Rabu, 25 Januari 2012

Aroma Warung Tinggi Makin Mewangi

Warung Tinggi Coffe tetap, bertahan, meski kedai kopi modern bermunculan. Bahkan kini Warung Tinggi juga sudah menjadi eksportir produk kopi ke sejumlah negara. Apa resepnya bisa bertahan? Coffee lovers tentu sudah mengenal kedai Warung Tinggi Coffee. Warung kopi yang berlokasi di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat ini legendaris. Warung ini tetap mampu bertalian hingga kini sudah di tangan generasi kelima. Selain tercatat kedai kopi, Warung

Tinggi juga memiliki pabrik pengolahan kopi sendiri, lo. Bukan perkara gampang nun ipertahankan usaha hingga ratusan tahun. Menurut Rudy Widjaja, pemilik PT Warung Tinggi Coffe, resepnya sebetulnya sederhana saja, yakni menjaga kualitas dan berinovasi menciptakan produk kopi baru.

Demi menjaga kualitas, Warung Tingggi juga tidak pernah membuka cabang kedai kopi. "Saya takut turun kualitasnya," kata pria berusia 70 tahun itu.Produk kopi Warung Tinggi pun dibuat sangat serius. Di pabrik seluas 1.500 meter persegi di kawasan Tangerang, Rudy memantau proses produksi kopinya saban hari. Ia mengecek sendiri, mulai dari hasil gorengan, rasa, kadar kafein serta aroma kopinya "Kalau tidak sesuai dengan standar, saya suruh diganti dan diulangi lagi,"tuturnya

Sebenarnya, ia bisa saja memproduksi lebih banyak byi kopi. Namun itu tidak dilakukannya lantaran Rudy menginginkan kopi berkualitas tinggi. Ia juga hanyaSampai saat iniprosespengecekanproduksi biji kopimasih di tanganRudy.memproduksi kopi sesuai pesanan. Saban bulan, pabrik Warung Tinggi hanya bisa menghasilkan 100 ton kopi.

Soal bahan baku, Rudy juga selektif. "Saya punya lebih dari 100 jenis kopi berbeda," ujarnya.Untuk mendapatkan kopi berkualitas tinggi, biji kopiyang sudah mengalami seleksi dari berbagai daerah itu disimpan dalam gudang. "Saya selalu menabung byi kopi sebanyak 100 ton," kata dia. Kopi tersebut lalu disimpan antara 5 tahun sampai 6 tahun agar harum kopi terjaga.

Lewat proses pembuatan yang prima itu, produk kopi Waning Tinggi pun bisa bertahan. Bahkan, sejak 2010, kopi merek Warung Tinggi telah diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat (AS). Sekarang, mereka sedang menjajah pasar ekspor di Korea Selatan. "Kami bisa mengekspor 20 ton kopi per bulan," imbuh Angelica Widjaja, anak Rudy Widjaja Angelica merupakan generasi kelima yang meneruskan bisnis ayahnya

Angelica bilang, pasar ekspor merupakan cara Warung Tinggi mengembangkan usaha. Di dalam negeri, perusahaan ini juga melebar-kan pejualan produknya dengan menggandeng Indomart dan Alfamart.Kini, Rudy sudah berancang-ancang agar kedai kopinya lebih ramai lagi. Ia berniat menyulap kedainya sekarang menjadi kafe kopi yang lebih modem. "Ini salah satu cara membesarkan bisnis," ungkapnyaDengan cara itu, Rudy berharap, usaha Warung Tinggi Coffe yang telah dirintis sejak 1878 itu bisa tetap bertahan.

Sumber : Harian Kontan
Noverius Laoli

Minggu, 15 Januari 2012

Sepotong Senja Untuk Pacarku

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993

Seno Gumira Ajidarma


http://duniasukab.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/

AN OLD LEGEND CURRENT IN THE VOLGA DISTRICT

(1886)

'And in praying use not vain repetitions, as the Gentiles do: for they think that they shall be heard for their much speaking. Be not therefore like unto them: for your Father knoweth what things ye have need of, before ye ask Him.' -- Matt. vi. 7, 8.


A BISHOP was sailing from Archangel to the Solovétsk Monastery; and on the same vessel were a number of pilgrims on their way to visit the shrines at that place. The voyage was a smooth one. The wind favourable, and the weather fair. The pilgrims lay on deck, eating, or sat in groups talking to one another. The Bishop, too, came on deck, and as he was pacing up and down, he noticed a group of men standing near the prow and listening to a fisherman who was pointing to the sea and telling them something. The Bishop stopped, and looked in the direction in which the man was pointing. He could see nothing however, but the sea glistening in the sunshine. He drew nearer to listen, but when the man saw him, he took off his cap and was silent. The rest of the people also took off their caps, and bowed.

