Kamis, 24 Mei 2012

Femi Sekilas Pandang





2012-05-23 20.24.25.jpg
Femi Adi Soempeno saat di semayangkan di Rumaha Sakit Harapan Kita, Slipi Jakara, Rabu 23 Mei 2012. Foto, oleh: Noverius Laoli

Peristiwa nahas jatuhnya Pesawat Sukhoi buatan Rusia meninggalkan kenangan mendalam akan seorang sahabat. Femi Adi Soempeno, wartawan Bloomberg, Media asal Amerika Serikat.

Femi yang saya kenal adalah sosok pribadi yang hangat dan menyenangkan.  Selain sebagai sosok yang cerdas, ia juga seorang yang mudah bergaul. Meskipun aku tidak mengenalnya secara dekat,  tapi kami sempat beberapa kali  liputan bersama di pengadilan. Pertama sekali mengenalnya sebenarnya bukan di pengadilan, melainkan di gedung Kontan, Media Bisnis dan Ekonomi, tempat aku bekerja.

Kala itu, salah seorang asisten redaktur (Asred) memperkenalkan perempuan kelahiran Yogyakarta, 4 April 1980 ini.  “Mbak Femi ini dulu redaktur saya, dialah yang membimbingku menulis sehingga bisa sampai seperti sekarang ini,” jelasnya.  Femi pun saat itu hanya senyum-senyum saja tanpa memberikan komenter apa-apa.

Aku pun berlagak biasa saja, bersalaman dan berkenalan dengannya. Namun setelah itu, aku tak bertemu denganya lagi. Beberapa bulan berselang, aku bertemu secara tidak sengaja dengannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat itu kami sedang mewawancarai pengacara senior yakni Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan.

Persoalan yang kami angkat terkait masalah Citibank dengan nasabahnya almarhum Irzen Octa, yang diduga mengalami kekerasan dari debt kolektor Citibank.  Setelah melakukan wawancara,  kami melirik satu sama lain dan  kaget.  Sepertinya kami pernah bertemu sebelumnya.  Dan tidak susah bagi kami untuk saling mengenal.  Apalagi, Femi pernah menjadi wartawan Kontan, meskipun sudah tidak bekerja di media ini  saat aku menjadi wartawan di sana.

Dari pertemuan tersebut, kami beberapa kali bertemu di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta.  Seperti baisa, kami liputan bareng dan ngobrol sekedar basa-basi. Terakhir kami bertemu dan berbincang banyak hal ketika sidang perdana Muhammad Nazaruddin.

Satu hal yang membuat saya berkesan atasnya adalah orangnya sangat perhatian, hangat, menyenangkan dan tepat janji.  Sebagai contoh, ketika sedang liputan Nazaruddin, aku sekedar iseng aja meminta tolong kalau nanti ia dapat berkas, aku minta foto kopinya.

Setelah sidang pledoi Nazaruddin selesai, aku sudah melupakan permintaan tersebut dan fokus mewawancara pengacara. Tapi, tiba-tiba saat selesai wawancara, Femi mencari aku, dan ia langsung menyodorkan salah satu berkas pembelaan Nazaruddin kepadaku. “Ini gua tadi ambil dua, satu untuk lu  dan satu untuk gua, gua  cabut dulu ya, masih liputan di tempat lain soalnya,” ucapnya sambil tersenyum dan langsung pergi.

Tak disangka, mungkin itukah terakhir kali liputan bersama dengan Femi? Aku tidak tahu. Tapi peristiwa jatuhnya Sukhoi, ternyata menyisahkan kenangan dengan Femi. Wajah dan senyumnya sekilas melintas dalam benak. Bahkan seperti tidak percaya ia ikut dalam penerbangan itu.  Rasa-rasanya, Femi masih baik-baik saja.  Semoga ia tetap baik-baik saja.

Salah seorang teman seangkatannya saat jadi wartawan di Kontan bercerita, beberapa  hari yang lalu sebelum peristiwa naas ini, Femi sempat makan bersama dengannya. Dalam perbincangan mereka, Femi menuturkan bahwa ia telah menyiapkan tulisan atau obituari untuk tokoh-tokoh besar di Indonesia yang dia prediksi akan meninggal dunia dalam beberapa tahun ke depan, atau bisa saja meninggalnya mendadak.
Nah, obituari itu akan langsung dipublikasikan kalau tokoh yang dipersiapkan obituari  itu meninggal secara mendadak.  Apakah ini tanda-tanda? Aku tidak tahu.  Meskipun demikian,  Tuhan mungkin berkehendak lain.

