partisipasi dan emansipasi rakyat lebih luas, yang tentu akan lebih memakmurkan dan memanusiakan rakyat.
Pembangunan juga dituntut menjadi upaya peningkatan dan perluasan kemampuan rakyat sehingga proses pembangunan dapat diartikan sebagai proses keberlanjutan peningkatan produktivitas rakyat. Di sinilah peran ilmu ekonomi institusional sekaligus ekonomi konstitusi yang diabaikan dalam pembelajaran otonomi daerah. Tentu tidak semua bupati merusak otonomi daerah.
Sumber : KOMPAS, 18 Februari 2012
Seorang pejabat tinggi pemerintah menyampaikan kepada saya niatnya menerbitkan buku berdasarkan data yang dimiliki kantornya berjudul ”Tukang Becak dan Kemiskinan Massal”. Saya bilang, judul semacam itu tidak akan menarik selera baca.
John Kenneth Galbraith yang menulis buku Why The Poor Are Poor, 55 tahun lalu, tak direspons pembaca. Istrinya mengusulkan judul buku diganti The Affluent Society. Buku itu pun terkenal sebagai buku superlaris, menyajikan pencerahan tentang ekonomi dan humanisme.
Kepada pejabat tinggi itu saya sarankan agar judul bukunya diganti ”Bupati-bupati Inlander” atau ”Bupati-bupati Keblinger”, pasti bukunya akan jadi tersohor.
Tugas Kerakyatan
Ketika saya berkunjung ke satu kabupaten, yang sesuai kriteria Bappenas termasuk kabupaten tertinggal, sang bupati memamerkan pemasukan anggaran Rp 1 miliar per tahun berupa royalti dari restoran cepat saji makanan asing yang diizinkannya berdiri di pinggir alun-alun kabupaten. Alun-alun turun pangkat, bukan lagi sebagai kemegahan lokal yang dikelilingi kantor kabupaten, masjid agung, kantor pos, penjara, dan kawedanan. Sang bupati yang bangga dengan hadirnya restoran waralaba asing itu masih inlander, mudah terkagum-kagum.
Berapa omzet restoran cepat saji ini jika berani membayar royalti Rp 1 miliar per tahun: Rp 10 miliar-kah, Rp 15 miliar-kah? Maka, akan sebesar omzet itu pula uang rakyat tersedot ke situ, tidak lagi dibelanjakan jajanan pasar dan makanan lokal lain buatan rakyat. Proses pemiskinan ini tidak menguak kesadaran sang bupati. Baginya modernisasi adalah pembaratan, mengagumi investor asing, lengah akan tugas kerakyatan.
Membangun mal atau supermal tentu tak harus dilarang, tetapi semestinya dikenai syarat-syarat. Sebagai pemberi izin, seharusnya kekuasaan pemerintah daerah ini disertai aturan menata kehidupan ekonomi demi menyejahterakan rakyat. Misalnya, 70 persen produk yang dijual di mal harus produk lokal dan produk dalam negeri. Lalu, 30 persen tempat disediakan untuk usaha-usaha kecil—termasuk pedagang kaki lima bisa masuk ke dalam mal— dengan biaya kios yang terjangkau.
Pelanggaran terhadap aturan ini tidak boleh ditoleransi dengan denda. Barangkali ada baiknya pula jika konsumen-konsumen dapat diatur oleh perbankan memperoleh saham kesertaan dari minimarket-minimarket di RT/RW. Bukankah rakyat harus senantiasa terbawa serta dalam kemajuan pembangunan?
Pemodal dan Pedagang Politik
Globalisasi dengan selera hidup konsumtif affluency-nya mendapat tempat di Indonesia. Kesan kuat terasakan, banyak penguasa daerah mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal, supermarket, dan semacamnya. Ibaratnya, pembangunan ada jika muncul restoran hamburger, piza, dan semacamnya, serba absurd dengan papan-papan nama serba berbahasa asing. Ternyata sebagian teman kampus menyukai pula model dan selera ekonomi macam ini, tetapi bagi sebagian yang lain menyebutnya sebagai kemiskinan akademis.
Akibatnya nyata: demi mal, supermarket—dan tentu demi hotel mewah dan permukiman supermewah—pembangunan telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Transfer pemilikan—terutama tanah—dari si lemah ke si kuat makin intensif dan masif, sekaligus merupakan proses minderisasi (inferiorization) rakyat.
Tidak ada orang yang tergusur dengan pesangon menjadi kaya, sebaliknya pemilik baru akan terus memperoleh rente ekonomi. Pemilikan bersama (co-ownership) adalah kata kunci penyelesaian. Pemiskinan rakyat ini terjadi karena berlakunya pakem-pakem zaman edan, mumpungisme alias carpediemism dan cita rasa murah penguasa-penguasa daerah, maka pembangunan berubah menjadi proses dehumanisasi.
Terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara rakyat suara uang receh. Tokoh lokal yang terbaik tidak terpilih jadi pemimpin akibat takhta bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal dan pedagang politik. Kata Mendagri, ada 160 bupati jadi tersangka atau masuk bui. Indeks korupsi APBD diberitakan tetap tinggi. Mereka bupati-bupati keblinger, jabatannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk diri sendiri.
Siapa salah jika sang bupati tak mengenal potensi rakyat, potensi daerah, dan nilai oportunitasnya? Siapa salah kalau sang bupati tak berwawasan pembangunan humanistis sebagaimana dikehendaki konstitusi kita: bahwa pembangunan harus menghasilkan nilai tambah ekonomi sekaligus nilai tambah sosial-kultural?
Pembangunan semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat. Brutalitas neoliberalisme ekonomi menambah kesewenang-wenangan dan kesengsaraan rakyat. Otonomi daerah telah membawa kegamangan bagi para bupati. Ibaratnya, sumber daya alam boleh diobral: Indonesia is for sale!
Barangkali Mendagri lengah budaya di sini, ia ”menyekolahkan” bupati-bupati baru ke Harvard School of Government, bukan ke kampus-kampus kita sendiri yang memahami pembangunan partisipatori-emansipatif. Barangkali itulah hasilnya ke Harvard, asingisasi.
Bukan Sekadar Bagi-bagi Kue
Pembangunan bukan lagi sekadar memperbesar ”kue pembangunan”, bukan memperbesar produk domestik bruto (PDB). Bahkan, tak lagi sekadar bagaimana membagi kue pembangunan secara adil.
Hakikat pembangunan justru menyangkut jenis kue pembangunan itu sendiri, menyangkut pola produksi yang mendikte pola konsumsi. Apakah kita membuat ”kue tar” dengan bahan-bahan impor yang tak diproduksi di dalam negeri? Apakah kita membuat ”tumpeng” sebagai kue pembangunan yang penuh bahan lokal produksi rakyat kita sendiri, yang berarti partisipasi dan emansipasi rakyat lebih luas, yang tentu akan lebih memakmurkan dan memanusiakan rakyat.
Pembangunan juga dituntut menjadi upaya peningkatan dan perluasan kemampuan rakyat sehingga proses pembangunan dapat diartikan sebagai proses keberlanjutan peningkatan produktivitas rakyat. Di sinilah peran ilmu ekonomi institusional sekaligus ekonomi konstitusi yang diabaikan dalam pembelajaran otonomi daerah. Tentu tidak semua bupati merusak otonomi daerah.
Kamis, 23 Februari 2012
Bohong adalah Laknat
Oleh: SINDHUNATA
Bohong! Kata inilah yang sekarang sedang naik daun. Memang, rakyat sedang muak dengan ”drama kebohongan”, di mana aktor dan aktrisnya adalah politikus-politikus yang nuraninya sudah bebal terhadap kebenaran.
Lah, wong rakyat kecil dan anak-anak saja tergila-gila ingin memiliki Blackberry (BB), bagaimana mungkin orang percaya bahwa seorang pesohor dan legislator sekelas Angelina Sondakh mengaku tak memiliki Blackberry sebelum akhir 2010?
Bagaimana kita tidak gemas ketika dalam sidang perkara korupsi wisma atlet dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin, Rabu (15/2), Angelina Sondakh sebagai saksi dengan enteng terus menyangkal semua fakta yang menunjukkan keterlibatannya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki bukti rekaman pembicaraan Angelina dengan Mindo Rosalina melalui BBM (perpesanan dengan BB). Ketika bukti itu disinggung, Angelina kembali menyangkal, mengaku tak mengenali pembicaraan tersebut. Saking jengkelnya, pengacara Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea, mencemooh, ”Apa hantu yang mengirim BBM ini?”