'Do not let me disturb you, friends,' said the Bishop. 'I came to hear what this good man was saying.'

'The fisherman was telling us about the hermits,' replied one, a tradesman, rather bolder than the rest.

'What hermits?' asked the Bishop, going to the side of the vessel and seating himself on a box. 'Tell me about them. I should like to hear. What were you pointing at?'

'Why, that little island you can just see over there,' answered the man, pointing to a spot ahead and a little to the right. 'That is the island where the hermits live for the salvation of their souls.'

'Where is the island?' asked the Bishop. 'I see nothing.'

'There, in the distance, if you will please look along my hand. Do you see that little cloud? Below it and a bit to the left, there is just a faint streak. That is the island.'

The Bishop looked carefully, but his unaccustomed eyes could make out nothing but the water shimmering in the sun.

'I cannot see it,' he said. 'But who are the hermits that live there?'

'They are holy men,' answered the fisherman. 'I had long heard tell of them, but never chanced to see them myself till the year before last.'

And the fisherman related how once, when he was out fishing, he had been stranded at night upon that island, not knowing where he was. In the morning, as he wandered about the island, he came across an earth hut, and met an old man standing near it. Presently two others came out, and after having fed him, and dried his things, they helped him mend his boat.

'And what are they like?' asked the Bishop.

'One is a small man and his back is bent. He wears a priest's cassock and is very old; he must be more than a hundred, I should say. He is so old that the white of his beard is taking a greenish tinge, but he is always smiling, and his face is as bright as an angel's from heaven. The second is taller, but he also is very old. He wears tattered, peasant coat. His beard is broad, and of a yellowish grey colour. He is a strong man. Before I had time to help him, he turned my boat over as if it were only a pail. He too, is kindly and cheerful. The third is tall, and has a beard as white as snow and reaching to his knees. He is stern, with over-hanging eyebrows; and he wears nothing but a mat tied round his waist.'

'And did they speak to you?' asked the Bishop.

'For the most part they did everything in silence and spoke but little even to one another. One of them would just give a glance, and the others would understand him. I asked the tallest whether they had lived there long. He frowned, and muttered something as if he were angry; but the oldest one took his hand and smiled, and then the tall one was quiet. The oldest one only said: "Have mercy upon us," and smiled.'

While the fisherman was talking, the ship had drawn nearer to the island.

'There, now you can see it plainly, if your Grace will please to look,' said the tradesman, pointing with his hand.

The Bishop looked, and now he really saw a dark streak -- which was the island. Having looked at it a while, he left the prow of the vessel, and going to the stern, asked the helmsman:

'What island is that?'

'That one,' replied the man, 'has no name. There are many such in this sea.'

'Is it true that there are hermits who live there for the salvation of their souls?'

'So it is said, your Grace, but I don't know if it's true. Fishermen say they have seen them; but of course they may only be spinning yarns.'

'I should like to land on the island and see these men,' said the Bishop. 'How could I manage it?'

'The ship cannot get close to the island,' replied the helmsman, 'but you might be rowed there in a boat. You had better speak to the captain.'

The captain was sent for and came.

'I should like to see these hermits,' said the Bishop. 'Could I not be rowed ashore?'

The captain tried to dissuade him.

'Of course it could be done,' said he, 'but we should lose much time. And if I might venture to say so to your Grace, the old men are not worth your pains. I have heard say that they are foolish old fellows, who understand nothing, and never speak a word, any more than the fish in the sea.'

'I wish to see them,' said the Bishop, 'and I will pay you for your trouble and loss of time. Please let me have a boat.'

There was no help for it; so the order was given. The sailors trimmed the sails, the steersman put up the helm, and the ship's course was set for the island. A chair was placed at the prow for the Bishop, and he sat there, looking ahead. The passengers all collected at the prow, and gazed at the island. Those who had the sharpest eyes could presently make out the rocks on it, and then a mud hut was seen. At last one man saw the hermits themselves. The captain brought a telescope and, after looking through it, handed it to the Bishop.

'It's right enough. There are three men standing on the shore. There, a little to the right of that big rock.'

