Kamis, 23 Februari 2012

Bohong adalah Laknat

Oleh: SINDHUNATA

Bohong! Kata inilah yang sekarang sedang naik daun. Memang, rakyat sedang muak dengan ”drama kebohongan”, di mana aktor dan aktrisnya adalah politikus-politikus yang nuraninya sudah bebal terhadap kebenaran.

Lah, wong rakyat kecil dan anak-anak saja tergila-gila ingin memiliki Blackberry (BB), bagaimana mungkin orang percaya bahwa seorang pesohor dan legislator sekelas Angelina Sondakh mengaku tak memiliki Blackberry sebelum akhir 2010?

Bagaimana kita tidak gemas ketika dalam sidang perkara korupsi wisma atlet dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin, Rabu (15/2), Angelina Sondakh sebagai saksi dengan enteng terus menyangkal semua fakta yang menunjukkan keterlibatannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki bukti rekaman pembicaraan Angelina dengan Mindo Rosalina melalui BBM (perpesanan dengan BB). Ketika bukti itu disinggung, Angelina kembali menyangkal, mengaku tak mengenali pembicaraan tersebut. Saking jengkelnya, pengacara Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea, mencemooh, ”Apa hantu yang mengirim BBM ini?”

Angelina juga mengaku tak paham kode-kode permintaan uang kepada Mindo seperti ”apel malang”, ”apel washington”, dan ”semangka”. Padahal, menurut Mindo, kode-kode itu jelas-jelas digunakan dalam percakapan mereka.

Seperti Angelina, Mahyudin, politikus Partai Demokrat dan Ketua Komisi X DPR, juga menyangkal keterlibatannya. Terhadap pertanyaan majelis hakim, jaksa, dan pengacara, Mahyudin—yang juga Guru Besar Universitas Sriwijaya itu—menjawab, ”Tidak tahu, lupa, atau tidak ingat.”

Alasan lupa adalah ia pernah terserang stroke. Dalam pertemuan dengan Andi Mallarangeng, Nazaruddin, dan Angelina Sondakh, yang ia ingat adalah makanan udang. ”Katanya stroke, tetapi malah ingat udang.” ”Masa orang yang lupa dipercaya jadi pemimpin komisi DPR.” Lagi-lagi, begitu cemooh Hotman Paris Hutapea.

Kita tentu masih harus menunggu hasil sidang lanjutan perkara Nazaruddin. Semua orang tahu, perkara ini sarat muatan politik. Tak heran jika mereka yang berkepentingan mengatur mekanisme begitu rupa agar skandal politik yang lebih besar tidak terbongkar. Rakyat yang paling sederhana pun tahu, perkilahan Angelina Sondakh dan kelupaan Mahyudin adalah bagian dari mekanisme kebohongan itu.

Kanker ganas


Di mana-mana politik memang tak bisa terpisahkan dari kebohongan. Kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena politik memang tidak berkenaan dengan kebenaran, tetapi dengan naluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Itulah yang dibahas filsuf politik Hannah Arendt dalam bukunya Wahrheit und Lüge in der Politik—Kebenaran dan Kebohongan dalam Politik (1971).

Menurut Arendt, politik bergerak sedemikian rupa sehingga mendepak kebenaran. Politik menjadi sekadar upaya mempertahankan kekuasaan malah cenderung jadi permainan. Hakikatnya adalah ”Who get What, When, How”.

Machiavelli lebih realistis lagi. Menurut dia, seorang penguasa boleh mengingkari janjinya apabila janji itu ternyata merugikannya dan apabila tiada lagi alasan untuk tetap berpegang teguh pada janjinya. Jika semua manusia adalah baik, usul itu keliru. Namun, berhubung manusia tidak baik dan tidak bisa memegang kata-katanya sendiri, penguasa juga tidak perlu berpegang pada kata-kata yang dijanjikan. Juga apabila belum ada alasan yang benar secara hukum, penguasa bisa saja menutupi ingkar janjinya dengan kebohongan.

Kita boleh tidak setuju dengan pendapat Machiavelli itu. Namun, jika kita terima sebagai sinisme terhadap kekuasaan, pendapat itu akan membuat kita realistis terhadap fakta bahwa kekuasaan tak lepas dari kebohongan. Kata Machiavelli, kekuasaan terkait dengan kodrat manusia yang suka bohong.

Memang, bohong, kebohongan, dan pembohongan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Tak ada larangan yang begitu sering dilanggar seperti larangan jangan berbohong. Di dunia ini ada manusia yang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berselingkuh, tetapi tak pernah ada manusia yang tak berdusta atau berbohong. Maka, kata novelis dan esais Jean Paul, bohong adalah kanker ganas di bibir hati terdalam manusia. Kata penyair Heinrich Heine, kebohongan bahkan bisa menyelip ke dalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis.