Angelina juga mengaku tak paham kode-kode permintaan uang kepada Mindo seperti ”apel malang”, ”apel washington”, dan ”semangka”. Padahal, menurut Mindo, kode-kode itu jelas-jelas digunakan dalam percakapan mereka.
Seperti Angelina, Mahyudin, politikus Partai Demokrat dan Ketua Komisi X DPR, juga menyangkal keterlibatannya. Terhadap pertanyaan majelis hakim, jaksa, dan pengacara, Mahyudin—yang juga Guru Besar Universitas Sriwijaya itu—menjawab, ”Tidak tahu, lupa, atau tidak ingat.”
Alasan lupa adalah ia pernah terserang stroke. Dalam pertemuan dengan Andi Mallarangeng, Nazaruddin, dan Angelina Sondakh, yang ia ingat adalah makanan udang. ”Katanya stroke, tetapi malah ingat udang.” ”Masa orang yang lupa dipercaya jadi pemimpin komisi DPR.” Lagi-lagi, begitu cemooh Hotman Paris Hutapea.
Kita tentu masih harus menunggu hasil sidang lanjutan perkara Nazaruddin. Semua orang tahu, perkara ini sarat muatan politik. Tak heran jika mereka yang berkepentingan mengatur mekanisme begitu rupa agar skandal politik yang lebih besar tidak terbongkar. Rakyat yang paling sederhana pun tahu, perkilahan Angelina Sondakh dan kelupaan Mahyudin adalah bagian dari mekanisme kebohongan itu.
Kanker ganas
Di mana-mana politik memang tak bisa terpisahkan dari kebohongan. Kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena politik memang tidak berkenaan dengan kebenaran, tetapi dengan naluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Itulah yang dibahas filsuf politik Hannah Arendt dalam bukunya Wahrheit und Lüge in der Politik—Kebenaran dan Kebohongan dalam Politik (1971).
Menurut Arendt, politik bergerak sedemikian rupa sehingga mendepak kebenaran. Politik menjadi sekadar upaya mempertahankan kekuasaan malah cenderung jadi permainan. Hakikatnya adalah ”Who get What, When, How”.
Machiavelli lebih realistis lagi. Menurut dia, seorang penguasa boleh mengingkari janjinya apabila janji itu ternyata merugikannya dan apabila tiada lagi alasan untuk tetap berpegang teguh pada janjinya. Jika semua manusia adalah baik, usul itu keliru. Namun, berhubung manusia tidak baik dan tidak bisa memegang kata-katanya sendiri, penguasa juga tidak perlu berpegang pada kata-kata yang dijanjikan. Juga apabila belum ada alasan yang benar secara hukum, penguasa bisa saja menutupi ingkar janjinya dengan kebohongan.
Kita boleh tidak setuju dengan pendapat Machiavelli itu. Namun, jika kita terima sebagai sinisme terhadap kekuasaan, pendapat itu akan membuat kita realistis terhadap fakta bahwa kekuasaan tak lepas dari kebohongan. Kata Machiavelli, kekuasaan terkait dengan kodrat manusia yang suka bohong.
Memang, bohong, kebohongan, dan pembohongan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Tak ada larangan yang begitu sering dilanggar seperti larangan jangan berbohong. Di dunia ini ada manusia yang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berselingkuh, tetapi tak pernah ada manusia yang tak berdusta atau berbohong. Maka, kata novelis dan esais Jean Paul, bohong adalah kanker ganas di bibir hati terdalam manusia. Kata penyair Heinrich Heine, kebohongan bahkan bisa menyelip ke dalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis.
Oli kebohongan
Kebohongan bisa menyelip ke mana-mana, apalagi ke dalam politik. Itulah yang sesungguhnya kita alami sekarang ini. Politik kita memang sedang bermantelkan kebohongan. Meminjam kata-kata sutradara teater dan esais di Paris dan Berlin, Benjamin Korn, politik kita bagaikan mesin yang olinya adalah kebohongan. Dalam politik macam ini, para politikus tidak lagi berpikir tentang rakyat, tetapi hanya bagaimana meningkatkan kerakusan dan berahi kekuasaan. Caranya dengan mempraktikkan kebohongan.
Kalaupun relasi politik kelihatan lancar, itu bukan karena para politikus menepati norma dan etika kebenaran, melainkan karena hubungan itu dilumasi terus dengan oli kebohongan. Sekali pelumasan kebohongan berhenti, mesin politik akan macet. Jika macet, mesin politik hanya merugikan. Maklum, politik kita berjalan tidak semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga memanfaatkan kekuasaan untuk mengumbar nafsu ketamakan akan harta dan uang.
Maka, roda gila kebohongan bergerak semakin cepat, sampai kita tidak kuasa lagi mengeremnya. Kita diseret untuk hidup dalam sistem kebohongan. Kita pun tertipu dan terjerat total oleh kebohongan itu sampai kita seakan tak dapat lagi keluar. Kita jengkel, tetapi tak tahu mana jalan keluar. Lama-lama kita juga terninabobokkan oleh kebohongan itu. Itulah mungkin maksud Henrich Heine ketika ia bilang, ”Penipuan itu manis, tetapi ketertipuan lebih manis lagi rasanya.”
Itukah yang terjadi ketika kita menyaksikan sidang yang menghadirkan saksi Angelina Sondakh? Kita jengkel mendengar kilahnya, tetapi seperti masokis yang suka disakiti, kita menikmatinya juga. Rasanya seperti ketika kita jengkel dan muak dengan segala superfisialitas kontes putri ayu Indonesia, tetapi toh kita menikmati peragaan kecantikan dan kemolekannya.
Ibu segala dosa
Kebohongan memang sulit diberantas. Filsuf Imannuel Kant mengibaratkan kebohongan bagaikan kayu bengkok, tidak mungkin ditukangi untuk diluruskan.
Kalau demikian, mestikah kita membiarkan saja kebohongan? Sama sekali tidak. Sebab, kata Kant, pembohong dan kebohongannya telah melukai, menistakan, dan meniadakan martabat manusia. Lebih lanjut, ujar Kant, juga jika terjadi dengan maksud baik, kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Dengan jatuhnya ketidakpercayaan, roboh pula sendi-sendi hukum. Kemanusiaan akan menderita karenanya. Bohong itu merugikan, tidak hanya karena merugikan orang lain, tetapi juga karena ia mengeringkan sumber-sumber hukum.
Tak usah kita berguru kepada pemikir Barat untuk mengutuk kebohongan. Guru bangsa kita, Prof Dr Hamka, sudah mengulas habis kebohongan dalam bukunya, Bohong di Dunia (cetakan III, 1971). Hamka mengulas apa itu kebohongan; bagaimana sikap agama-agama Nasrani, Yahudi, dan Islam terhadap kebohongan; bohong dalam ilmu jiwa; dan pendapat para filsuf, Aristoteles, Rosseau, dan Stanley Hall, tentang kebohongan.
Dalam pengantar buku tersebut—ditulis di Bukittinggi tahun 1949—Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dusta adalah ibu daripada segala dosa.” Hamka prihatin, betapa pada waktu itu kebohongan sudah bersimaharajalela dan betapa karena kebohongan, bangsa ini tetap melarat dan tidak bisa maju.
Menurut Hamka, pada fitrahnya, manusia sesungguhnya adalah benar dan jujur. Suara hati yang asli adalah jujur dan tidak mau berbohong. Keadaan lain yang datang tiba-tiba memaksa manusia menempuh jalan bohong. Lalu, diberikannya gambaran tentang kebenaran. Gambaran Hamka tentang pentingnya kebenaran dan seruannya untuk melawan kebohongan ini harus tetap berkumandang:
”Cobalah menoleh ke mana saja pun tuan mau, tuan akan melihat bahwasanya kebenaranlah yang jadi sendi segala macam bidang kehidupan. Saudagar yang pembohong hanya berlaba sebentar, ekonom yang sejati harus bergantung pada kejujuran, amanat, keteguhan janji, dan keberesan buku perniagaan yang dijalankan dengan segala macam kicuh tidak memberikan ketenteraman bagi jiwa dan tidak kemakmuran. Saudagar penipu hanya berlaba amat sedikit dan rugi lebih banyak karena dia memandang keuntungan yang sekejap bukan laba yang berlama. Tukang yang pemungkir janji dan tidak meladeni kehendak langganan lekas ditinggalkan orang. Majikan yang pembohong diboikot anak semangnya. Guru yang pembohong ditinggalkan muridnya.”