The Bishop took the telescope, got it into position, and he saw the three men: a tall one, a shorter one, and one very small and bent, standing on the shore and holding each other by the hand.

The captain turned to the Bishop.

'The vessel can get no nearer in than this, your Grace. If you wish to go ashore, we must ask you to go in the boat, while we anchor here.'

The cable was quickly let out, the anchor cast, and the sails furled. There was a jerk, and the vessel shook. Then a boat having been lowered, the oarsmen jumped in, and the Bishop descended the ladder and took his seat. The men pulled at their oars, and the boat moved rapidly towards the island. When they came within a stone's throw they saw three old men: a tall one with only a mat tied round his waist: a shorter one in a tattered peasant coat, and a very old one bent with age and wearing an old cassock -- all three standing hand in hand.

The oarsmen pulled in to the shore, and held on with the boathook while the Bishop got out.

The old men bowed to him, and he gave them his benediction, at which they bowed still lower. Then the Bishop began to speak to them.

'I have heard,' he said, 'that you, godly men, live here saving your own souls, and praying to our Lord Christ for your fellow men. I, an unworthy servant of Christ, am called, by God's mercy, to keep and teach His flock. I wished to see you, servants of God, and to do what I can to teach you, also.'

The old men looked at each other smiling, but remained silent.

'Tell me,' said the Bishop, 'what you are doing to save your souls, and how you serve God on this island.'

The second hermit sighed, and looked at the oldest, the very ancient one. The latter smiled, and said:

'We do not know how to serve God. We only serve and support ourselves, servant of God.'

'But how do you pray to God?' asked the Bishop.

'We pray in this way,' replied the hermit. 'Three are ye, three are we, have mercy upon us.'

And when the old man said this, all three raised their eyes to heaven, and repeated:

'Three are ye, three are we, have mercy upon us!'

The Bishop smiled.

'You have evidently heard something about the Holy Trinity,' said he. 'But you do not pray aright. You have won my affection, godly men. I see you wish to please the Lord, but you do not know how to serve Him. That is not the way to pray; but listen to me, and I will teach you. I will teach you, not a way of my own, but the way in which God in the Holy Scriptures has commanded all men to pray to Him.'

And the Bishop began explaining to the hermits how God had revealed Himself to men; telling them of God the Father, and God the Son, and God the Holy Ghost.

'God the Son came down on earth,' said he, 'to save men, and this is how He taught us all to pray. Listen and repeat after me: "Our Father."'

And the first old man repeated after him, 'Our Father,' and the second said, 'Our Father,' and the third said, 'Our Father.'

'Which art in heaven,' continued the Bishop.

The first hermit repeated, 'Which art in heaven,' but the second blundered over the words, and the tall hermit could not say them properly. His hair had grown over his mouth so that he could not speak plainly. The very old hermit, having no teeth, also mumbled indistinctly.

The Bishop repeated the words again, and the old men repeated them after him. The Bishop sat down on a stone, and the old men stood before him, watching his mouth, and repeating the words as he uttered them. And all day long the Bishop laboured, saying a word twenty, thirty, a hundred times over, and the old men repeated it after him. They blundered, and he corrected them, and made them begin again.

The Bishop did not leave off till he had taught them the whole of the Lord's prayer so that they could not only repeat it after him, but could say it by themselves. The middle one was the first to know it, and to repeat the whole of it alone. The Bishop made him say it again and again, and at last the others could say it too.

It was getting dark, and the moon was appearing over the water, before the Bishop rose to return to the vessel. When he took leave of the old men, they all bowed down to the ground before him. He raised them, and kissed each of them, telling them to pray as he had taught them. Then he got into the boat and returned to the ship.

And as he sat in the boat and was rowed to the ship he could hear the three voices of the hermits loudly repeating the Lord's prayer. As the boat drew near the vessel their voices could no longer be heard, but they could still be seen in the moonlight, standing as he had left them on the shore, the shortest in the middle, the tallest on the right, the middle one on the left. As soon as the Bishop had reached the vessel and got on board, the anchor was weighed and the sails unfurled. The wind filled them, and the ship sailed away, and the Bishop took a seat in the stern and watched the island they had left. For a time he could still see the hermits, but presently they disappeared from sight, though the island was still visible. At last it too vanished, and only the sea was to be seen, rippling in the moonlight.

The pilgrims lay down to sleep, and all was quiet on deck. The Bishop did not wish to sleep, but sat alone at the stern, gazing at the sea where the island was no longer visible, and thinking of the good old men. He thought how pleased they had been to learn the Lord's prayer; and he thanked God for having sent him to teach and help such godly men.

