Sabtu, 08 Oktober 2011

Pendidikan Jurnalistik Sejak Dini

Oleh Noverius Laoli
Penulis tidak dilahirkan begitu saja, melainkan merupakan hasil pembelajaran. Siapa pun bisa jadi penulis, asalkan ada kemauan dan usaha.
Namun, sebagian besar dari kita hanyalah penikmat buku dan tulisan, bukan sebagai pencipta buku atau tulisan. Menulis adalah proses kreatif dalam rangka mengeksplorasikan realitas dan pengalaman hidup manusia. Menulis merupakan tindakan mengungkapkan segala khazanah kehidupan ke dalam tataran literer, supaya dapat diketahui oleh semua orang.
Akan tetapi, persoalannya minat anak-anak sekolah zaman sekarang terlihat minim dalam ihwal jurnalistik. Sebagian besar mengatakan, mereka tidak dapat menulis. Ada juga yang cepat menyerah dan tidak mau lagi mencoba menulis, karena susah menuangkan idenya. Intinya, bagi mereka menulis terasa rumit dan susah.
Jika kondisinya demikian, apakah mereka tidak dapat menulis? Penulis pernah mengadakan suatu penelitian sederhana dengan sejumlah anak didik di tempat penulis mengajar. Penelitian ini dimulai dengan pernyataan bahwa setiap saat anak pada zaman sekarang suka menulis. Buktinya, dalam sehari mereka bisa mengirim SMS (short message service) di atas sepuluh kali ke beberapa teman. Selain itu, mereka juga begitu kreatif menulis komentar di F0cebook atau Twitter.
Penulis mengajak peserta untuk berandai-andai, jika sekarang mereka divonis akan "meninggal dunia". Apakah yang akan mereka katakan kepada orang-orang yang sangat dikasihi. Pilihannya, menulis atau mati. Lalu SMS tersebut dikirim ke nomor telefon seluler penulis.
Alhasil, isi SMS yang mereka tuliskan cukup menarik, bahkan tak pernah terpikirkan bahwa anak-anak seusia mereka mampu menuliskan kata-kata bijak yang bisa mengugah pembacanya. Intinya, tulisan-tulisan yang mereka buat itu layak untuk dibaca.
Di sini, penulis mafhum bahwa setiap sekolah sebenarnya bisa menggali potensi-potensi anak didik mereka dalam ihwal jurnalistik. Pendidikan jurnalistik bagi pemula bisa dimulai dengan menuliskan berita. Bisa juga dengan menulis kisah atau cerita. Lalu bagaimana berita atau kisah itu bisa menarik?
Prof. Dr. Bambang Sugiharto pernah suatu kali mengatakan kepada penulis bahwa menulis itu ibarat menyebarkan "gosip". Biasanya orang pasti akan penasaran dan mencari tahu apa isinya. Artinya, bagaimana tulisan yang kita eksplorasikan itu bisa menarik perhatian orang pada kalimat pertamanya. Di sinilah kreativitas seorang penulis dibutuhkan dalam merangkai kata demi kata, sehingga membentuk suatu kalimat yang menarik dibaca.
Keuntungan menulis adalah kita dapat menghadirkan peristiwa masa lalu dan masa depan dalam kejadian masa kini. Ihwal yang tak dapat disepelekan adalah melalui kemampuan menulis, segala kekayaan budaya yang kita miliki dapat dieksplorasikan lintas ruang dan waktu.
Kreativitas dalam menulis inilah, yang perlu kita kembangkan di rumah-rumah pendidikan. Seorang pengajar tidak lagi sekadar mengajarkan materi yang biasa-biasa saja, tetapi menggali potensi setiap anak didik untuk memaksimalkan kemampuan kreatifnya. Hal tersebut dapat dilakukan, dengan mengadakan pendidikan jurnalistik di sekolah-sekolah (ekstra kurikuler).
Penulis yakin, dengan meningkatnya keprihatinan pada pendidikan jurnalistik di sekolah-sekolah sejak dini, niscaya segala kekayaan dan peninggalan sejarah di masa lalu, masa kini, dan masa depan dapat digali dan dieksplorasi secara kreatif dan menarik.***
Penulis, Alumnus Filsafat Unpar