Dan, betapa kata-kata Hamka tentang kebohongan dalam dunia hukum ini seperti memantulkan kembali karut-marut hukum kita dewasa ini: ”Hakim yang pembohong mengacaukan jalan perkara dan menghilangkan rasa keamanan rakyat. Si tertuduh yang berdusta mempersulit jalan perkara. Kesaksian dusta pun lebih mengacaukan lagi: keadilan tersembunyi, orang yang benar teraniaya, dan orang yang bersalah terlepas dari hukuman. Bangsa yang pembohong membawa merosot seluruh kebangsaannya dan kemuliaan negaranya.”
Hamka mengatakan bahwa bohong itu dinamai juga khianat. Dan, untuk itu ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: ”Amatlah besarnya khianatmu jika engkau cakapkan kepada saudaramu suatu perkara, yang dia menyangka perkataanmu benar. Padahal, engkau sendiri merasa bahwa engkau berdusta.”
Sekali lagi, betapa relevannya kata-kata ini bagi dunia persidangan korupsi kita akhir-akhir ini: khianat adalah laknat.
Jembatan kejujuran
Bohong adalah kanker di hati manusia. Dan, bohong itu bermuara di bibirnya. Karena itu, kebijakan Jawa mengajar: Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (harga diri manusia ada dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya). Orang boleh berdandan secantik Putri Indonesia, tetapi apabila ia tidak bisa menjaga bibirnya—artinya suka berbohong—ia tidak berharga sama sekali. Keelokan hanya pada busana dan raganya dan keelokan macam ini hanyalah luaran belaka sejauh tidak dibarengi keelokan bibirnya: bukan karena olesan lipstik mahal, melainkan karena menjadi muara kejujuran hatinya.
Memang kita harus hati-hati dengan bibir kita. Dalam Serat Kancil, pujangga Raden Panji Natarata menulis tentang uwot (jembatan) siratalmustakim. Dalam khazanah Jawa, jembatan itu juga disebut uwot ogal-agil. Jembatan itu selalu goyang karena lebarnya hanya sehelai rambut dibelah seribu. Siapa gagal melewati jembatan, ia akan tercemplung ke dalam neraka jahanam. Dalam pengadilan di hari akhir, setiap orang harus melewatinya. Mana mungkin? Mungkin saja jika berhati tulus dan jujur.
Menurut Raden Panji Natarata, ujian lewat jembatan itu tidak harus datang pada akhir zaman. Katanya, uwot siratalmustakim aneng tutukmu samana kang sanyata (jembatan siratalmustakim itu nyata-nyata ada di bibirmu sekarang). Dengan kata lain, siapa bicara benar, sekarang juga ia lulus. Sebaliknya, siapa bicara bohong, berarti ia gagal meniti jembatan penguji kebaikan dan kejahatan manusia itu. Tidak usah menunggu pengadilan terakhir, sekarang juga ia terpelanting ke dalam neraka kenistaan.
Sekarang bangsa ini sedang meniti uwot siratalmustakim. Jika para pemimpin bangsa yang menuntun kita tak lagi berhati jujur dan mulutnya terus membualkan kata-kata dusta, mereka tidak hanya menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kenistaan, tetapi juga mencemplungkan kita ke dalam kenistaan. Harga diri bangsa akan terhina dan kita hidup dalam neraka saling ketidakpercayaan.
Dengan hati berdebar-debar kita mengikuti jalannya sidang. Inilah saat kritis, di mana kita dijemput untuk meniti uwot siratalmustakim. Semoga para politikus, jaksa, hakim, pengacara, dan pemuka bangsa yang terlibat sudi anyirnakake ati goroh minangka laku tapane, menyingkirkan hati yang bohong sebagai tindak asketisnya.
SINDHUNATA, Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Sumber: kompas.com
Selasa, 21 Februari 2012
Rabu Abu Versus Semarak Karnaval
Sebagai perwujudan tobat, umat diharap menyisihkan sebagian miliknya untuk kepentingan sesamanya. Uang atau barang-barang yang dikumpulkan selama masa puasa, pada gilirannya akan dibagikan lagi kepada mereka yang membutuhkan.
Sekitar setengah juta turis berdatangan ke Rio de Janeiro, Brasil, pada pekan ini untuk menyaksikan semarak karnaval gila-gilaan. Puncaknya adalah hari Selasa kemarin (21/2/12) atau satu hari menjelang Rabu Abu. Di New Orleans, pesta yang sama dikenal dengan nama Mardi Gras. Kota-kota lain di dunia pada saat yang bersamaan juga tidak ketinggalan, saling berlomba mengadakan acara serupa seperti di Toronto, London, San Salvador, Trinidad, Nice, dan Cologne.
Pada abad kedua, gereja Katolik, khususnya di Kota Roma, memulai suatu kebiasaan menyelenggarakan pesta, sehari menjelang hari Rabu Abu atau saat dimulainya masa puasa umat Kristiani. Umat memanfaatkan saat-saat sebelum puasa untuk berpesta-ria, makan-minum sepuasnya. Konon, kebiasaan ini diambil dari tradisi lama (pra-Kristiani) yang sudah ada sebelumnya. Dalam perkembangannya, acara ini menjadi pesta karnaval, yaitu perayaan publik dalam bentuk parade di jalanan, lengkap dengan tontonan ala sirkus.
Karnaval sendiri berasal dari dua kata Latin: carnis yang berarti "daging" dan vale yang berarti "selamat tinggal" (di masa lalu, selama 40 hari masa puasa orang Katolik tidak makan daging). Di Prancis, pesta sejenis disebut Mardi Gras. Mardi Gras (berasal dari bahasa Prancis) berarti "Selasa lemak". Maksudnya, hari Selasa menjelang Rabu Abu, orang berpesta pora makan daging/lemak sepuas-puasnya. Selain itu, Mardi Gras juga merupakan kesempatan terakhir orang untuk menikah dan berpesta. Sebab sesudahnya, orang dilarang menikah sampai berakhirnya masa puasa.
Di antara pesta sejenis, karnaval di Rio de Janeiro, Brasil, adalah pesta yang paling sensasional, paling spektakuler, dan paling banyak dikunjungi turis. Awalnya, pesta ini dilakukan di jalanan selama tiga hari menjelang Rabu Abu. Pada waktu itu, kota-kota di Brasil dipadati orang yang berpesta-ria mengenakan topeng-topeng. Mereka saling melempar bubuk tepung, bahkan saling semprot cairan busuk.
Pada tahun 1840, seorang istri pemilik hotel di Rio de Janeiro yang berasal dari Italia mengubah kebiasaan pesta liar ini menjadi lebih berbudaya. Pada pesta tersebut dia mengundang para pemain musik, menyediakan guntingan kertas warna-warni pengganti bubuk tepung. Ia juga menyelenggarakan pesta tarian mewah dan mewajibkan orang-orang mengenakan topeng. Itulah awal mula dari Baile de Carnaval yang terkenal hingga kini.
Untuk menampung kegiatan yang semakin populer ini, pada tahun 1984 pemerintah Brasil membangun panggung pinggir jalan yang disebut Sambodromo. Tempat ini menampung sekitar 80.000 penonton dan membuat karnaval Rio makin terkenal. Harga tiket masuk bisa sampai 500 dollar AS untuk satu tempat duduk yang agak strategis!
Karnaval di Rio benar-benar menjadi pesta untuk semua orang. Bermacam-ragam orang berbaur bersama dalam keriuhan, kegembiraan, dan kegilaan. Tidak sedikit para penari samba, pria dan wanita, tampil dengan telanjang dada atau dengan pakaian superminim. Kesempatan ini juga digunakan para artis Brasil untuk tampil di muka publik. Umumnya mereka masuk salah satu kelompok sekolah samba.
Pertobatan
Permulaan masa puasa atau pra-Paskah biasanya jatuh pada awal bulan Maret atau akhir Februari. Itu bertepatan dengan berakhirnya musim dingin yang melelahkan dan datangnya musim semi yang dinanti-nantikan. Maka, tidak mengherankan bahwa karnaval menjadi semacam ungkapan kegembiraan menyongsong musim kehidupan alias musim semi. Di masa lalu, hampir seluruh kota dan desa di Eropa merayakan kebiasaan ini. Tiap-tiap kota berlomba menunjukkan kehebatan serta kreasinya. Di beberapa tempat, diadakan juga pesta karnaval khusus untuk anak-anak.