Oli kebohongan

Kebohongan bisa menyelip ke mana-mana, apalagi ke dalam politik. Itulah yang sesungguhnya kita alami sekarang ini. Politik kita memang sedang bermantelkan kebohongan. Meminjam kata-kata sutradara teater dan esais di Paris dan Berlin, Benjamin Korn, politik kita bagaikan mesin yang olinya adalah kebohongan. Dalam politik macam ini, para politikus tidak lagi berpikir tentang rakyat, tetapi hanya bagaimana meningkatkan kerakusan dan berahi kekuasaan. Caranya dengan mempraktikkan kebohongan.

Kalaupun relasi politik kelihatan lancar, itu bukan karena para politikus menepati norma dan etika kebenaran, melainkan karena hubungan itu dilumasi terus dengan oli kebohongan. Sekali pelumasan kebohongan berhenti, mesin politik akan macet. Jika macet, mesin politik hanya merugikan. Maklum, politik kita berjalan tidak semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga memanfaatkan kekuasaan untuk mengumbar nafsu ketamakan akan harta dan uang.

Maka, roda gila kebohongan bergerak semakin cepat, sampai kita tidak kuasa lagi mengeremnya. Kita diseret untuk hidup dalam sistem kebohongan. Kita pun tertipu dan terjerat total oleh kebohongan itu sampai kita seakan tak dapat lagi keluar. Kita jengkel, tetapi tak tahu mana jalan keluar. Lama-lama kita juga terninabobokkan oleh kebohongan itu. Itulah mungkin maksud Henrich Heine ketika ia bilang, ”Penipuan itu manis, tetapi ketertipuan lebih manis lagi rasanya.”

Itukah yang terjadi ketika kita menyaksikan sidang yang menghadirkan saksi Angelina Sondakh? Kita jengkel mendengar kilahnya, tetapi seperti masokis yang suka disakiti, kita menikmatinya juga. Rasanya seperti ketika kita jengkel dan muak dengan segala superfisialitas kontes putri ayu Indonesia, tetapi toh kita menikmati peragaan kecantikan dan kemolekannya.

Ibu segala dosa

Kebohongan memang sulit diberantas. Filsuf Imannuel Kant mengibaratkan kebohongan bagaikan kayu bengkok, tidak mungkin ditukangi untuk diluruskan.

Kalau demikian, mestikah kita membiarkan saja kebohongan? Sama sekali tidak. Sebab, kata Kant, pembohong dan kebohongannya telah melukai, menistakan, dan meniadakan martabat manusia. Lebih lanjut, ujar Kant, juga jika terjadi dengan maksud baik, kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Dengan jatuhnya ketidakpercayaan, roboh pula sendi-sendi hukum. Kemanusiaan akan menderita karenanya. Bohong itu merugikan, tidak hanya karena merugikan orang lain, tetapi juga karena ia mengeringkan sumber-sumber hukum.

Tak usah kita berguru kepada pemikir Barat untuk mengutuk kebohongan. Guru bangsa kita, Prof Dr Hamka, sudah mengulas habis kebohongan dalam bukunya, Bohong di Dunia (cetakan III, 1971). Hamka mengulas apa itu kebohongan; bagaimana sikap agama-agama Nasrani, Yahudi, dan Islam terhadap kebohongan; bohong dalam ilmu jiwa; dan pendapat para filsuf, Aristoteles, Rosseau, dan Stanley Hall, tentang kebohongan.

Dalam pengantar buku tersebut—ditulis di Bukittinggi tahun 1949—Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dusta adalah ibu daripada segala dosa.” Hamka prihatin, betapa pada waktu itu kebohongan sudah bersimaharajalela dan betapa karena kebohongan, bangsa ini tetap melarat dan tidak bisa maju.