Pendidikan Hati Nurani

Oleh NOVERIUS LAOLI

Akhir-akhir ini kita menemukan kecenderungan institusi-institusi pendidikan yang mereduksi diri menjadi semacam balai latihan “pertukangan” belaka, melahirkan tukang yang ahli namun tanpa visi; terampil namun tanpa ruh dan isi.
Ihwal tersebut semakin terang dalam proses pendidikan yang sekarang sedang digalakkan di berbagai belahan negeri ini. Di mana pendidikan menjadi sebuah ajang pembentukan kognitif semata seperti dapat lulus UN, tapi tanpa memperhatikan segi nurani dan karakter peserta didik.
Pada dasarnya pendidikan adalah aktivitas mencari dan menelusuri kebermaknaan hidup sebagai manusia secara utuh dan menyeluruh. Dalam proses pendidikan setiap individu diarahkan untuk memaknai dan menyadari kodrat hidupnya.
Di dalam kebudayaan Yunani Kuno, pendidikan dapat diilustrasikan sebagai pengolahan tanah pertanian di mana benih dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah. Di sini pendidikan dilihat sebagai usaha terpadu untuk memanusiakan manusia, membentuk karakter sehingga menghasilkan pribadi yang memiliki keutamaan. Melalui pendidikan setiap individu mampu membangun sinergi konstruktif bagi pengaktualan potensi-potensi kecerdasan dalam diri mereka. Maka salah satu tujuan pendidikan di Yunani Kuno adalah proses menumbuhkan kesadaran diri warga Negara akan seperangkat aturan dan tanggung jawabnya kepada Negara.
Pada zaman renaisans, Paus Pius II mendefinisikan pendidikan sebagai proses menanamkan kebiasaan yang terbukti baik untuk masa depan anak didik. Sehingga pada masa itu pun pendidikan lebih banyak diarahkan pada proses pembentukan keutamaan dan kebijaksanaan. Untuk membentuk pribadi yang bijaksana,  maka habitus membaca menjadi salah satu alternatif yang paling mendekati, seperti dikemukakan Toni Davies, “Membaca membuat manusia mampu berbicara, dan berbicara membuat pendapat kita dikenal dan pemikiran kita dipahami.”
Namun secara keseluruhan pendidikan harus mencakup aspek pengembangan fisik dan psikis yakni menyangkut persoalan afeksi dan psikomotorik. Ihwal tersebut semakin signifikan untuk mengembangkan seluruh aspek yang ada dalam diri manusia. Itulah sebabnya pendidikan bukan hanya soal otak dan tangan, tapi juga soal hati dan jiwa (ruh). Pendidikan harus mencakup pengembangan logos, eros, ethos, dan pathos. Artinya dalam proses pendidikan aspek intelektualitas, kreativitas, integritas dan solidaritas harus dikembangkan secara integral.
Pentingnya kebebasan hati nurani dalam proses pendidikan merupakan hak natural setiap manusia. Lewat kebebasan hati nurani setiap individu dibentuk untuk berani bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Melalui pendidikan hati nurani, setiap individu yang mengenyam pendidikan tidak hanya mengetahui kebenaran, tapi juga mampu mencintai dan melakukan kebaikan. Artinya setiap peserta didik tidak hanya menjadi orang yang terpelajar, tapi juga menjadi orang yang bijaksana. Sebab tujuan pendidikan adalah membentuk dan menyempurnakan humanitas.
Pendidikan tidak hanya perkara transfer pengetahuan dan informasi, tapi juga mendidik hati nurani hingga mampu membantu setiap pelajar mengendalikan nurani dan mengekspresikan diri secara memadai. Pendidikan harus menjadi proses humanisasi, dalam arti mengolah potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk menjadi lebih manusiawi, sehingga memampukan setiap individu membangun sikap kesadaran diri yang kritis atas apa yang terjadi dalam diri dan lingkungannya.
Idealnya pendidikan hati nurani mampu menyentuh aspek pribadi individu yakni membentuk integritas, moralitas, mentalitas dan pribadi yang berkeutamaan. Pendidikan macam ini mampu mengembangkan kepribadian seperti olah pikir, olah rasa, dan olah karsa.  Hasilnya adalah setiap individu mampu mempraktikkan nilai kebenaran (verum), keindahan (pulcrum), dan kebaikan (bonum).
Pada intinya pendidikan harusnya disampaikan melalui pendekatan humanistik yang menekankan pada proses pembelajaran, eksplorasi dan menstimulasi setiap individu untuk bertanya, mengintegrasikan aspek kognitif, afektif dan konatif. Tujuannya adalah membentuk setiap individu yang mandiri, kritis, partisipatif, prokreatif dan bertanggung jawab. Seorang individu harus mampu menyadari diri sebagai agen perubahan sehingga memiliki keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan baru.
Noverius Laoli, Alumnus Filsafat Unpar