Sampai saat ini, pesta karnaval tetap diadakan menjelang Hari Rabu Abu (tahun ini jatuh pada hari Rabu ini, 22/2). Namun Karnaval sendiri sekarang sudah menjadi bagian dari pesta budaya, bukan lagi pesta agama. Pada masa sekarang, karnaval sering menjadi kesempatan untuk mengkritik, mengolok-olok para politisi, tokoh masyarakat bahkan tokoh agama. Tidak ketinggalan, pesta karnaval juga telah menjadi ajang promosi berbagai kepentingan, khususnya produk niaga.
Awal masa puasa Katolik dimulai pada hari Rabu Abu. Disebut Rabu Abu karena pada hari itu umat Katolik datang ke gereja untuk menerima abu di kepalanya dari imam. Masa puasa berlangsung 40 hari dan berakhir pada perayaan Paskah atau Kebangkitan Tuhan Yesus.
Pengertian masa puasa dalam tradisi Katolik amat berbeda dengan puasa umat Islam, misalnya. Pada masa puasa, umat Katolik tetap boleh makan dan minum, hanya porsinya dikurangi. Selain itu, pada hari tertentu, khususnya Jumat, umat dilarang untuk makan daging. Di luar kewajiban puasa yang ditentukan, umat diminta memilih sendiri jenis puasa dan pantang yang cocok dengan dirinya. Umpamanya, orang yang biasa merokok, pada masa puasa berhenti untuk tidak merokok.
Mengapa tradisi puasa Katolik begitu ringan dan sederhana? Barang kali karena tekanan dan latar belakang yang berbeda. Dalam ajaran Katolik yang pertama-tama ditekankan adalah aspek pertobatan, bukan mati raga. Karenanya, masa puasa diawali dengan Rabu Abu, pengurapan dengan abu. Tradisi ini berasal dari kebiasaan kuno bangsa Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama, khususnya Kitab Nabi Yesaya dan Yeremia, dikisahkan tentang ritual penyesalan atas dosa: orang berpakaian kain kasar dan duduk di atas abu serta menaburi diri dengan abu.
Tradisi abu orang Yahudi ini mirip dengan tradisi lumpur suku Asmat di pedalaman Papua. Orang Asmat, bila sedang berkabung, akan membanting diri ke dalam lumpur sambil berguling-guling serta menangis meraung-raung. Dalam bahasa Jawa ada istilah gulung koming, berguling-guling di atas tanah sebagai ekspresi kesedihan. Tampaknya ada benang merah di antara ketiganya.
Abu, lumpur, dan tanah adalah simbol kefanaan, sesuatu yang tak berharga, tak berarti. Manusia memang tak ada artinya dibanding alam semesta ini. Ketika memberi pengurapan abu, imam berkata, "manusia berasal dari abu dan kembali menjadi abu!" Kata-kata yang dikutip dari Kitab Kejadian ini untuk mengingatkan akan kefanaan kita sebagai manusia.
Pertobatan Kolektif
Puasa dan pertobatan adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam tradisi puasa Katolik. Kedua hal ini masih dilengkapi dengan aksi nyata umat untuk sesama. Maksudnya, sebagai perwujudan tobat, umat diharap menyisihkan sebagian miliknya untuk kepentingan sesamanya. Uang atau barang-barang yang dikumpulkan selama masa puasa pada gilirannya akan dibagikan lagi kepada mereka yang membutuhkan.
Pada masa puasa, umat Katolik diingatkan untuk bertobat. Sebagai kelompok, umat diajak untuk bertobat secara bersama-sama. Agar pertobatan kolektif dapat lebih terarah, pimpinan gereja menentukan suatu tema setiap tahunnya. Tahun 2012 ini, tema yang dipilih adalah "Diutus untuk Berbagi".
Lewat tema ini, kita diajak untuk menyadari bahwa segala milik hendaknya tidak melulu untuk kepentingan pribadi. Ada orang-orang di sekitar umat yang mungkin jauh lebih membutuhkan, lebih susah hidupnya dari kita. Karenanya, umat disadarkan untuk rela berbagi dengan mereka yang kekurangan.
Semarak karnaval yang begitu meriah di Brasil atau di tempat lain menjadi kehilangan artinya ketika dipisahkan dari makna spiritual Rabu Abu. Selamat memulai masa puasa bagi umat Katolik sambil menyadari bahwa kita Diutus untuk Berbagi.
Oleh Heri Kartono, OSC
Penulis adalah seorang rohaniwan
Sumber: Koran Jakarta-nya Om Alex Marten
Sekitar setengah juta turis berdatangan ke Rio de Janeiro, Brasil, pada pekan ini untuk menyaksikan semarak karnaval gila-gilaan. Puncaknya adalah hari Selasa kemarin (21/2/12) atau satu hari menjelang Rabu Abu. Di New Orleans, pesta yang sama dikenal dengan nama Mardi Gras. Kota-kota lain di dunia pada saat yang bersamaan juga tidak ketinggalan, saling berlomba mengadakan acara serupa seperti di Toronto, London, San Salvador, Trinidad, Nice, dan Cologne.
Pada abad kedua, gereja Katolik, khususnya di Kota Roma, memulai suatu kebiasaan menyelenggarakan pesta, sehari menjelang hari Rabu Abu atau saat dimulainya masa puasa umat Kristiani. Umat memanfaatkan saat-saat sebelum puasa untuk berpesta-ria, makan-minum sepuasnya. Konon, kebiasaan ini diambil dari tradisi lama (pra-Kristiani) yang sudah ada sebelumnya. Dalam perkembangannya, acara ini menjadi pesta karnaval, yaitu perayaan publik dalam bentuk parade di jalanan, lengkap dengan tontonan ala sirkus.
Karnaval sendiri berasal dari dua kata Latin: carnis yang berarti "daging" dan vale yang berarti "selamat tinggal" (di masa lalu, selama 40 hari masa puasa orang Katolik tidak makan daging). Di Prancis, pesta sejenis disebut Mardi Gras. Mardi Gras (berasal dari bahasa Prancis) berarti "Selasa lemak". Maksudnya, hari Selasa menjelang Rabu Abu, orang berpesta pora makan daging/lemak sepuas-puasnya. Selain itu, Mardi Gras juga merupakan kesempatan terakhir orang untuk menikah dan berpesta. Sebab sesudahnya, orang dilarang menikah sampai berakhirnya masa puasa.
Di antara pesta sejenis, karnaval di Rio de Janeiro, Brasil, adalah pesta yang paling sensasional, paling spektakuler, dan paling banyak dikunjungi turis. Awalnya, pesta ini dilakukan di jalanan selama tiga hari menjelang Rabu Abu. Pada waktu itu, kota-kota di Brasil dipadati orang yang berpesta-ria mengenakan topeng-topeng. Mereka saling melempar bubuk tepung, bahkan saling semprot cairan busuk.
Pada tahun 1840, seorang istri pemilik hotel di Rio de Janeiro yang berasal dari Italia mengubah kebiasaan pesta liar ini menjadi lebih berbudaya. Pada pesta tersebut dia mengundang para pemain musik, menyediakan guntingan kertas warna-warni pengganti bubuk tepung. Ia juga menyelenggarakan pesta tarian mewah dan mewajibkan orang-orang mengenakan topeng. Itulah awal mula dari Baile de Carnaval yang terkenal hingga kini.
Untuk menampung kegiatan yang semakin populer ini, pada tahun 1984 pemerintah Brasil membangun panggung pinggir jalan yang disebut Sambodromo. Tempat ini menampung sekitar 80.000 penonton dan membuat karnaval Rio makin terkenal. Harga tiket masuk bisa sampai 500 dollar AS untuk satu tempat duduk yang agak strategis!
Karnaval di Rio benar-benar menjadi pesta untuk semua orang. Bermacam-ragam orang berbaur bersama dalam keriuhan, kegembiraan, dan kegilaan. Tidak sedikit para penari samba, pria dan wanita, tampil dengan telanjang dada atau dengan pakaian superminim. Kesempatan ini juga digunakan para artis Brasil untuk tampil di muka publik. Umumnya mereka masuk salah satu kelompok sekolah samba.
Pertobatan
Permulaan masa puasa atau pra-Paskah biasanya jatuh pada awal bulan Maret atau akhir Februari. Itu bertepatan dengan berakhirnya musim dingin yang melelahkan dan datangnya musim semi yang dinanti-nantikan. Maka, tidak mengherankan bahwa karnaval menjadi semacam ungkapan kegembiraan menyongsong musim kehidupan alias musim semi. Di masa lalu, hampir seluruh kota dan desa di Eropa merayakan kebiasaan ini. Tiap-tiap kota berlomba menunjukkan kehebatan serta kreasinya. Di beberapa tempat, diadakan juga pesta karnaval khusus untuk anak-anak.