So the Bishop sat, thinking, and gazing at the sea where the island had disappeared. And the moonlight flickered before his eyes, sparkling, now here, now there, upon the waves. Suddenly he saw something white and shining, on the bright path which the moon cast across the sea. Was it a seagull, or the little gleaming sail of some small boat? The Bishop fixed his eyes on it, wondering.

'It must be a boat sailing after us,' thought he 'but it is overtaking us very rapidly. It was far, far away a minute ago, but now it is much nearer. It cannot be a boat, for I can see no sail; but whatever it may be, it is following us, and catching us up.'

And he could not make out what it was. Not a boat, nor a bird, nor a fish! It was too large for a man, and besides a man could not be out there in the midst of the sea. The Bishop rose, and said to the helmsman:

'Look there, what is that, my friend? What is it?' the Bishop repeated, though he could now see plainly what it was -- the three hermits running upon the water, all gleaming white, their grey beards shining, and approaching the ship as quickly as though it were not morning.

The steersman looked and let go the helm in terror.

'Oh Lord! The hermits are running after us on the water as though it were dry land!'

The passengers hearing him, jumped up, and crowded to the stern. They saw the hermits coming along hand in hand, and the two outer ones beckoning the ship to stop. All three were gliding along upon the water without moving their feet. Before the ship could be stopped, the hermits had reached it, and raising their heads, all three as with one voice, began to say:

'We have forgotten your teaching, servant of God. As long as we kept repeating it we remembered, but when we stopped saying it for a time, a word dropped out, and now it has all gone to pieces. We can remember nothing of it. Teach us again.'

The Bishop crossed himself, and leaning over the ship's side, said:

'Your own prayer will reach the Lord, men of God. It is not for me to teach you. Pray for us sinners.

And the Bishop bowed low before the old men; and they turned and went back across the sea. And a light shone until daybreak on the spot where they were lost to sight.

 by:  Leo Tolstoy

http://www.online-literature.com/tolstoy/2896/

Gerimis Senja di Praha

Senja Agustus memerah di kaki bukit Petrin, Mala Strana. Langit mengencingi Praha tak habis-habis. Gerimis turun sejak siang dan tak juga membesar. Sungai Vltava baru saja mulai tenang setelah marah meletup-letup selama setengah pekan lalu. Dua hari lalu, airnya naik hingga sembilan meter. Jembatan Charles nyaris terendam. Kemarahan Vltava nyaris saja menenggelamkan Praha.

Kau ada di situ. Begitu saja. Berpayung jingga. Berdiri mematung. Matamu terlihat menerawang. Bajumu putih, sedikit berenda. Kalau saja matahari sedang berbaik hati pada Praha, rok tipismu tentu menerawang pula. Kau seperti berjejer dengan patung-patung monumen itu. Menjadi bagiannya yang paling menarik.

Monumen karya Olbram Zoubek itu sederhana belaka. Terdiri dari tujuh anak tangga dengan tujuh sosok di atasnya. Ketujuhnya terlihat sedang melangkah naik. Sosok yang berdiri di anak tangga terbawah adalah seorang lelaki dengan tubuh yang lengkap. Tapi semakin tinggi anak tangga, semakin tak lengkap bagian tubuhnya. Akhirnya, di anak tangga teratas, berdiri sosok yang sudah kehilangan begitu banyak anggota tubuhnya sehingga nyaris tak lagi berbentuk manusia.

Monumen ini adalah salah satu dari sekian banyak monumen yang dibangun di Republik Ceko setelah komunisme mati. Bagiku, pesan yang disampaikannya tegas-terang-benderang. Komunisme menawarkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya adalah parade prosesi kematian kemanusiaan.

Sepekan menyusuri Praha cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja lewat, beroleh tempat penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada.

Jakarta adalah lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-patung pahlawan palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Praha dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa.

Kau tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang sempit ini, jarak kita, mau tak mau, dekat belaka.

”Kau pasti dari Asia. Filipina?” Suara empukmu menyengatku tiba-tiba.

”Eh…. Ya. Asia. Indonesia.”

”Mengherankan juga. Ada turis yang suka monumen jelek ini.” Batas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau.

”Memang jelek secara artistik dan arsitektural. Tapi aku suka pesan yang dibawanya. Ajakan waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa.”

”Hmmm….”

”Kenapa kau bilang ini monumen jelek?”