Pendidikan Humaniora Memanusiakan Manusia

Oleh : Noverius Laoli

Persoalan mendasar dalam dunia pendidikan kita akhir-akhir ini adalah matinya visi, roh, dan isi sebuah pengajaran. Institusi-institusi pendidikan mereduksi diri menjadi semacam balai latihan “pertukangan” belaka yang gemar melahirkan tukang yang ahli namun tanpa roh.
Sebagai sebuah institusi pendidikan, sekolah/kampus adalah tempat mendidik dan mengajar, artinya sebagai wahana membuat manusia lebih manusiawi dengan membangun sinergi konstruktif bagi pengaktualan potensi-potensi kecerdasan dalam diri manusia. Namun, pada realitasnya ihwal tersebut tidak tercapai, karena manusia kini hanyalah produk mesin sejarah dan barang mainan gurita konglomerasi raksasa. Manusia direduksi sebatas pada fungsi dan kegunaannya dalam memproduksi berbagai hal yang dapat menguntungkan. Situasi ini menuntut setiap institusi pendidikan merefleksikan ulang makna dan visi pembelajaran macam apa yang seharusnya dapat diterapkan di rumah-rumah pendidikan, khususnya dalam konteks pendidikan humaniora.
Humaniora adalah ilmu-ilmu yang mampu mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi. Ilmu-ilmu ini meliputi studi agama, filsafat, seni, sejarah dan ilmu-ilmu bahasa. Ilmu ini pada awalnya lahir dari gerakan yang ditopang para sarjana (Umanisti) yang mempelajari kurikulum Studia Humanitas yang berkembang pada abad ke-15 di Eropa. Ilmu baru ini muncul dari gerakan humanisme yang adalah gerakan kultural dan intelektual abad ke-14-16 atau masa renaisans (kelahiran kembali). Yang lahir kembali adalah kebudayaan Yunani yang memberikan tempat pada kebebasan berpikir, sentralitas akan demokrasi dan kebebasan serta kemandirian individu.
Ihwal tersebut tampak dalam sistem pendidikan Yunani klasik yang bertujuan menumbuhkan kesadaran diri warga Negara akan seperangkat aturan dan tanggung jawab yang mereka emban terhadap Negara. Istilah “paidea” yang dikenal kemudian adalah bentuk pendidikan yang berupa pewarisan karakter fisik, sosial dan intelektual manusia sampai pada tataran lebih tinggi dalam kemanusiaan. Artinya pendidikan ini merupakan upaya mencapai keutamaan tertinggi dalam sebuah komunitas. Sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan pada zaman Yunani kuno adalah proses aktivitas mencari dan menelusuri kebermaknaan hidup sebagai manusia secara utuh, penuh dan menyeluruh. Pendidikan pada akhirnya membantu setiap individu untuk memaknai hidup dan menyadari kodrat hidup mereka masing-masing.  
Persoalan pendidikan
Pada intinya, pendidikan adalah usaha terpadu dalam rangka memanusiawikan manusia, lewat pembentukan karakter yang bertujuan membentuk peserta didik menjadi pribadi yang berkeutamaan, terpandang karena memiliki arĂȘte dan budaya intelektual. Namun, pada kenyataanya tendensi yang terjadi di institusi-institusi pendidikan dewasa ini adalah adanya ketidakseimbangan antara pembentukan kemampuan rasional, emosional, moral, sosial dan spiritual. Kini rumah-rumah pendidikan lebih banyak berkonsentrasi pada pemantapan akal atau rasio sementara sisi humanis dalam diri peserta didik terbaikan bahkan mati. Maka tidak heran kalau pada abad ini ada banyak ahli yang berkompeten dalam berbagai bidang, namun pada abad ini juga ada banyak kehancuran, kebiadaban, terorisme, ancaman global warming, dan kekacuan. Artinya pendidikan yang tinggi tanpa dibarengi dengan pembentukan karakater manusia secara terpadu hanyalah melahirkan manusia robot yang punya otak, tapi tak punya akhlak, moral, hati, dan budaya.