Sampai saat ini, pesta karnaval tetap diadakan menjelang Hari Rabu Abu (tahun ini jatuh pada hari Rabu ini, 22/2). Namun Karnaval sendiri sekarang sudah menjadi bagian dari pesta budaya, bukan lagi pesta agama. Pada masa sekarang, karnaval sering menjadi kesempatan untuk mengkritik, mengolok-olok para politisi, tokoh masyarakat bahkan tokoh agama. Tidak ketinggalan, pesta karnaval juga telah menjadi ajang promosi berbagai kepentingan, khususnya produk niaga.
Awal masa puasa Katolik dimulai pada hari Rabu Abu. Disebut Rabu Abu karena pada hari itu umat Katolik datang ke gereja untuk menerima abu di kepalanya dari imam. Masa puasa berlangsung 40 hari dan berakhir pada perayaan Paskah atau Kebangkitan Tuhan Yesus.
Pengertian masa puasa dalam tradisi Katolik amat berbeda dengan puasa umat Islam, misalnya. Pada masa puasa, umat Katolik tetap boleh makan dan minum, hanya porsinya dikurangi. Selain itu, pada hari tertentu, khususnya Jumat, umat dilarang untuk makan daging. Di luar kewajiban puasa yang ditentukan, umat diminta memilih sendiri jenis puasa dan pantang yang cocok dengan dirinya. Umpamanya, orang yang biasa merokok, pada masa puasa berhenti untuk tidak merokok.
Mengapa tradisi puasa Katolik begitu ringan dan sederhana? Barang kali karena tekanan dan latar belakang yang berbeda. Dalam ajaran Katolik yang pertama-tama ditekankan adalah aspek pertobatan, bukan mati raga. Karenanya, masa puasa diawali dengan Rabu Abu, pengurapan dengan abu. Tradisi ini berasal dari kebiasaan kuno bangsa Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama, khususnya Kitab Nabi Yesaya dan Yeremia, dikisahkan tentang ritual penyesalan atas dosa: orang berpakaian kain kasar dan duduk di atas abu serta menaburi diri dengan abu.
Tradisi abu orang Yahudi ini mirip dengan tradisi lumpur suku Asmat di pedalaman Papua. Orang Asmat, bila sedang berkabung, akan membanting diri ke dalam lumpur sambil berguling-guling serta menangis meraung-raung. Dalam bahasa Jawa ada istilah gulung koming, berguling-guling di atas tanah sebagai ekspresi kesedihan. Tampaknya ada benang merah di antara ketiganya.
Abu, lumpur, dan tanah adalah simbol kefanaan, sesuatu yang tak berharga, tak berarti. Manusia memang tak ada artinya dibanding alam semesta ini. Ketika memberi pengurapan abu, imam berkata, "manusia berasal dari abu dan kembali menjadi abu!" Kata-kata yang dikutip dari Kitab Kejadian ini untuk mengingatkan akan kefanaan kita sebagai manusia.
Pertobatan Kolektif
Puasa dan pertobatan adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam tradisi puasa Katolik. Kedua hal ini masih dilengkapi dengan aksi nyata umat untuk sesama. Maksudnya, sebagai perwujudan tobat, umat diharap menyisihkan sebagian miliknya untuk kepentingan sesamanya. Uang atau barang-barang yang dikumpulkan selama masa puasa pada gilirannya akan dibagikan lagi kepada mereka yang membutuhkan.
Pada masa puasa, umat Katolik diingatkan untuk bertobat. Sebagai kelompok, umat diajak untuk bertobat secara bersama-sama. Agar pertobatan kolektif dapat lebih terarah, pimpinan gereja menentukan suatu tema setiap tahunnya. Tahun 2012 ini, tema yang dipilih adalah "Diutus untuk Berbagi".
Lewat tema ini, kita diajak untuk menyadari bahwa segala milik hendaknya tidak melulu untuk kepentingan pribadi. Ada orang-orang di sekitar umat yang mungkin jauh lebih membutuhkan, lebih susah hidupnya dari kita. Karenanya, umat disadarkan untuk rela berbagi dengan mereka yang kekurangan.
Semarak karnaval yang begitu meriah di Brasil atau di tempat lain menjadi kehilangan artinya ketika dipisahkan dari makna spiritual Rabu Abu. Selamat memulai masa puasa bagi umat Katolik sambil menyadari bahwa kita Diutus untuk Berbagi.
Oleh Heri Kartono, OSC
Penulis adalah seorang rohaniwan
Sumber: Koran Jakarta-nya Om Alex Marten
Rabu, 25 Januari 2012
Aroma Warung Tinggi Makin Mewangi
Warung Tinggi Coffe tetap, bertahan, meski kedai kopi modern bermunculan. Bahkan kini Warung Tinggi juga sudah menjadi eksportir produk kopi ke sejumlah negara. Apa resepnya bisa bertahan? Coffee lovers tentu sudah mengenal kedai Warung Tinggi Coffee. Warung kopi yang berlokasi di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat ini legendaris. Warung ini tetap mampu bertalian hingga kini sudah di tangan generasi kelima. Selain tercatat kedai kopi, Warung
Tinggi juga memiliki pabrik pengolahan kopi sendiri, lo. Bukan perkara gampang nun ipertahankan usaha hingga ratusan tahun. Menurut Rudy Widjaja, pemilik PT Warung Tinggi Coffe, resepnya sebetulnya sederhana saja, yakni menjaga kualitas dan berinovasi menciptakan produk kopi baru.
Demi menjaga kualitas, Warung Tingggi juga tidak pernah membuka cabang kedai kopi. "Saya takut turun kualitasnya," kata pria berusia 70 tahun itu.Produk kopi Warung Tinggi pun dibuat sangat serius. Di pabrik seluas 1.500 meter persegi di kawasan Tangerang, Rudy memantau proses produksi kopinya saban hari. Ia mengecek sendiri, mulai dari hasil gorengan, rasa, kadar kafein serta aroma kopinya "Kalau tidak sesuai dengan standar, saya suruh diganti dan diulangi lagi,"tuturnya
Sebenarnya, ia bisa saja memproduksi lebih banyak byi kopi. Namun itu tidak dilakukannya lantaran Rudy menginginkan kopi berkualitas tinggi. Ia juga hanyaSampai saat iniprosespengecekanproduksi biji kopimasih di tanganRudy.memproduksi kopi sesuai pesanan. Saban bulan, pabrik Warung Tinggi hanya bisa menghasilkan 100 ton kopi.
Soal bahan baku, Rudy juga selektif. "Saya punya lebih dari 100 jenis kopi berbeda," ujarnya.Untuk mendapatkan kopi berkualitas tinggi, biji kopiyang sudah mengalami seleksi dari berbagai daerah itu disimpan dalam gudang. "Saya selalu menabung byi kopi sebanyak 100 ton," kata dia. Kopi tersebut lalu disimpan antara 5 tahun sampai 6 tahun agar harum kopi terjaga.
Lewat proses pembuatan yang prima itu, produk kopi Waning Tinggi pun bisa bertahan. Bahkan, sejak 2010, kopi merek Warung Tinggi telah diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat (AS). Sekarang, mereka sedang menjajah pasar ekspor di Korea Selatan. "Kami bisa mengekspor 20 ton kopi per bulan," imbuh Angelica Widjaja, anak Rudy Widjaja Angelica merupakan generasi kelima yang meneruskan bisnis ayahnya
Angelica bilang, pasar ekspor merupakan cara Warung Tinggi mengembangkan usaha. Di dalam negeri, perusahaan ini juga melebar-kan pejualan produknya dengan menggandeng Indomart dan Alfamart.Kini, Rudy sudah berancang-ancang agar kedai kopinya lebih ramai lagi. Ia berniat menyulap kedainya sekarang menjadi kafe kopi yang lebih modem. "Ini salah satu cara membesarkan bisnis," ungkapnyaDengan cara itu, Rudy berharap, usaha Warung Tinggi Coffe yang telah dirintis sejak 1878 itu bisa tetap bertahan.
Sumber : Harian Kontan
Noverius Laoli
Tinggi juga memiliki pabrik pengolahan kopi sendiri, lo. Bukan perkara gampang nun ipertahankan usaha hingga ratusan tahun. Menurut Rudy Widjaja, pemilik PT Warung Tinggi Coffe, resepnya sebetulnya sederhana saja, yakni menjaga kualitas dan berinovasi menciptakan produk kopi baru.