Saat ini, Femi telah berada di tempat terindah yang menjadi asal dan tujuan. Selamat jalan sahabat, kau kami kenang sebagai seorang wartawan yang hangat, cerdas dan bersahabat.

Noverius Laoli

Konglomerasi Media Menggurita, Jurnalis Belum Sejahtera


yus ardhiansyah • Selasa, 1 Mei '12 19:38 • 0 komentar
1 Hari ini, 1 Mei 2012, kita kembali memperingati Hari Buruh se-Dunia. Seluruh gerakan buruh dari berbagai sektor turun ke jalan, melakukan aksi memprotes kondisi kesejahteraan dan kondisi kerja yang belum adil bagi kaum buruh. Tidak terkecuali buruh media, yakni para jurnalis, juga belum merasakan kesejahteraan dan kondisi kerja yang adil. Bagi jurnalis, bahkan tidak hanya menghadapi persoalan kesejahteraan saja, tetapi juga masalah kebebasan pers yang semakin mengancam, yang datang dari aparat negara, laskar kemasyarakatan, dan intervensi pemilik perusahaan pers terhadap independensi ruang redaksi .
Ancaman terakhir inilah yang kini dirasakan AJI Jakarta semakin mengkhawatirkan. Terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, AJI Jakarta melihat pemusatan kepemilikan media semakin kentara, terutama di media televisi, sehingga mengancam independensi ruang redaksi Kolaborasi penguasa partai politik dan penguasa media massa bakal menempatkan jurnalis Indonesia menjadi lebih rentan terhadap berbagai intervensi politik kekuasaan. Kondisi ini tentu sangat mengancam fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi yang berfungsi menjalankan kontrol publik terhadap jalannya kekuasaan negara dalam kehidupan sehari-hari.
Gurita konglomerasi media saat ini semakin menakutkan. AJI Jakarta bersama sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk mengingatkan kembali tentang bahayanya pemusatan kepemilikan bagi publik, dalam perayaan hari buruh ini, AJI Jakarta mengusung ikon gurita, simbol bahwa jurnalis semakin terjepit dalam situasi konglomerasi media saat ini.
Ironisnya, dalam situasi saat ini, kesejahteraan jurnalis semakin memprihatinkan. Di Jakarta saja, hasil survei upah jurnalis yang dilakukan AJI Jakarta menjelang hari buruh kali ini, menunjukkan banyak jurnalis di Jakarta memiliki penghasilan yang tidak layak, diukur dari standar upah layak AJI Jakarta tahun 2012 yang tahun sebesar Rp 4,9 juta per per bulan –ralat, sebelumnya ditulis Rp 5,2 juta per bulan-- (take home pay, untuk jurnalis setingkat reporter dengan masa kerja 1-3 tahun). Ternyata, jurnalis televisi dari stasiun televisi milik konglomerat media nasional, misalnya, bahkan hanya diberikan upah tidak sampai Rp 3 juta per bulan (lihat daftar survei upah).
Kondisi ini tentu tidak kondusif untuk menciptakan iklim jurnalisme yang sehat di Indonesia. Kesejahteraan jurnalis yang rendah tentu akan membuat jurnalis rentan mendapat godaan suap dalam bentuk apapun dari narasumber. Ini sangat membahayakan bagi kebebasan pers karena pers dapat dikendalikan oleh kepentingan narasumber, tidak lagi mengabdi kepada kepentingan publik.
Selain masalah kesejahteraan dan kebebasan pers yang mencuat, kondisi kerja jurnalis di Jakarta awal tahun ini diwarnai dengan pemberangusan serikat pekerja oleh perusahaan media. Pemberangusan serikat pekerja ini menandakan media massa di Indonesia belum benar-benar menjadi instrumen demokrasi yang sejati, karena perusahaan media justru menebarkan ancaman terhadap kebebasan bersuara dan berorganisasi bagi jurnalis. Hal ini tercermin dari kasus Luviana dan pemecatan 13 orang anggota dan pengurus Serikat Pekerja Indonesia Finance Today (IFT) yang saat ini diadvokasi oleh AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Luviana, jurnalis perempuan dari Metro Tv, tiga bulan terakhir ini dibebastugaskan oleh Manajemen Metro Tv lantaran menuntut perbaikan kesejahteraan, meminta perbaikan manajemen ruang redaksi, dan menggagas berdirinya organisasi pekerja yang mampu memperjuangan aspirasi karyawan di Metro TV, perusahaan televisi milik Surya Paloh, seorang pengusaha yang juga pendiri Partai Nasdem dan tengah gencar menggaungkan slogan Restorasi Indonesia itu melalui televisinya.
Begitu juga dalam kasus Serikat Karyawan IFT. Tiga belas orang jurnalis anggota Sekar IFT telah dipecat secara sepihak oleh manajemen PT Indonesia Finanindo Media, perusahaan media penerbit harian Indonesia Finance Today (IFT). Para jurnalis anggota dan pengurus Sekar IFT ini tengah memperjuangkan hak normatifnya, antara menuntut manajemen mengembalikan pemotongan gaji sepihak 5%-27,5% yang berlaku sejak Februari 2012, membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan selama tahun 2011. Kesemua tuntutan karyawan itu sebenarnya merupakan hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja Sama (Kontrak Kerja) yang dilanggar sendiri oleh manajemen.
Kasus Luviana dan Sekar IFT menunjukkan ancaman kebebasan bersuara dan berpendapat di perusahaan pers masih mengintai setiap saat. Pemilik media juga masih alergi terhadap keberadaan Serikat Pekerja sehingga memberangus serikat (Union Busting). Padahal keberadaan serikat pekerja amat diperlukan bagi jurnalis untuk memperbaiki iklim kerja yang masih tidak demokratis. Antara lain masih diberlakukan sistem kontrak kepada jurnalis di luar ketentuan.
Kondisi inilah yang membuat AJI Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya, turun ke jalan melakukan aksi MayDay bersama para buruh. Dalam peringatan hari buruh 2012 ini, AJI Jakarta menyatakan sejumlah sikap sebagai berikut:
1. AJI Jakarta menuntut negara tidak boleh lagi absen dalam upaya melindungi jurnalis dari ancaman kekerasan. Negara juga perlu berperan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang konstitusional untuk mencegah pemusatan kepemilikan media.
2. AJI Jakarta mendesak perusahaan media untuk lebih menghargai jurnalisnya dengan memberikan upah yang layak, memperbaiki kontrak kerja, serta melindungi kebebasan bersuara dan berserikat.
3. Menyatakan upah layak jurnalis tahun 2012 sebesar Rp 4,9 juta per bulan (ralat, sebelumnya dinyatakan Rp 5,2 juta per bulan). Kami mendesak upah layak ini dijadikan acuan bagi perusahaan media dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter dengan pengalaman minimal 1-3 tahun di media cetak, online, televisi, dan radio.
4. Kami mendesak perbaikan kontrak kerja bagi kontributor, koresponden dan stringer di media cetak, televisi, radio, dan online.