Persoalan lebih jauh adalah kurikulum pendidikan yang selama ini digunakan lebih dititikberatkan  pada sisi kognitif yang berlebihan, tanpa upaya memberi tempat pada pendidikan afektif, dan moral peserta didik. Mari kita lihat isi kurikulum yang disediakan pemerintah, hampir semuanya dijejali dengan materi-materi yang padat, bahkan menurut saya berlebihan. Semua isi materi itu harus selesai pada waktunya, sementara waktu yang terpakai untuk belajar efektif tidak sebanding dengan isi kurikulum. Yang sering terjadi adalah guru berkonsentrasi mengejar bahan, sementara siswa stress ditempa beban yang terlalu berat. 
Masalah lain dalam dunia pendidikan kita adalah kurikulum yang disediakan tidak begitu mendalam, tapi hanya sebatas kutipan-kutipan, rumus-rumus, dan nama-nama tokoh yang terlalu banyak. Semuanya hanya selintas numpang lewat, tanpa ada pendalaman yang berarti. Dengan kata lain, kurikulum yang masih digunakan saat ini memaksa siswa berhenti pada konteks menghafal, bukan berpikir.
Munculnya kebijakan Ujian Nasional (UN) semakin memperkeruh proses pendidikan. Institusi-institusi sekolah berfokus pada “bagaimana caranya supaya siswa lulus”, dengan menghalalkan segala cara. Cara berpikir pragmatis seperti ini semakin merongrong dunia pendidikan karena berakibat fatal pada masa depan pendidikan. Dengan sistem ini, yang diutamakan adalah kemampuan siswa menjawab soal, berusaha membentuk peserta didik secerdas mungkin, sementara sisi yang lain berantakan.
Pada tingkat universitas yang menjadi masalah pendidikan adalah gencarnya berbagai institusi perguruan tinggi yang menawarkan kemudahan mendapatkan pekerjaan. Peserta didik dibentuk se-instan mungkin agar dapat bekerja dan sukses mendapatkan gaji yang menjajikan, tanpa mempersoalkan apakah mereka punya karakter dan moralitas. Maka tepatlah bila dikatakan bahwa pendidikan masa kini hanya membentuk “tukang” yang hanya bisa bekerja dan bekerja tanpa roh, visi dan isi. Pendidikan semakin kehilangan makna universalnya sebagai wahana pembentukan individu semakin lebih manusiawi yang mampu mengembangkan dimensi individual dan sosialnya secara seimbang.
Pendidikan humaniora
Pada dasarnya pendidikan adalah proses humanisasi dalam arti mengolah potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk lebih manusiawi. Pendidikan seharusnya menjadi wahana proses transformasi diri dari sikap ignorant menuju kesadaran diri kritis atas apa yang terjadi dalam diri dan lingkungannya. Idealnya pendidikan mencakup pengembangan logos, eros, ethos, dan pathos, yakni proses pengembangan intelektualitas, kreativitas, integritas dan solidaritas secara integral. Dalam konteks ini, para pendidik mestinya tidak hanya memberi pengetahuan kognitif, tapi juga mendidik hati nurani para peserta didik sehingga mampu membentuk mereka mengendalikan naluri dan mengekspresikan diri secara memadai.