Demi menjaga kualitas, Warung Tingggi juga tidak pernah membuka cabang kedai kopi. "Saya takut turun kualitasnya," kata pria berusia 70 tahun itu.Produk kopi Warung Tinggi pun dibuat sangat serius. Di pabrik seluas 1.500 meter persegi di kawasan Tangerang, Rudy memantau proses produksi kopinya saban hari. Ia mengecek sendiri, mulai dari hasil gorengan, rasa, kadar kafein serta aroma kopinya "Kalau tidak sesuai dengan standar, saya suruh diganti dan diulangi lagi,"tuturnya
Sebenarnya, ia bisa saja memproduksi lebih banyak byi kopi. Namun itu tidak dilakukannya lantaran Rudy menginginkan kopi berkualitas tinggi. Ia juga hanyaSampai saat iniprosespengecekanproduksi biji kopimasih di tanganRudy.memproduksi kopi sesuai pesanan. Saban bulan, pabrik Warung Tinggi hanya bisa menghasilkan 100 ton kopi.
Soal bahan baku, Rudy juga selektif. "Saya punya lebih dari 100 jenis kopi berbeda," ujarnya.Untuk mendapatkan kopi berkualitas tinggi, biji kopiyang sudah mengalami seleksi dari berbagai daerah itu disimpan dalam gudang. "Saya selalu menabung byi kopi sebanyak 100 ton," kata dia. Kopi tersebut lalu disimpan antara 5 tahun sampai 6 tahun agar harum kopi terjaga.
Lewat proses pembuatan yang prima itu, produk kopi Waning Tinggi pun bisa bertahan. Bahkan, sejak 2010, kopi merek Warung Tinggi telah diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat (AS). Sekarang, mereka sedang menjajah pasar ekspor di Korea Selatan. "Kami bisa mengekspor 20 ton kopi per bulan," imbuh Angelica Widjaja, anak Rudy Widjaja Angelica merupakan generasi kelima yang meneruskan bisnis ayahnya
Angelica bilang, pasar ekspor merupakan cara Warung Tinggi mengembangkan usaha. Di dalam negeri, perusahaan ini juga melebar-kan pejualan produknya dengan menggandeng Indomart dan Alfamart.Kini, Rudy sudah berancang-ancang agar kedai kopinya lebih ramai lagi. Ia berniat menyulap kedainya sekarang menjadi kafe kopi yang lebih modem. "Ini salah satu cara membesarkan bisnis," ungkapnyaDengan cara itu, Rudy berharap, usaha Warung Tinggi Coffe yang telah dirintis sejak 1878 itu bisa tetap bertahan.
Sumber : Harian Kontan
Noverius Laoli
Minggu, 15 Januari 2012
Sepotong Senja Untuk Pacarku
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen Pililihan Kompas 1993
Seno Gumira Ajidarma
http://duniasukab.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen Pililihan Kompas 1993
Seno Gumira Ajidarma
http://duniasukab.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/
AN OLD LEGEND CURRENT IN THE VOLGA DISTRICT
(1886)
'And in praying use not vain repetitions, as the Gentiles do: for they think that they shall be heard for their much speaking. Be not therefore like unto them: for your Father knoweth what things ye have need of, before ye ask Him.' -- Matt. vi. 7, 8.
A BISHOP was sailing from Archangel to the Solovétsk Monastery; and on the same vessel were a number of pilgrims on their way to visit the shrines at that place. The voyage was a smooth one. The wind favourable, and the weather fair. The pilgrims lay on deck, eating, or sat in groups talking to one another. The Bishop, too, came on deck, and as he was pacing up and down, he noticed a group of men standing near the prow and listening to a fisherman who was pointing to the sea and telling them something. The Bishop stopped, and looked in the direction in which the man was pointing. He could see nothing however, but the sea glistening in the sunshine. He drew nearer to listen, but when the man saw him, he took off his cap and was silent. The rest of the people also took off their caps, and bowed.
'Do not let me disturb you, friends,' said the Bishop. 'I came to hear what this good man was saying.'
'The fisherman was telling us about the hermits,' replied one, a tradesman, rather bolder than the rest.
'What hermits?' asked the Bishop, going to the side of the vessel and seating himself on a box. 'Tell me about them. I should like to hear. What were you pointing at?'
'Why, that little island you can just see over there,' answered the man, pointing to a spot ahead and a little to the right. 'That is the island where the hermits live for the salvation of their souls.'
'Where is the island?' asked the Bishop. 'I see nothing.'
'There, in the distance, if you will please look along my hand. Do you see that little cloud? Below it and a bit to the left, there is just a faint streak. That is the island.'
The Bishop looked carefully, but his unaccustomed eyes could make out nothing but the water shimmering in the sun.
'I cannot see it,' he said. 'But who are the hermits that live there?'
'They are holy men,' answered the fisherman. 'I had long heard tell of them, but never chanced to see them myself till the year before last.'
And the fisherman related how once, when he was out fishing, he had been stranded at night upon that island, not knowing where he was. In the morning, as he wandered about the island, he came across an earth hut, and met an old man standing near it. Presently two others came out, and after having fed him, and dried his things, they helped him mend his boat.
'And what are they like?' asked the Bishop.
'One is a small man and his back is bent. He wears a priest's cassock and is very old; he must be more than a hundred, I should say. He is so old that the white of his beard is taking a greenish tinge, but he is always smiling, and his face is as bright as an angel's from heaven. The second is taller, but he also is very old. He wears tattered, peasant coat. His beard is broad, and of a yellowish grey colour. He is a strong man. Before I had time to help him, he turned my boat over as if it were only a pail. He too, is kindly and cheerful. The third is tall, and has a beard as white as snow and reaching to his knees. He is stern, with over-hanging eyebrows; and he wears nothing but a mat tied round his waist.'
'And did they speak to you?' asked the Bishop.
'For the most part they did everything in silence and spoke but little even to one another. One of them would just give a glance, and the others would understand him. I asked the tallest whether they had lived there long. He frowned, and muttered something as if he were angry; but the oldest one took his hand and smiled, and then the tall one was quiet. The oldest one only said: "Have mercy upon us," and smiled.'
While the fisherman was talking, the ship had drawn nearer to the island.
'There, now you can see it plainly, if your Grace will please to look,' said the tradesman, pointing with his hand.
The Bishop looked, and now he really saw a dark streak -- which was the island. Having looked at it a while, he left the prow of the vessel, and going to the stern, asked the helmsman:
'What island is that?'
'That one,' replied the man, 'has no name. There are many such in this sea.'
'Is it true that there are hermits who live there for the salvation of their souls?'
'So it is said, your Grace, but I don't know if it's true. Fishermen say they have seen them; but of course they may only be spinning yarns.'
'I should like to land on the island and see these men,' said the Bishop. 'How could I manage it?'
'The ship cannot get close to the island,' replied the helmsman, 'but you might be rowed there in a boat. You had better speak to the captain.'
The captain was sent for and came.
'I should like to see these hermits,' said the Bishop. 'Could I not be rowed ashore?'
The captain tried to dissuade him.
'Of course it could be done,' said he, 'but we should lose much time. And if I might venture to say so to your Grace, the old men are not worth your pains. I have heard say that they are foolish old fellows, who understand nothing, and never speak a word, any more than the fish in the sea.'
'I wish to see them,' said the Bishop, 'and I will pay you for your trouble and loss of time. Please let me have a boat.'
There was no help for it; so the order was given. The sailors trimmed the sails, the steersman put up the helm, and the ship's course was set for the island. A chair was placed at the prow for the Bishop, and he sat there, looking ahead. The passengers all collected at the prow, and gazed at the island. Those who had the sharpest eyes could presently make out the rocks on it, and then a mud hut was seen. At last one man saw the hermits themselves. The captain brought a telescope and, after looking through it, handed it to the Bishop.
'It's right enough. There are three men standing on the shore. There, a little to the right of that big rock.'
The Bishop took the telescope, got it into position, and he saw the three men: a tall one, a shorter one, and one very small and bent, standing on the shore and holding each other by the hand.
The captain turned to the Bishop.
'The vessel can get no nearer in than this, your Grace. If you wish to go ashore, we must ask you to go in the boat, while we anchor here.'
The cable was quickly let out, the anchor cast, and the sails furled. There was a jerk, and the vessel shook. Then a boat having been lowered, the oarsmen jumped in, and the Bishop descended the ladder and took his seat. The men pulled at their oars, and the boat moved rapidly towards the island. When they came within a stone's throw they saw three old men: a tall one with only a mat tied round his waist: a shorter one in a tattered peasant coat, and a very old one bent with age and wearing an old cassock -- all three standing hand in hand.