Menurut Hamka, pada fitrahnya, manusia sesungguhnya adalah benar dan jujur. Suara hati yang asli adalah jujur dan tidak mau berbohong. Keadaan lain yang datang tiba-tiba memaksa manusia menempuh jalan bohong. Lalu, diberikannya gambaran tentang kebenaran. Gambaran Hamka tentang pentingnya kebenaran dan seruannya untuk melawan kebohongan ini harus tetap berkumandang:

”Cobalah menoleh ke mana saja pun tuan mau, tuan akan melihat bahwasanya kebenaranlah yang jadi sendi segala macam bidang kehidupan. Saudagar yang pembohong hanya berlaba sebentar, ekonom yang sejati harus bergantung pada kejujuran, amanat, keteguhan janji, dan keberesan buku perniagaan yang dijalankan dengan segala macam kicuh tidak memberikan ketenteraman bagi jiwa dan tidak kemakmuran. Saudagar penipu hanya berlaba amat sedikit dan rugi lebih banyak karena dia memandang keuntungan yang sekejap bukan laba yang berlama. Tukang yang pemungkir janji dan tidak meladeni kehendak langganan lekas ditinggalkan orang. Majikan yang pembohong diboikot anak semangnya. Guru yang pembohong ditinggalkan muridnya.”

Dan, betapa kata-kata Hamka tentang kebohongan dalam dunia hukum ini seperti memantulkan kembali karut-marut hukum kita dewasa ini: ”Hakim yang pembohong mengacaukan jalan perkara dan menghilangkan rasa keamanan rakyat. Si tertuduh yang berdusta mempersulit jalan perkara. Kesaksian dusta pun lebih mengacaukan lagi: keadilan tersembunyi, orang yang benar teraniaya, dan orang yang bersalah terlepas dari hukuman. Bangsa yang pembohong membawa merosot seluruh kebangsaannya dan kemuliaan negaranya.”

Hamka mengatakan bahwa bohong itu dinamai juga khianat. Dan, untuk itu ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: ”Amatlah besarnya khianatmu jika engkau cakapkan kepada saudaramu suatu perkara, yang dia menyangka perkataanmu benar. Padahal, engkau sendiri merasa bahwa engkau berdusta.”

Sekali lagi, betapa relevannya kata-kata ini bagi dunia persidangan korupsi kita akhir-akhir ini: khianat adalah laknat.

Jembatan kejujuran

Bohong adalah kanker di hati manusia. Dan, bohong itu bermuara di bibirnya. Karena itu, kebijakan Jawa mengajar: Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (harga diri manusia ada dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya). Orang boleh berdandan secantik Putri Indonesia, tetapi apabila ia tidak bisa menjaga bibirnya—artinya suka berbohong—ia tidak berharga sama sekali. Keelokan hanya pada busana dan raganya dan keelokan macam ini hanyalah luaran belaka sejauh tidak dibarengi keelokan bibirnya: bukan karena olesan lipstik mahal, melainkan karena menjadi muara kejujuran hatinya.

Memang kita harus hati-hati dengan bibir kita. Dalam Serat Kancil, pujangga Raden Panji Natarata menulis tentang uwot (jembatan) siratalmustakim. Dalam khazanah Jawa, jembatan itu juga disebut uwot ogal-agil. Jembatan itu selalu goyang karena lebarnya hanya sehelai rambut dibelah seribu. Siapa gagal melewati jembatan, ia akan tercemplung ke dalam neraka jahanam. Dalam pengadilan di hari akhir, setiap orang harus melewatinya. Mana mungkin? Mungkin saja jika berhati tulus dan jujur.

Menurut Raden Panji Natarata, ujian lewat jembatan itu tidak harus datang pada akhir zaman. Katanya, uwot siratalmustakim aneng tutukmu samana kang sanyata (jembatan siratalmustakim itu nyata-nyata ada di bibirmu sekarang). Dengan kata lain, siapa bicara benar, sekarang juga ia lulus. Sebaliknya, siapa bicara bohong, berarti ia gagal meniti jembatan penguji kebaikan dan kejahatan manusia itu. Tidak usah menunggu pengadilan terakhir, sekarang juga ia terpelanting ke dalam neraka kenistaan.

Sekarang bangsa ini sedang meniti uwot siratalmustakim. Jika para pemimpin bangsa yang menuntun kita tak lagi berhati jujur dan mulutnya terus membualkan kata-kata dusta, mereka tidak hanya menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kenistaan, tetapi juga mencemplungkan kita ke dalam kenistaan. Harga diri bangsa akan terhina dan kita hidup dalam neraka saling ketidakpercayaan.

Dengan hati berdebar-debar kita mengikuti jalannya sidang. Inilah saat kritis, di mana kita dijemput untuk meniti uwot siratalmustakim. Semoga para politikus, jaksa, hakim, pengacara, dan pemuka bangsa yang terlibat sudi anyirnakake ati goroh minangka laku tapane, menyingkirkan hati yang bohong sebagai tindak asketisnya.