Idealnya pendidikan humaniora menyentuh proses pembentukan pribadi peserta didik. Ihwal tersebut mencakup pembetukan integritas, moralitas dan pribadi yang berkeutamaan. Tujuan metode ini adalah membentuk manusia menuju kesempurnaan ideal antara jiwa dan badan, budaya intelektual dan spiritualitas. Proses pendidikan yang menekankan pada pengembangan kepribadian ini mencakup proses yang lebih luas, yaitu meningkatkan olah pikir, olah rasa, dan olah karsa. Dengan harapan peserta didik mampu mempraktikkan nilai-nilai kehidupan yang meliputi nilai kebenaran (verum), keindahan (pulcrum) dan kebaikan (bonum).
Pendidikan humaniora juga menciptakan pendidikan yang memampukan peserta didik  mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan penerapan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan tadi. Artinya sistem pendidikan ini akhirnya menitikberatkan pada pola pendidikan yang berpusat pada peserta didik. Pendidikan yang membantu manusia menjadi individu yang mandiri, otonom, kritis dan partisipatif. Peserta didik tidak lagi sepenuhnya tergantung pada guru, melainkan menjadi mitra yang sederajat dan saling menghormati otonomi, martabat, dan integritas masing-masing.
Metode sistem pendidikan humaniora memberi penekanan pada pendekatan humanistik yang lebih mengutamakan proses pembelajaran, eksplorasi dan menstimulasi peserta didik untuk bertanya, mengintegrasikan aspek kognitif, afektif dan konatif dalam proses pembelajaran. Dalam konteks yang lebih besar, sistem pendidikan humaniora adalah pembelajaran nilai-nilai yang menekankan pada dimensi eksperiensial yang mencakup proses: learning by doing, learning by experiencing, learning by living in, learning by exploring dan learning by problem solving (Bambang Sugiharto (ed), Humanisme dan Humaniora, 2008, hal. 358).
Dengan metode ini (meminjam istilah Bambang Sugiharto), maka peranan pendidikan humaniora dalam dunia pembelajaran adalah memampukan setiap individu menjadi agen perubahan yang memiliki kesadaran dan keutamaan nilai-nilai. Artinya peserta didik mampu menyadari bahwa dirinyalah pusat dan pelaku utama. Di sisi lain, peserta didik dibantu untuk menyadari kehadiran pihak lain  (liyan) sebagai sarana yang membuatnya menjadi lebih baik, lewat interaksi dan kehadiran mereka. Peserta didik juga mampu melihat alternatif-alternatif baru untuk membaharui pemikiran secara terus menerus (learning to learn) dan menyadari adanya kemungkinan baru untuk berpikir, merasa dan berhubungan dengan pihak lain.
Proses pendidikan ini membuat individu sampai pada kesadaran dan kemampuan mengelolah kultur sendiri sebagai salah satu alternatif pembelajaran. Kesadaran tersebut hanya mungkin terealisasikan bila peserta didik memiliki budaya membaca dan menulis yang tinggi. Lewat etos baca-tulis individu semakin mampu mengasah kemampuan untuk bernalar panjang secara analitis dan mandiri, menyentuh kedalaman inti persoalan dan membentuk individu yang matang.
Pada akhirnya pendidikan bukan hanya transfer keterampilan teknis, melainkan soal pembentukan kreativitas, otonomi, dan partisipasi peserta didik dalam membaca dan memahami kehidupan.  
Noverius Laoli, Alumnus Filsafat Unpar