”Lihatlah tujuh sosok itu. Semua laki-laki. Padahal, lebih banyak perempuan yang jadi korban komunisme. Bahkan, perempuan adalah korban berlapis-lapis. Korban partai, negara, dan laki-laki. Dan si pematung tetap saja seperti laki-laki umumnya. Memandang perempuan hanya sebagai pelengkap. Statistik. Bukan manusia.”

”Wow! Kau punya sinisme para feminis!”

”No. No. No. Tanpa menjadi feminis, perempuan mana pun, bahkan laki-laki, dengan gampang bisa menangkap kejanggalan itu.”

”Sekarang giliranku yang mesti heran kalau begitu. Kenapa kau tampak menikmati monumen yang kau bilang jelek ini?” Aku menyergah, mengubah posisi.

”Sederhana. Di musim panas seperti ini, Praha diserbu turis. Mereka ada di mana-mana, kecuali di sedikit tempat yang tak populer dan dilirik sebelah mata seperti monumen ini. Jadi, jangan keliru. Aku tak sedang menikmati monumen jelek ini. Aku butuh senyap.”

Senyap menyergap senja Praha. Gerimis mulai mereda. Langit merah di balik Bukit Petrin memanggil-manggil malam.

***

Perjumpaan kedua kita adalah pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak berkawan. Udara musim panas Praha pun sedikit mendingin.

”Boleh aku merapat ke tubuhmu?”

Permintaanmu tiba-tiba. Dan mustahil kutolak. Kios-kios souvenir terserak di Stare Mesto. Berderet-deret sepanjang Smetanovo Nabi hingga ke kaki jembatan Charles. Berdempetan. Kita berjalan saling merengkuh. Mengusir dingin. Seperti sepasang kekasih. Gerimis yang tak juga reda menyemai rambut panjang kita menjadi masai.

”Aku ingin bunuh diri.” Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga.

”Hah!? Maksudmu?”

”Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu?

”No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi….”

”Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri….”

”Bagiku tak masuk akal.”

”Maksudmu?”

”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. Ceko-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.”

”Oh… Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir kematian komunisme adalah berita baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para penikmat sekaligus korban. Celakanya, aku menjadi yang kedua.”

”OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar.”

”Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Seperti tadi kau bilang, malam ini kamu mesti packing kan? Keberatan kutemani dengan cerita panjangku?”

”No. Sama sekali tak keberatan.” Tentu aku menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja ini?

***

Di luar, para pelancong hiruk-pikuk lalu lalang. Suara-suara beragam bahasa dunia menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang kita biarkan lebar terbuka. Seperti suara ribuan lebah yang pandai berganti dendang.

Ceritamu panjang. Lirih. Dan kelabu.

”Aku anak kesembilan. Bungsu. Di bawah kekuasaan komunis, hidup menjadi begitu rutin. Ayah dan Ibuku menjadikan kegiatan membuat anak sebagai selingan menantang. Anak demi anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret seperti pagar.

Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. Di bawah komunisme, orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara.

Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian Komunisme dijatuhkan oleh Revolusi Beludru dan keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Demokrasi memaksa kami untuk berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik.”

Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan.

Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut mendekat.

”Ibuku yang terlampau tua di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai pramuniaga di sebuah kios di Kota Tua. Ayahku terkena rasionalisasi, dipecat dari sebuah lembaga birokrasi yang kelebihan pegawai, tanpa dipensiunkan. Kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli satu sama lain.

Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan sampai sebuah tawaran yang begitu manis datang begitu saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku menjadi pramusaji pada sebuah restoran besar di Berlin. Kusambut tawaran itu dengan tangan terbuka sambil bersyukur betapa Tuhan telah begitu baik padaku.”

Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Aku merapat begitu saja. Kau menjatuhkan bahumu ke dadaku. Lalu suaramu menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba.

”Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah tempat prostitusi di timur Berlin. Garis nasib yang kelam mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas tempat tidur sambil mendengar pintu ditutup dan suara sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet.

Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa.”

Air matamu membasahi bahuku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing.

”Untunglah aku akhirnya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu. Kabur dari Berlin, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, karena aku tak punya pilihan lain. Hingga sampailah aku di titik ini. Ketika sungai Vltava mengamuk tempo hari, keinginanku untuk mengakhiri hidup menderas begitu saja seperti air sungai yang sedang murka.

Ya… aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras, tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini….”

Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri cerita panjangmu. Dalam pelukanku yang merapat, semua bagian badanmu terasa bergetar. Seperti mesin pengeras jalan yang dengan lembut menekan-nekan dadaku. Lembut sekali. Melahirkan rasa yang asing dan nyaris tak kukenali.

Malam makin larut dalam sunyi. Lalu semua terjadi begitu saja. Kau tak lagi kupeluk, tapi kita saling memeluk. Dan pada dini hari pengujung musim panas itu, kita tergeletak kelelahan begitu saja seusai perjalanan saling bertaut penuh gelegak yang menguras keringat.

***

Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Praha tersapu terlalu banyak kelabu. Birunya seperti malu-malu. Enggan memperlihatkan diri.

Kau mematung menopang dua matamu yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Baru saja kita menunaikan pelukan selamat tinggal. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu….

”Terima kasih banyak Lusi. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku sanggup berbagi dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis di Berlin. Kembalilah, Lusi. Aku akan menunggu. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta padamu.”

Suaramu parau. Aku hanya bisa mengeratkan pelukan dan mengusap-usap lembut punggungmu. ”Aku akan segera menghubungimu, Elena. Sesampai di Jakarta.”

Berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Jakarta seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu seperti makin keras memanggil-manggil.

Diam-diam, kupastikan untuk segera kembali. Diam-diam, aku terganggu perasaan serupa Elena. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta.

Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat. Dan telepon genggamku bergetar.

”Mama, kami tak bisa tidur. Tak sabar menunggumu pulang. Aku dan anak-anak akan menjemputmu di Cengkareng.” Suara sengau milik suamiku terdengar dari tengah malam Jakarta. Keriangannya tak bisa disembunyikan.

Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap. Di belakangku, terhalang berlapis-lapis dinding, di bawah gerimis senja Praha seorang perempuan Ceko sedang menangisi kepergianku. Nun di depanku, dipeluk malam Jakarta, seorang lelaki mendekap rindunya yang meluap untukku.

Bintaro, 2011

Eep Saefulloh Fatah

Sumber kompas 15 Januari 2012

Jumat, 13 Januari 2012

Awas Penipuan Lewat tokobagus.com

Pada Kamis 5 Januari 2012 saya membuka halaman web tokobagus.com. Di sana ada yang menjual kriteria telepon seluler BlackBerry Gemini Curve 9300 3G dengan harga murah karena lagi promo hanya di minggu tersebut. Saya kontak penjual  lewat no kontak 08991755666 yang mempunyai user hidayat211 via sms. Kami sepakat BB tersebut turun dari Rp 1,4juta menjadi Rp 1,3 juta.

Namun memang ada hal yang aneh, spesifikasi kamera yang diberikan lebih tinggi daripada yang saya tau tentang BB. Setelah sepakat harganya, penjual memberitahu nomor rekening BRI atas nama sahat panggabean, rek 1207.01.000792.50.7 BRI CAB: KK PULOGADUNG JKT. Penjual itu menjanjikan barang sampai besok Jumat dengan menggunakan jasa TIKI/JNE.

Si penjual juga menolak untuk bertemu (Cash On Delivery) dengan alasan di bawah Rp 20 juta hanya melayani lewat transfer antar bank saja. Ketika saya tanya apakah barang tersebut BM (blackmarket), dia bilang bukan BM, bukan second, melainkan baru dan bersegel. Pin dijamin aman. di halaman iklannya di tokobagus.com dia memberikan ketentuan yang cukup serius dan meyakinkan bahwa dia betul-betul ingin melayani serious buyer only.

Penjual juga tidak menggunakan jasa rekber dengan alasan menghindari ketidakpercayaan dengan kinerja rekber dan untuk menghindari penyalahgunaan rekening. Setelah saya kirim sejumlah uang yang disepakati, dia menanyakan nomor struk hasil transfer yang keluar dari mesin ATM untuk memastikan bahwa penjual tersebut tidak akan salah sasaran mengirimkan paket pesanan kepada pembelinya.

Tetapi sampai esok harinya, paket yang ditunggu tidak kunjung tiba. Saya menanyakan hal tersebut dan si penjual menjawab bahwa pesanan saya masuk pendingan karena orderan banyak jadi akan sampai keesokan harinya lagi (hari sabtu). Hari sabtu pun sama, tidak ada kiriman yang datang ke alamat saya dan ketika saya tanya, kenapa belum sampai dan kapan sampainya, dia menjawab senin akan tiba.