SINDHUNATA, Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Sumber: kompas.com

Selasa, 21 Februari 2012

Rabu Abu Versus Semarak Karnaval

Sebagai perwujudan tobat, umat diharap menyisihkan sebagian miliknya untuk kepentingan sesamanya. Uang atau barang-barang yang dikumpulkan selama masa puasa, pada gilirannya akan dibagikan lagi kepada mereka yang membutuhkan.
Sekitar setengah juta turis berdatangan ke Rio de Janeiro, Brasil, pada pekan ini untuk menyaksikan semarak karnaval gila-gilaan. Puncaknya adalah hari Selasa kemarin (21/2/12) atau satu hari menjelang Rabu Abu. Di New Orleans, pesta yang sama dikenal dengan nama Mardi Gras. Kota-kota lain di dunia pada saat yang bersamaan juga tidak ketinggalan, saling berlomba mengadakan acara serupa seperti di Toronto, London, San Salvador, Trinidad, Nice, dan Cologne.

Pada abad kedua, gereja Katolik, khususnya di Kota Roma, memulai suatu kebiasaan menyelenggarakan pesta, sehari menjelang hari Rabu Abu atau saat dimulainya masa puasa umat Kristiani. Umat memanfaatkan saat-saat sebelum puasa untuk berpesta-ria, makan-minum sepuasnya. Konon, kebiasaan ini diambil dari tradisi lama (pra-Kristiani) yang sudah ada sebelumnya. Dalam perkembangannya, acara ini menjadi pesta karnaval, yaitu perayaan publik dalam bentuk parade di jalanan, lengkap dengan tontonan ala sirkus.

Karnaval sendiri berasal dari dua kata Latin: carnis yang berarti "daging" dan vale yang berarti "selamat tinggal" (di masa lalu, selama 40 hari masa puasa orang Katolik tidak makan daging). Di Prancis, pesta sejenis disebut Mardi Gras. Mardi Gras (berasal dari bahasa Prancis) berarti "Selasa lemak". Maksudnya, hari Selasa menjelang Rabu Abu, orang berpesta pora makan daging/lemak sepuas-puasnya. Selain itu, Mardi Gras juga merupakan kesempatan terakhir orang untuk menikah dan berpesta. Sebab sesudahnya, orang dilarang menikah sampai berakhirnya masa puasa.

Di antara pesta sejenis, karnaval di Rio de Janeiro, Brasil, adalah pesta yang paling sensasional, paling spektakuler, dan paling banyak dikunjungi turis. Awalnya, pesta ini dilakukan di jalanan selama tiga hari menjelang Rabu Abu. Pada waktu itu, kota-kota di Brasil dipadati orang yang berpesta-ria mengenakan topeng-topeng. Mereka saling melempar bubuk tepung, bahkan saling semprot cairan busuk.

Pada tahun 1840, seorang istri pemilik hotel di Rio de Janeiro yang berasal dari Italia mengubah kebiasaan pesta liar ini menjadi lebih berbudaya. Pada pesta tersebut dia mengundang para pemain musik, menyediakan guntingan kertas warna-warni pengganti bubuk tepung. Ia juga menyelenggarakan pesta tarian mewah dan mewajibkan orang-orang mengenakan topeng. Itulah awal mula dari Baile de Carnaval yang terkenal hingga kini.

Untuk menampung kegiatan yang semakin populer ini, pada tahun 1984 pemerintah Brasil membangun panggung pinggir jalan yang disebut Sambodromo. Tempat ini menampung sekitar 80.000 penonton dan membuat karnaval Rio makin terkenal. Harga tiket masuk bisa sampai 500 dollar AS untuk satu tempat duduk yang agak strategis!

Karnaval di Rio benar-benar menjadi pesta untuk semua orang. Bermacam-ragam orang berbaur bersama dalam keriuhan, kegembiraan, dan kegilaan. Tidak sedikit para penari samba, pria dan wanita, tampil dengan telanjang dada atau dengan pakaian superminim. Kesempatan ini juga digunakan para artis Brasil untuk tampil di muka publik. Umumnya mereka masuk salah satu kelompok sekolah samba.

Pertobatan

Permulaan masa puasa atau pra-Paskah biasanya jatuh pada awal bulan Maret atau akhir Februari. Itu bertepatan dengan berakhirnya musim dingin yang melelahkan dan datangnya musim semi yang dinanti-nantikan. Maka, tidak mengherankan bahwa karnaval menjadi semacam ungkapan kegembiraan menyongsong musim kehidupan alias musim semi. Di masa lalu, hampir seluruh kota dan desa di Eropa merayakan kebiasaan ini. Tiap-tiap kota berlomba menunjukkan kehebatan serta kreasinya. Di beberapa tempat, diadakan juga pesta karnaval khusus untuk anak-anak.