Mengubah Citra Museum

Oleh Noverius Laoli
Selain berfungsi sebagai perpustakaan dan tempat penyimpanan bukti-bukti otentik catatan sejarah kebudayaan, museum seharusnya juga mampu menjadi tempat hiburan edukatif bagi masyarakat.
Itulah sebabnya, museum yang tersebar di Bandung butuh merenovasi diri. Museum harus kreatif menampilkan wajah masa lalu dengan cara masa kini. Jadi, tempat yang menyimpan segudang koleksi perihal informasi seputar sejarah masa silam itu tidak terkesan asing dan jauh dari perhatian masyarakat luas.
Tidak cukup museum hanya dijadikan tempat mengoleksi, mengonservasi, meriset, dan memberikan informasi seputar masa lalu. Museum justru seharusnya menjadi tempat alternatif bagi masyarakat untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Kemungkinan baru itu baik dalam ihwal pengetahuan, seperti ruang penelitian dan pendidikan, maupun sebagai tempat inspiratif bagi generasi sekarang untuk melihat masa lalu sebagai instrumen petualangan memasuki lorong-lorong peradaban.
Namun, yang kerap menjadi persoalan beberapa museum di Indonesia, khususnya Kota Bandung, adalah masalah laten berupa minimnya biaya perawatan. Akhirnya, museum itu tak pernah mampu memperbarui diri dan menampilkan sesuatu yang dapat menarik perhatian dan minat masyarakat luas. Padahal, museum menyimpan berlimpah pengetahuan yang masih mentah dan butuh segera dikelola agar bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pusat kebudayaan
Sebenarnya museum adalah harta karun yang tak ternilai. Museum Sri Baduga, misalnya, yang memiliki koleksi naskah kuno terbanyak, seperti Cacarakan (Haracaraka-Jawa), Jawa kuno, Pegon (Arab Sunda), dan Sunda kuno. Naskah itu berisi ajaran sastra, agama, pedoman hidup, kesehatan, adat istiadat, dan silsilah (Kompas, 23/8). Namun, pengetahuan yang tersimpan dalam naskah-naskah kuno itu tidak bisa kita miliki karena minimnya penerjemah naskah kuno.
Meskipun ada rencana memberikan beasiswa bagi staf museum untuk belajar museologi di Universitas Padjadjaran, itu tidak cukup memadai. Kalau naskah-naskah itu sudah diterjemahkan, belum tentu banyak orang berminat mengetahui, apalagi menelitinya. Yang kita butuhkan, selain penerjemah naskah kuno, adalah kreativitas dalam mengelola museum sehingga menjadi pusat kebudayaan bagi masyarakat.
Artinya, bagaimana museum mampu mengundang keingintahuan warga. Salah satu solusinya adalah memodifikasi citra dan bentuk museum sesuai dengan kebutuhan zaman, dengan kata lain bisa memenuhi selera masyarakat zaman kiwari. Para pengelola dan pemerhati museum harus mampu menciptakan ruang bagi pengunjung untuk beraktivitas secara interaktif dan atraktif sehingga menimbulkan ikatan emosi antara museum dan masyarakat.
Museum sebaiknya memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat dan menjawab apa yang menjadi keprihatinan mereka. Masyarakat tidak lagi harus menyesuaikan diri dengan museum, tetapi museumlah yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Di sini museum harus mengikuti perkembangan zaman dan selalu mereformasi diri sehingga tidak ketinggalan zaman.
Meskipun menjadi tempat mengoleksi barang-barang kuno, museum harus bisa mengekspos kekunoan tersebut dengan metode kekinian. Perlu diingat bahwa benda-benda sejarah itu adalah milik zamannya dan tentu ditulis atau ada sesuai dengan kebutuhan zamannya. Oleh karena itu, ketika diekspos pada zaman sekarang, benda-benda sejarah itu seharusnya dapat dieksplorasi secara kreatif sehingga sesuai dengan pola pikir zaman sekarang. Namun, esensi yang dibawanya tidak boleh dihilangkan.
Melalui cara tersebut museum akan tampak memiliki roh yang dengan sendirinya mampu menyampaikan pesan tertentu kepada setiap pengunjung.
Ruang publik
Keberadaan beberapa museum di Bandung merupakan aset berharga bagi kota ini sebagai salah satu pusat pendidikan, pariwisata, dan kebudayaan. Di Bandung ada banyak komunitas kreatif yang kredibel untuk memodifikasi wajah museum sehingga tampak lebih menarik dan sesuai dengan gaya hidup masyarakat di sekitarnya.
Museum dapat diubah menjadi wahana pendidikan sekaligus tempat hiburan yang dapat menampilkan nilai-nilai edukasi kepada pengunjungnya. Dengan demikian, museum dapat menjadi ruang publik yang menampilkan sesuatu yang berbeda dari tempat-tempat hiburan lain.
Menurut saya, sangat menarik bila di sekitar museum dibangun beberapa kafe kecil yang dapat menjadi tempat nongkrong dan diskusi. Di sana juga bisa diadakan lokakarya atau seminar untuk membahas materi beberapa koleksi museum. Hasil diskusi tersebut dapat dipublikasikan di media massa atau jurnal khusus seputar museum dengan beberapa catatan penting yang butuh penelitian lebih mendalam.
Semua pengunjung museum, baik wisatawan maupun kalangan akademis, diberi kesempatan yang sama untuk mengikuti kegiatan tersebut. Bila perlu, didatangkan ahli dari beberapa universitas di Bandung untuk memimpin diskusi-diskusi itu. Lalu, dibuat jadwal rutin sehingga setiap orang dapat menyempatkan diri terlibat.
Pihak museum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mempromosikan museum sekaligus menggalang dana dari masyarakat. Hal itu bisa dilakukan dengan menyediakan sertifikat dan meminta biaya administrasi untuk melestarikan museum.
Melalui kreativitas dan upaya memanfaatkan segala kekayaan yang ada, niscaya museum mampu menjadi salah satu tempat alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus hiburan.
NOVERIUS LAOLI Alumnus Filsafat Universitas Katolik Parahyangan