Jakarta, 1 Mei 2012
Hormat Kami,


Umar Idris                     Dian Yuliastuti
Ketua AJI Jakarta         Sekretaris

Lampiran:
Hasil Survei Upah Jurnalis di Jakarta Tahun 2012


Penyelenggara: Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta

Media Cetak (10 media)
No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Bisnis Indonesia Rp 4,5 juta Rp 6 juta - 8 juta
2 Gatra Rp 2,2 juta Rp 2,5 juta - 3,5 juta
3 Jurnal Nasional Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kontan Rp 4,2 juta RP 6,3 juta - 6,5 juta
5 Koran Jakarta Rp 2,5 juta Rp 3,5 juta - 4 juta
6 Koran Sindo Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
7 Rakyat Merdeka Rp 2 juta Rp 2,3 juta - 3 juta
8 Tempo Rp 2,3 juta Rp 4 juta - 5,8 juta
9 The Jakarta Globe Rp 5 juta Rp 6 - 12 juta
10 Top Skor Rp 2,5 juta Rp 4 - 5 juta


Media Elektronik (10 media)

No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Berita Satu TV Rp 3,25 juta
2 Jak TV Rp 2 juta Rp 3 juta - 4 juta
3 KBR 68H Rp 2,8 juta Rp 3 juta - 3,5 juta
4 Kompas TV Rp 3 juta
5 Metro TV Rp 2,2 juta Rp 4 juta
6 RCTI Rp 2,5 juta RP 5 - 8 juta
7 SCTV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 5 juta
8 Tempo TV Rp 2,8 juta
9 Trans TV Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 TV One Rp 2,5 juta Rp 3 juta -5 juta