Sampai saat ini, pesta karnaval tetap diadakan menjelang Hari Rabu Abu (tahun ini jatuh pada hari Rabu ini, 22/2). Namun Karnaval sendiri sekarang sudah menjadi bagian dari pesta budaya, bukan lagi pesta agama. Pada masa sekarang, karnaval sering menjadi kesempatan untuk mengkritik, mengolok-olok para politisi, tokoh masyarakat bahkan tokoh agama. Tidak ketinggalan, pesta karnaval juga telah menjadi ajang promosi berbagai kepentingan, khususnya produk niaga.

Awal masa puasa Katolik dimulai pada hari Rabu Abu. Disebut Rabu Abu karena pada hari itu umat Katolik datang ke gereja untuk menerima abu di kepalanya dari imam. Masa puasa berlangsung 40 hari dan berakhir pada perayaan Paskah atau Kebangkitan Tuhan Yesus.

Pengertian masa puasa dalam tradisi Katolik amat berbeda dengan puasa umat Islam, misalnya. Pada masa puasa, umat Katolik tetap boleh makan dan minum, hanya porsinya dikurangi. Selain itu, pada hari tertentu, khususnya Jumat, umat dilarang untuk makan daging. Di luar kewajiban puasa yang ditentukan, umat diminta memilih sendiri jenis puasa dan pantang yang cocok dengan dirinya. Umpamanya, orang yang biasa merokok, pada masa puasa berhenti untuk tidak merokok.

Mengapa tradisi puasa Katolik begitu ringan dan sederhana? Barang kali karena tekanan dan latar belakang yang berbeda. Dalam ajaran Katolik yang pertama-tama ditekankan adalah aspek pertobatan, bukan mati raga. Karenanya, masa puasa diawali dengan Rabu Abu, pengurapan dengan abu. Tradisi ini berasal dari kebiasaan kuno bangsa Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama, khususnya Kitab Nabi Yesaya dan Yeremia, dikisahkan tentang ritual penyesalan atas dosa: orang berpakaian kain kasar dan duduk di atas abu serta menaburi diri dengan abu.

Tradisi abu orang Yahudi ini mirip dengan tradisi lumpur suku Asmat di pedalaman Papua. Orang Asmat, bila sedang berkabung, akan membanting diri ke dalam lumpur sambil berguling-guling serta menangis meraung-raung. Dalam bahasa Jawa ada istilah gulung koming, berguling-guling di atas tanah sebagai ekspresi kesedihan. Tampaknya ada benang merah di antara ketiganya.

Abu, lumpur, dan tanah adalah simbol kefanaan, sesuatu yang tak berharga, tak berarti. Manusia memang tak ada artinya dibanding alam semesta ini. Ketika memberi pengurapan abu, imam berkata, "manusia berasal dari abu dan kembali menjadi abu!" Kata-kata yang dikutip dari Kitab Kejadian ini untuk mengingatkan akan kefanaan kita sebagai manusia.

Pertobatan Kolektif

Puasa dan pertobatan adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam tradisi puasa Katolik. Kedua hal ini masih dilengkapi dengan aksi nyata umat untuk sesama. Maksudnya, sebagai perwujudan tobat, umat diharap menyisihkan sebagian miliknya untuk kepentingan sesamanya. Uang atau barang-barang yang dikumpulkan selama masa puasa pada gilirannya akan dibagikan lagi kepada mereka yang membutuhkan.

Pada masa puasa, umat Katolik diingatkan untuk bertobat. Sebagai kelompok, umat diajak untuk bertobat secara bersama-sama. Agar pertobatan kolektif dapat lebih terarah, pimpinan gereja menentukan suatu tema setiap tahunnya. Tahun 2012 ini, tema yang dipilih adalah "Diutus untuk Berbagi".

Lewat tema ini, kita diajak untuk menyadari bahwa segala milik hendaknya tidak melulu untuk kepentingan pribadi. Ada orang-orang di sekitar umat yang mungkin jauh lebih membutuhkan, lebih susah hidupnya dari kita. Karenanya, umat disadarkan untuk rela berbagi dengan mereka yang kekurangan.

Semarak karnaval yang begitu meriah di Brasil atau di tempat lain menjadi kehilangan artinya ketika dipisahkan dari makna spiritual Rabu Abu. Selamat memulai masa puasa bagi umat Katolik sambil menyadari bahwa kita Diutus untuk Berbagi.

Oleh Heri Kartono, OSC
Penulis adalah seorang rohaniwan
Sumber: Koran Jakarta-nya Om Alex Marten