Catatan: pernah terbit di KOMPAS

Episentrum Lifestyle

Oleh NOVERIUS LAOLI

Berbicara soal lifestyle (gaya hidup), Bandung-lah episentrumnya. Bandung menjadi wahana produktivitas dan agresivitas dalam hal gaya hidup di Indonesia. Grup-grup musik terkemuka, metal, dan grup band satanik paling banyak di kota ini. Arum jeram, gokar, clothing, dan punk dimulai dari kota sejarah ini. Bisa dikatakan bahwa Bandung semacam parameter atau lebih tepatnya barometer untuk kehidupan fashion di Indonesia.

Fashion di Bandung ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kelompok konsumtif. Mereka ini betul-betul menyadap apa pun komoditas baru, bait gadget (alat teknologi), telepon seluler, komputer/laptop, maupun yang lainnya. Apa pun teknologi yang paling mutakhir selalu diburu kelompok ini.

Kedua, kelompok produktif. Mereka adalah orang-orang yang menjalin hubungan dengan berbagai macam cara, melalui internet, kelab malam, karaoke, kelompok studi, musik, dan sejenisnya. Dalam hal ini, Bandung sangat kuat. Bandung-lah yang paling agresif dalam soal produktivitas di Indonesia.

Pada era 1960-an, Bandung telah menjadi pencetus mode mutakhir, bukan Jakarta. Grup-grup musik lahir paling banyak di Bandung. Bersama dengan itu, gaya hidup di Bandung ikut berkembang. Kelompok pencinta alam yang paling terkenal ada di Bandung, Wanadri, misalnya. Mereka ini sangat profesional, selektif, dan paling top.

Bandung dalam hal ini konsumtif sekaligus produktif. Orang-orang yang kreatif luar biasa paling banyak kita temukan di Kota Kembang ini. Mereka mampu menciptakan dan mengutak-atik barang-barang elektronik. Mereka membuat perangkat lunak komputer dan menciptakan program-progam komputer baru. Mereka juga merombak segala alat-alat teknologi canggih, merakit, mencipta ulang, dan kemudian menjualnya.