Ketika senin malam tidak kunjung tiba saya coba hubungi si penjual lagi dari nomor saya, namun tidak ada jawaban. saya coba lagi pakai nomor lain yang dia tidak kenal baru dia jawab dan katanya pending lagi sampai selasa. Saya minta nomor resinya supaya saya bisa cek tapi si penjual berdalih nomor resinya ada di temannya dan dia harus cek dahulu. saya tunggu nomor resinya tapi tidak ada kbr. sampai selasa (10/1) tidak ada kiriman, dan ketika saya hubungi si penjual masih berusaha menjawab dengan tertunda dari jasa kirimannya.

Akhirnya ketika saya minta penjual untuk mengembalikan uang yang telah saya transfer, si penjual memutuskan telepon. Saya minta tokobagus.com bertanggungjawab atas penipuan lewat situs penjualan online miliknya. Jangan sampai banyak orang tertipu akibat ketidakprofesionalan tokobagus.com dalam meenyeleksi para tenannya. Waspadalah bagi Anda yang ingin membeli barag dengan modus ini.

Vivi,  Bandung

Sabtu, 07 Januari 2012

Memperlakukan Karyawan Seperti Keluarga Sendiri (4)

Sebagai seorang pebisnis, Hamzah Sulaiman sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Dengan memperlakukan karyawan seperti keluarga sendiri, ia sukses mengembangkan Mirota Batik menjadi pusat belanja terkenal di Yogyakarta.

PERUSAHAAN adalah milik karyawan, karyawan adalah bagian dari perusahaan. Demikianlah motto  hamzah  Sulaiman dalam mengembangkan usahanya selama ini. Sejak awal merintis usaha Toko Mirota Batik, ia sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan.

Baginya, karyawan merupakan pihak yang harus dirangkul dalam mengembangkan bisnis. "Sebagai pemimpin, saya harus bersama-sama karyawan membangun usaha ini," kata  hamzah .

Contohnya, ketika Mirota Batik di Malioboro terbakar pada 2004 silam. Tak lama setelah peristiwa itu,  hamzah  langsung mengumpulkan karyawan Mirota yang saat itu berjumlah sekitar 100 orang. Di hadapan para karyawan,  hamzah  menegaskan bahwa tak ada satupun karyawan yang dipecat.

Padahal, saat itu, Mirota sudah ludes dilalap si jago merah, dengan nilai kerugian diperkirakan mencapai Rp 4 miliar. Kepada karyawan ia menegaskan, kebakaran Mirota bukan saja kerugian bagi dirinya, melainkan karyawan juga. Ia pun mengajak karyawan bangkit bersama dan membangun Mirota kembali. "Bagi saya, karyawan merupakan aset yang paling berharga," ucapnya.

Metode ini terbukti sukses membangkitkan kembali kejayaan Mirota Batik. Setelah sukses, ia tidak lantas melupakan karyawan yang sudah bersusah payah ikut membantu mengembangkan usahanya. Keuntungan Mirota tidak hanya dinikmati oleh  hamzah  sebagai pemilik saja. Bahkan, karyawan juga diberi kesempatan memiliki saham.

Karena memiliki saham, karyawan berhak mendapatkan dividen. Sistem bagi hasil ditetapkan berdasarkan porsi kepemilikan saham karyawan di Mirota. Selain menerapkan sistem dividen,  hamzah  juga membangun kompleks perumahan untuk didiami para karyawannya. Hingga kini sudah ada empat kompleks perumahan karyawan yang dibangun Mirota.

Pembangunan rumah ini bertujuan untuk membuat hidup karyawan lebih terjamin dan sejahtera. Dengan begitu, mereka bisa benar-benar fokus dengan pekerjaannya.  hamzah  juga memberikan gaji lumayan besar bagi karyawan. Di Mirota Batik Malioboro, saat ini terdapat 260 karyawan dengan gaji rata-rata Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan.

Sementara jumlah karyawan di Mirota Batik Kaliurang sebanyak 15 orang, dengan gaji rata-rata Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per bulan per orang. Sementara jumlah karyawan di Restoran House of Raminten sebanyak 82 orang dengan gaji rata-rata Rp 3, 1 juta per orang. Gaji tersebut tergolong tinggi di Yogyakarta yang terkenal dengan standar biaya hidup yang rendah. Dengan pendekatan semacam itu, seluruh karyawan betah bekerja dengan  hamzah .