Media Online (10 media)

No Media Upah
Reporter junior (1 - 3 tahun) Reporter senior (3 - 5 tahun)
1 Antara News.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4,5 juta
2 Detik.com Rp 3,2 juta Rp 4 juta - 5 juta
3 Inilah.com Rp 2,5 juta Rp 3 juta - 4 juta
4 Jurnal Parlemen.com Rp 2,7 juta Rp 3 juta - 4 juta
5 Kapanlagi.com Rp 3 juta Rp 4 juta - 5 juta
6 Kompas.com Rp 3,7 juta Rp 4 juta - 5 juta
7 Media Indonesia.com Rp 3,5 juta Rp 4 - 5 juta
8 Merdeka.com Rp 3 juta
9 Okezone.com Rp 2,3 juta Rp 3 juta - 4 juta
10 Viva News.com Rp 2,5 juta RP 3,5 juta - 4,5 juta

Selasa, 08 Mei 2012

Arogansi Kepala Desa Lubuk Ampolu, Kabupaten Tapanuli Tengah

Jika selama ini kita disuguhi informasi soal arogansi Polisi dan TNI terhadap warga negara, ternyata kepala daerah, seperti kepala desa juga, bertindak arogan kepada warganya. Apalagi warga di desa cenderung tidak berpendidikan, dan tidak tahu apa yang menjadi hak-hak mereka.

Sebagai sebuah negara yang merdeka, setiap warga negara Indonesia seharusnya mendapatkan kehidupan yang tenang dan aman. Menciptakan ketenangan dan keamanan itu, menjadi bagian dari tugas pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kotamadya dan desa/kelurahan. Pemerintah memang sudah seharusnya mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warganya. Jika hal itu tidak tercapai, maka pemerintah dapat disebut gagal dalam melaksanakan tugasnya.

Namun, secara fakta, tidak semua pemerintah mampu menciptakan rasa aman bagi warganya. Pasti saja ada yang membuat warga terganggu bahkan menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan. Baik itu akibat serangan dari orang lain, maupun dari pemerintah daerah itu sendiri. Lebih para lagi, jika pemerintah setempat yang menciptakan ketidaknyamanan tersebut. Jika kepala desa menakut-nakuti warganya, bahwa mereka akan ditangkap polisi jika tidak menaati apa yang dimintanya, ini sudah di luar batas kewajaran.

Ketidaknyamanan tersebut dialami oleh salah seorang warga di Desa Lubuk Ampolu, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Persoalannya bermula, ketika, salah seorang warga desa tetangga mengklaim bahwa perbatasan kebun miliknya dengan warga di Desa Lubuk Ampolu ini bermasalah. Warga desa tetangga ini mengatakan, perbatasan kebun tersebut sudah bergeser dan harus diluruskan. Ia menguatkan pernyataannya dengan keterangan dua saksi, yang sebelumnya sebagai pemilik kebun tersebut. Namun, ia tidak memiliki bukti atas klaimnya tersebut.

Kepala Desa Lubuk Ampolu pun memanggil para pihak dan membicarakannya. Dalam pembicaraan tersebut, kepala desa bersama perangkat desa melihat ada persoalan yang sulit diatasi. Warga desa tetangga hanya menuding saja, tanpa bukti. Ia hanya dikuatkan dua saksi. Yang notabene, keterangan saksi bisalah dibuat-buat asal sudah dapat “suntikan,”. Selain itu, keterangan saksi sangatlah lemah. Para aparat desa pun beradu argumen dan memiliki pandangan yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan.

Di tengah perbedaan pendapat tersebut, sang kepala desa menengahi dan memberikan solusi. Ia meminta agar warga tersebut bersedia mengambil jalan tengah dengan rela membagi dua kebun milik warga desa Lubuk Ampolu, yang notabene warganya sendiri. Artinya, meskipun tidak sepenuhnya memenuhi permintaan warga desa tetangga, tapi setengah dari klaim warga desa tetangga itu harus dikabulkan.