Kelompok-kelompok ini tidak hanya menciptakan grup-grup sendiri, tetapi juga pada akhirnya mereka berbisnis dan menciptakan alat-alat untuk pencinta alam, seperti peralatan kemah dan sepatu gunung. Maka, di mana pun, bila mau mencari peralatan pencinta alam yang paling lengkap, Bandung adalah pusatnya. Jadi, segala alat yang rumit-rumit diciptakan di sini.

Produktif-konsumtif

Kota Bandung, dari sudut ini, tetaplah episentrum dan mengagumkan. Bandung tidak hanya konsumtif, tetapi juga produktif. Kafe-kafe paling banyak bermunculan di sini, dan hal ini didukung juga dengan adanya sekolah perhotelan. Kelompok-kelompok kreatif tersebut bisa bekerja di tempat-tempat seperti ini. Di Bandung mereka menciptakan kafe sendiri, bahkan memiliki cabang sampai taraf internasional. Yang menarik di sini adalah kelompok-kelompok tersebut produktif dan menciptakan sendiri apa pun yang mereka anggap penting.

Produktivitas dan agresivitas inilah yang menjadikan Bandung progresif, sekaligus kosmopolitan. Aneka gaya hidup di seluruh dunia dapat ditemukan di sini. Beraneka kuliner ada semua di sini. Kebab turki dan kebab meksiko menjamur di Bandung. Dapat dikatakan bahwa segala jenis makanan ada di Bandung.

Jika melihat hubungan fashion dari segi kebudayaan, Bandung agak unik dan menarik. Gaya hidup Jawa Barat atau Bandung, khususnya, dalam masalah kultur, dalam arti gaya hidup, luar biasa terbuka. Akan tetapi, kalau kebudayaan dalam arti worldview, ada keterpecahan, seperti di berbagai daerah lainnya juga.

Di satu pihak, worldview dalam bidang agama tetap mempertahankan keasliannya. Pada kelompok masyarakat menengah ke atas, dalam soal worldview, ada keterbukaan dalam hal sains dan pengetahuan sosial. Banyak kelompok kecil menjamur, khususnya toko-toko buku, seperti Nalar di Jatinangor, Omuniuum, Reading Lights, dan Rumah Kita.

Kelompok alternatif

Di Tanah Parahyangan ini, kita dapat menemukan banyak kelompok yang mengombinasikan gaya hidup dan intelektualitas. Dalam kantong-kantong ini, mereka sangat terbuka dalam hal itu, bahkan sangat agresif. Yang menarik akhir-akhir ini dalam masalah fashion adalah munculnya kelompok-kelompok alternatif.

Mereka ini, misalnya, pembuat film independen dan musik-musik hardcore yang mulai menggurita. Ada tren untuk mengkaitkan secara erat intelektualitas dengan modernitas. Kelompok-kelompok ini, misalnya, sering menulis buku perihal gaya hidup, musik, novel, cerpen, dan segala ihwal yang mereka rasa perlu.

Dalam kaitan itu, di tataran Sunda ini gaya hidup bukan hanya sebagai kultur, melainkan juga akses memasuki modernitas intelektual. Dalam beberapa kantong film, buku, dan musik, mereka memperlihatkan dunia intelektual literer, dan memproduksi buku atau membangun toko buku. Gaya hidup seperti ini banyak di Bandung. Mereka mengombinasikan dunia gaya hidup, budaya, dan intelektualitas untuk memasuki modernitas. Hasil tersebut original, bukan bajakan dan sebagainya.

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa gaya hidup di Bandung menjadi akses memasuki peradaban global modern yang lebih kreatif dan produktif, dan sebagai upaya untuk terlibat dalam wacana dunia yang semakin mengglobal.

NOVERIUS LAOLI Alumnus Filsafat Universitas Katolik Parahyangan

Catatan: pernah terbit di KOMPAS