The oarsmen pulled in to the shore, and held on with the boathook while the Bishop got out.
The old men bowed to him, and he gave them his benediction, at which they bowed still lower. Then the Bishop began to speak to them.
'I have heard,' he said, 'that you, godly men, live here saving your own souls, and praying to our Lord Christ for your fellow men. I, an unworthy servant of Christ, am called, by God's mercy, to keep and teach His flock. I wished to see you, servants of God, and to do what I can to teach you, also.'
The old men looked at each other smiling, but remained silent.
'Tell me,' said the Bishop, 'what you are doing to save your souls, and how you serve God on this island.'
The second hermit sighed, and looked at the oldest, the very ancient one. The latter smiled, and said:
'We do not know how to serve God. We only serve and support ourselves, servant of God.'
'But how do you pray to God?' asked the Bishop.
'We pray in this way,' replied the hermit. 'Three are ye, three are we, have mercy upon us.'
And when the old man said this, all three raised their eyes to heaven, and repeated:
'Three are ye, three are we, have mercy upon us!'
The Bishop smiled.
'You have evidently heard something about the Holy Trinity,' said he. 'But you do not pray aright. You have won my affection, godly men. I see you wish to please the Lord, but you do not know how to serve Him. That is not the way to pray; but listen to me, and I will teach you. I will teach you, not a way of my own, but the way in which God in the Holy Scriptures has commanded all men to pray to Him.'
And the Bishop began explaining to the hermits how God had revealed Himself to men; telling them of God the Father, and God the Son, and God the Holy Ghost.
'God the Son came down on earth,' said he, 'to save men, and this is how He taught us all to pray. Listen and repeat after me: "Our Father."'
And the first old man repeated after him, 'Our Father,' and the second said, 'Our Father,' and the third said, 'Our Father.'
'Which art in heaven,' continued the Bishop.
The first hermit repeated, 'Which art in heaven,' but the second blundered over the words, and the tall hermit could not say them properly. His hair had grown over his mouth so that he could not speak plainly. The very old hermit, having no teeth, also mumbled indistinctly.
The Bishop repeated the words again, and the old men repeated them after him. The Bishop sat down on a stone, and the old men stood before him, watching his mouth, and repeating the words as he uttered them. And all day long the Bishop laboured, saying a word twenty, thirty, a hundred times over, and the old men repeated it after him. They blundered, and he corrected them, and made them begin again.
The Bishop did not leave off till he had taught them the whole of the Lord's prayer so that they could not only repeat it after him, but could say it by themselves. The middle one was the first to know it, and to repeat the whole of it alone. The Bishop made him say it again and again, and at last the others could say it too.
It was getting dark, and the moon was appearing over the water, before the Bishop rose to return to the vessel. When he took leave of the old men, they all bowed down to the ground before him. He raised them, and kissed each of them, telling them to pray as he had taught them. Then he got into the boat and returned to the ship.
And as he sat in the boat and was rowed to the ship he could hear the three voices of the hermits loudly repeating the Lord's prayer. As the boat drew near the vessel their voices could no longer be heard, but they could still be seen in the moonlight, standing as he had left them on the shore, the shortest in the middle, the tallest on the right, the middle one on the left. As soon as the Bishop had reached the vessel and got on board, the anchor was weighed and the sails unfurled. The wind filled them, and the ship sailed away, and the Bishop took a seat in the stern and watched the island they had left. For a time he could still see the hermits, but presently they disappeared from sight, though the island was still visible. At last it too vanished, and only the sea was to be seen, rippling in the moonlight.
The pilgrims lay down to sleep, and all was quiet on deck. The Bishop did not wish to sleep, but sat alone at the stern, gazing at the sea where the island was no longer visible, and thinking of the good old men. He thought how pleased they had been to learn the Lord's prayer; and he thanked God for having sent him to teach and help such godly men.
So the Bishop sat, thinking, and gazing at the sea where the island had disappeared. And the moonlight flickered before his eyes, sparkling, now here, now there, upon the waves. Suddenly he saw something white and shining, on the bright path which the moon cast across the sea. Was it a seagull, or the little gleaming sail of some small boat? The Bishop fixed his eyes on it, wondering.
'It must be a boat sailing after us,' thought he 'but it is overtaking us very rapidly. It was far, far away a minute ago, but now it is much nearer. It cannot be a boat, for I can see no sail; but whatever it may be, it is following us, and catching us up.'
And he could not make out what it was. Not a boat, nor a bird, nor a fish! It was too large for a man, and besides a man could not be out there in the midst of the sea. The Bishop rose, and said to the helmsman:
'Look there, what is that, my friend? What is it?' the Bishop repeated, though he could now see plainly what it was -- the three hermits running upon the water, all gleaming white, their grey beards shining, and approaching the ship as quickly as though it were not morning.
The steersman looked and let go the helm in terror.
'Oh Lord! The hermits are running after us on the water as though it were dry land!'
The passengers hearing him, jumped up, and crowded to the stern. They saw the hermits coming along hand in hand, and the two outer ones beckoning the ship to stop. All three were gliding along upon the water without moving their feet. Before the ship could be stopped, the hermits had reached it, and raising their heads, all three as with one voice, began to say:
'We have forgotten your teaching, servant of God. As long as we kept repeating it we remembered, but when we stopped saying it for a time, a word dropped out, and now it has all gone to pieces. We can remember nothing of it. Teach us again.'
The Bishop crossed himself, and leaning over the ship's side, said:
'Your own prayer will reach the Lord, men of God. It is not for me to teach you. Pray for us sinners.
And the Bishop bowed low before the old men; and they turned and went back across the sea. And a light shone until daybreak on the spot where they were lost to sight.
by: Leo Tolstoy
http://www.online-literature.com/tolstoy/2896/
'And in praying use not vain repetitions, as the Gentiles do: for they think that they shall be heard for their much speaking. Be not therefore like unto them: for your Father knoweth what things ye have need of, before ye ask Him.' -- Matt. vi. 7, 8.
A BISHOP was sailing from Archangel to the Solovétsk Monastery; and on the same vessel were a number of pilgrims on their way to visit the shrines at that place. The voyage was a smooth one. The wind favourable, and the weather fair. The pilgrims lay on deck, eating, or sat in groups talking to one another. The Bishop, too, came on deck, and as he was pacing up and down, he noticed a group of men standing near the prow and listening to a fisherman who was pointing to the sea and telling them something. The Bishop stopped, and looked in the direction in which the man was pointing. He could see nothing however, but the sea glistening in the sunshine. He drew nearer to listen, but when the man saw him, he took off his cap and was silent. The rest of the people also took off their caps, and bowed.
'Do not let me disturb you, friends,' said the Bishop. 'I came to hear what this good man was saying.'
'The fisherman was telling us about the hermits,' replied one, a tradesman, rather bolder than the rest.
'What hermits?' asked the Bishop, going to the side of the vessel and seating himself on a box. 'Tell me about them. I should like to hear. What were you pointing at?'
'Why, that little island you can just see over there,' answered the man, pointing to a spot ahead and a little to the right. 'That is the island where the hermits live for the salvation of their souls.'
'Where is the island?' asked the Bishop. 'I see nothing.'
'There, in the distance, if you will please look along my hand. Do you see that little cloud? Below it and a bit to the left, there is just a faint streak. That is the island.'
The Bishop looked carefully, but his unaccustomed eyes could make out nothing but the water shimmering in the sun.
'I cannot see it,' he said. 'But who are the hermits that live there?'
'They are holy men,' answered the fisherman. 'I had long heard tell of them, but never chanced to see them myself till the year before last.'
And the fisherman related how once, when he was out fishing, he had been stranded at night upon that island, not knowing where he was. In the morning, as he wandered about the island, he came across an earth hut, and met an old man standing near it. Presently two others came out, and after having fed him, and dried his things, they helped him mend his boat.
'And what are they like?' asked the Bishop.
'One is a small man and his back is bent. He wears a priest's cassock and is very old; he must be more than a hundred, I should say. He is so old that the white of his beard is taking a greenish tinge, but he is always smiling, and his face is as bright as an angel's from heaven. The second is taller, but he also is very old. He wears tattered, peasant coat. His beard is broad, and of a yellowish grey colour. He is a strong man. Before I had time to help him, he turned my boat over as if it were only a pail. He too, is kindly and cheerful. The third is tall, and has a beard as white as snow and reaching to his knees. He is stern, with over-hanging eyebrows; and he wears nothing but a mat tied round his waist.'
'And did they speak to you?' asked the Bishop.