Karena merasa tidak adil dan dirugikan, warga desa Lubuk Ampolu ini menentang keras permintaan kepala desanya tersebut. “Masa kebun itu sudah saya bangun selama lebih dari dua puluh tahun, harus saya berikan kepada dia, yang sama sekali tidak pernah mengerjakannya,” jelasnya. Bahkan ia merasa semakin tidak adil, karena bukti-bukti yang dia sodorkan seperti kayu yang sudah di cat di perbatasan, lalu masih ada sampai sekarang dan surat tanah yang sudah ditandatangani kedua belah pihak, sama sekali tidak dipertimbankan oleh kepada desanya. Ia justru curiga ada ada dengan kepala desa saya?

Jika suatu hari misalnya, setiap orang mengklaim bahwa perbatasan kebun mereka ada yang salah dan seharusnya perbatasan itu di tengah kebun milik orang lain, lalu ia membawa dua orang saksinya, tanpa bukti, maka jika berpatokan pada saran kepala desa Lubuk Ampolu, klaim orang itu harus dikabulkan,  minimal sebagian . Maka tentu saja,  setiap orang mengalami ketidakadailan.  Kebijakan tersebut bisa memicusetiap orang untuk mengklaim kebun milik orang lain sebagai miliknya, toh jika tidak berhasil, mereka akan mendapat minimal  separuh kebun milik orang lain.  Kebijakan kepala desa ini suatu kesalah besar yang membawa warganya pada ketidaknyamanan dan ketidakadilan.

Atas penolakan warga Desa Lubuk Ampolu tersebut, sang kepala desa bukannya memberikan respon yang bijak, justru kepala desa Lubuk Ampolu membela warga desa tetangga dengan mengatakan bahwa warganya tersebut harus menaati keputusannya. Ia melarang warga desanya ini mengelola kebun karet miliknya. Alasannya, karena masih dalam sengketa. Karena tidak ada kesepakatan, dan atas usulan perangkat desa yang lain, akhirnya dibuat keputusan bahwa perangkat desa tidak bisa mengatasi persoalan itu dan sudah angkat tangan. Artinya, kalau kedua belah pihak bersedia, maka mereka harus melanjutkannya ke Pengadilan. Soalnya, ranah hukum ini masuk dalam kategori perdata dan bukan pidana yang bisa ditangani polisi.

Beberapa hari kemudian, warga desa Lubuk Ampolu ini mengalami intimidasi dari pihak lawan. Setiap kali mereka bekerja di kebun karet milik mereka, sejumlah anak muda mengawasi mereka secara terang-terangan. Namun, warga desa Lubuk Ampolu ini masih bersabar. Sampai pada akhirnya, ia kembali dipanggil oleh kepala desanya. Bahkan cara memanggilanya pun dititipkan lewat anak kecil yang berusia sekitar belasan tahun. Sesuatu yang tidak lazim sebenarnya. Seharusnya kepala desa bisa membuat surat pemanggilan kepada warganya.

Warga desa Lubuk Ampolu ini memilih untuk memenuhi panggilan tersebut. Dalam pertemuannya dengan sang kepala desa, ia merasakan ada tekanan lagi. Soalnya kepala desa memintanya untuk tidak bekerja di kebun milikya yang masih dalam sengketa. Kalau ia terus bekerja, maka kepala desa akan lepas tangan dan menyuruh polisi menangkap warganya ini.

Tentu saja pernyataan kepala desa ini benar-benar aneh dan terkesan bodoh. Soalnya, persoalan perdata bukanlah urusan polisi, kecuali kalau memang ada unsur pidananya. Itu adalah urusan pengadilan. Maka tidak ada maksud lain dari kepala desa ini selain menakut-nakuti warganya bekerja dan mengintimidasinya secara langsung. Warga desa Lubuk Ampolu ini merasa hidupnya tidak nyaman hidup di desa tersebut. Dan tentu saja ia pun merasa takut jika ditangkap polisi, karena ia tidak tahu hukum sedikit pun.

Arogansi kepala desa seperti ini, mungkin juga dialami oleh banyak warga desa lainnya. Namun, jika arogansi dengan mengintimidasi dan membuat warganya tidak nyaman tetap dibiarkan, maka negara ini semakin jauh saja dari cita-cita kemerdekaan. Sudah menjadi kewajiban para camat dan bupati di daerah memantau dan membina kepala desa di wilayah mereka, agar tahu apa yang menjadi tugas mereka dan tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kedudukannya sebagai kepala desa. Soalnya, ada kepala desa yang mengajadikan diri mereka semacam raja-raja kecil di wilayah mereka. Para kepala desa ini sering kali bertindak otoriter, dan jauh dari demokrasi.