'For the most part they did everything in silence and spoke but little even to one another. One of them would just give a glance, and the others would understand him. I asked the tallest whether they had lived there long. He frowned, and muttered something as if he were angry; but the oldest one took his hand and smiled, and then the tall one was quiet. The oldest one only said: "Have mercy upon us," and smiled.'
While the fisherman was talking, the ship had drawn nearer to the island.
'There, now you can see it plainly, if your Grace will please to look,' said the tradesman, pointing with his hand.
The Bishop looked, and now he really saw a dark streak -- which was the island. Having looked at it a while, he left the prow of the vessel, and going to the stern, asked the helmsman:
'What island is that?'
'That one,' replied the man, 'has no name. There are many such in this sea.'
'Is it true that there are hermits who live there for the salvation of their souls?'
'So it is said, your Grace, but I don't know if it's true. Fishermen say they have seen them; but of course they may only be spinning yarns.'
'I should like to land on the island and see these men,' said the Bishop. 'How could I manage it?'
'The ship cannot get close to the island,' replied the helmsman, 'but you might be rowed there in a boat. You had better speak to the captain.'
The captain was sent for and came.
'I should like to see these hermits,' said the Bishop. 'Could I not be rowed ashore?'
The captain tried to dissuade him.
'Of course it could be done,' said he, 'but we should lose much time. And if I might venture to say so to your Grace, the old men are not worth your pains. I have heard say that they are foolish old fellows, who understand nothing, and never speak a word, any more than the fish in the sea.'
'I wish to see them,' said the Bishop, 'and I will pay you for your trouble and loss of time. Please let me have a boat.'
There was no help for it; so the order was given. The sailors trimmed the sails, the steersman put up the helm, and the ship's course was set for the island. A chair was placed at the prow for the Bishop, and he sat there, looking ahead. The passengers all collected at the prow, and gazed at the island. Those who had the sharpest eyes could presently make out the rocks on it, and then a mud hut was seen. At last one man saw the hermits themselves. The captain brought a telescope and, after looking through it, handed it to the Bishop.
'It's right enough. There are three men standing on the shore. There, a little to the right of that big rock.'
The Bishop took the telescope, got it into position, and he saw the three men: a tall one, a shorter one, and one very small and bent, standing on the shore and holding each other by the hand.
The captain turned to the Bishop.
'The vessel can get no nearer in than this, your Grace. If you wish to go ashore, we must ask you to go in the boat, while we anchor here.'
The cable was quickly let out, the anchor cast, and the sails furled. There was a jerk, and the vessel shook. Then a boat having been lowered, the oarsmen jumped in, and the Bishop descended the ladder and took his seat. The men pulled at their oars, and the boat moved rapidly towards the island. When they came within a stone's throw they saw three old men: a tall one with only a mat tied round his waist: a shorter one in a tattered peasant coat, and a very old one bent with age and wearing an old cassock -- all three standing hand in hand.
The oarsmen pulled in to the shore, and held on with the boathook while the Bishop got out.
The old men bowed to him, and he gave them his benediction, at which they bowed still lower. Then the Bishop began to speak to them.
'I have heard,' he said, 'that you, godly men, live here saving your own souls, and praying to our Lord Christ for your fellow men. I, an unworthy servant of Christ, am called, by God's mercy, to keep and teach His flock. I wished to see you, servants of God, and to do what I can to teach you, also.'
The old men looked at each other smiling, but remained silent.
'Tell me,' said the Bishop, 'what you are doing to save your souls, and how you serve God on this island.'
The second hermit sighed, and looked at the oldest, the very ancient one. The latter smiled, and said:
'We do not know how to serve God. We only serve and support ourselves, servant of God.'
'But how do you pray to God?' asked the Bishop.
'We pray in this way,' replied the hermit. 'Three are ye, three are we, have mercy upon us.'
And when the old man said this, all three raised their eyes to heaven, and repeated:
'Three are ye, three are we, have mercy upon us!'
The Bishop smiled.
'You have evidently heard something about the Holy Trinity,' said he. 'But you do not pray aright. You have won my affection, godly men. I see you wish to please the Lord, but you do not know how to serve Him. That is not the way to pray; but listen to me, and I will teach you. I will teach you, not a way of my own, but the way in which God in the Holy Scriptures has commanded all men to pray to Him.'
And the Bishop began explaining to the hermits how God had revealed Himself to men; telling them of God the Father, and God the Son, and God the Holy Ghost.
'God the Son came down on earth,' said he, 'to save men, and this is how He taught us all to pray. Listen and repeat after me: "Our Father."'
And the first old man repeated after him, 'Our Father,' and the second said, 'Our Father,' and the third said, 'Our Father.'
'Which art in heaven,' continued the Bishop.
The first hermit repeated, 'Which art in heaven,' but the second blundered over the words, and the tall hermit could not say them properly. His hair had grown over his mouth so that he could not speak plainly. The very old hermit, having no teeth, also mumbled indistinctly.
The Bishop repeated the words again, and the old men repeated them after him. The Bishop sat down on a stone, and the old men stood before him, watching his mouth, and repeating the words as he uttered them. And all day long the Bishop laboured, saying a word twenty, thirty, a hundred times over, and the old men repeated it after him. They blundered, and he corrected them, and made them begin again.
The Bishop did not leave off till he had taught them the whole of the Lord's prayer so that they could not only repeat it after him, but could say it by themselves. The middle one was the first to know it, and to repeat the whole of it alone. The Bishop made him say it again and again, and at last the others could say it too.
It was getting dark, and the moon was appearing over the water, before the Bishop rose to return to the vessel. When he took leave of the old men, they all bowed down to the ground before him. He raised them, and kissed each of them, telling them to pray as he had taught them. Then he got into the boat and returned to the ship.
And as he sat in the boat and was rowed to the ship he could hear the three voices of the hermits loudly repeating the Lord's prayer. As the boat drew near the vessel their voices could no longer be heard, but they could still be seen in the moonlight, standing as he had left them on the shore, the shortest in the middle, the tallest on the right, the middle one on the left. As soon as the Bishop had reached the vessel and got on board, the anchor was weighed and the sails unfurled. The wind filled them, and the ship sailed away, and the Bishop took a seat in the stern and watched the island they had left. For a time he could still see the hermits, but presently they disappeared from sight, though the island was still visible. At last it too vanished, and only the sea was to be seen, rippling in the moonlight.
The pilgrims lay down to sleep, and all was quiet on deck. The Bishop did not wish to sleep, but sat alone at the stern, gazing at the sea where the island was no longer visible, and thinking of the good old men. He thought how pleased they had been to learn the Lord's prayer; and he thanked God for having sent him to teach and help such godly men.
So the Bishop sat, thinking, and gazing at the sea where the island had disappeared. And the moonlight flickered before his eyes, sparkling, now here, now there, upon the waves. Suddenly he saw something white and shining, on the bright path which the moon cast across the sea. Was it a seagull, or the little gleaming sail of some small boat? The Bishop fixed his eyes on it, wondering.
'It must be a boat sailing after us,' thought he 'but it is overtaking us very rapidly. It was far, far away a minute ago, but now it is much nearer. It cannot be a boat, for I can see no sail; but whatever it may be, it is following us, and catching us up.'
And he could not make out what it was. Not a boat, nor a bird, nor a fish! It was too large for a man, and besides a man could not be out there in the midst of the sea. The Bishop rose, and said to the helmsman:
'Look there, what is that, my friend? What is it?' the Bishop repeated, though he could now see plainly what it was -- the three hermits running upon the water, all gleaming white, their grey beards shining, and approaching the ship as quickly as though it were not morning.
The steersman looked and let go the helm in terror.
'Oh Lord! The hermits are running after us on the water as though it were dry land!'
The passengers hearing him, jumped up, and crowded to the stern. They saw the hermits coming along hand in hand, and the two outer ones beckoning the ship to stop. All three were gliding along upon the water without moving their feet. Before the ship could be stopped, the hermits had reached it, and raising their heads, all three as with one voice, began to say:
'We have forgotten your teaching, servant of God. As long as we kept repeating it we remembered, but when we stopped saying it for a time, a word dropped out, and now it has all gone to pieces. We can remember nothing of it. Teach us again.'
The Bishop crossed himself, and leaning over the ship's side, said:
'Your own prayer will reach the Lord, men of God. It is not for me to teach you. Pray for us sinners.
And the Bishop bowed low before the old men; and they turned and went back across the sea. And a light shone until daybreak on the spot where they were lost to sight.
by: Leo Tolstoy
http://www.online-literature.com/tolstoy/2896/
Langganan:
Postingan (Atom)