Lantaran banyak yang bertahan lama, hubungan  hamzah  dengan karyawan sudah ibarat hubungan keluarga. Kepada karyawan, ia juga tidak pernah marah.Kalaupun ada yang salah, ia tetap menegur dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus.

Semua karyawan juga diajari sopan santun, dengan memberi contoh kepada mereka tentang tata krama dan bicara lembut. (Selesai)

Noverius Laoli

Setelah Toko Batik, Hamzah Masuk Bisnis Restoran (3)

Jatuh bangun mengelola usaha tak membuat Hamzah Sulaiman patah arang. Setelah terbakar pada 2004, Mirota Batik justru kian berkibar. Di masa tua, naluri bisnisnya pun tetap memanggil. Ia pun mendirikan resto House of Raminten.

JATUH bangun menjalankan usaha sudah dirasakan  hamzah  Sulaiman. Pengalaman pahit yang pernah dilaminya ketika Mirota Batik di Malioboro terbakar. Peristiwa itu terjadi pada 2 Mei 2004. Tidak ada satupun yang tersisa pasca kebakaran tersebut. Semuanya ludes dilalap si jago merah.

Tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Pantang menyerah dan terus berusaha memang menjadi moto hidupnya. Untungnya, ia masih memiliki sisa tabungan untuk membangun kembali Mirota. Hanya dalam waktu setahun,  hamzah  berhasil membangun kembali gedung Mirota Batik di Malioboro. Bahkan, gedung baru tersebut tampak lebih megah dari bangunan lama.

Terdiri dari empat lantai, Mirota Batik kini menyerupai mal. Yang memakan waktu agak lama ketika ia harus mengisi dan mengembalikan detail toko. Konsepnya, ia ingin membangun tempat wisata belanja batik dan kerajinan yang nyaman. Tapi, semua kesulitan itu berhasil dilaluinya. Mirota kali ini lebih mentereng dan lengkap.

Jumlah pengunjung pun kian membludak, terutama di akhir pekan. Setelah Mirota berkembang pesat,  hamzah  memutuskan untuk mundur dan menyerahkan pengelolaan toko kepada orang kepercayaan. "Saya memilih pensiun," ujarnya. Namun, naluri bisnis tetap saja memanggilnya. Di masa pensiun, ia justru mendirikan restoran bernama House of Raminten.

Restoran berbentuk kafe ini berdiri pada 26 Desember 2008 di kompleks rumahnya, di Jl FM Noto No 7 Kotabaru, Yogyakarta.  hamzah  membangun House of Raminten dengan harapan, ia tidak hidup kesepian setelah pensiun. Dengan adanya restoran ini,  hamzah  masih memiliki kegiatan untuk menyibukkan diri. Dia ingin agar di masa pensiun ini dapat melakukan hal-hal yang ringan dan disukainya. Lokasi House of Raminten berada di pendopo, tempat  hamzah  latihan menari.

Dan, awalnya menu yang ditawarkan hanya mi instan dan sejenisnya. Nah, dari sekedar ingin memiliki kesibukan, kini House of Raminten justru berkembang pesat. Dengan jumlah karyawan mencapai 82 orang, House of Raminten ramai dikunjungi pembeli. Buka selama 24 jam, restoran ini menawarkan menu andalan nasi kucing dengan harga Rp 1.000 per porsi.

Selain itu, resto juga menyediakan juga nasi putih, oseng tempe, serundeng dan teri. Rata-rata harga makanan di House of Raminten sekitar Rp 10.000 dan termahal Rp 20.000 per porsi. Lantaran sudah besar, pengelolaan restoran kini diserahkan kepada anak angkat yang menjadi kepercayaan  hamzah . Suasana restoran pun dibuat seperti Yogyakarta mini, ada kereta kencana dan dokar.

Dengan suasana ini, jumlah pengunjung terdongkrak. Dalam semalam pemasukannya mencapai Rp 1,5 juta. Karyawan restoran ini bukan berasal dari kalangan profesional. Sebab, yang menjadi pelayan kebanyakan adalah karyawan lama  hamzah  di Mirota Batik.

Tugas mereka melayani dan menyajikan makanan pesanan para pembeli. Namun, karyawan tersebut saling berbagi pengalaman, termasuk dalam hal memasak. "Ada juga karyawan yang ahli memijat, namun juga pintar memasak," jelasnya. (Bersambung)

Noverius Laoli

Berbekal Kemampuan Desain Batik, Kini Menjadi Pengusaha (2)

Sukses yang diraih Hamzah Sulaiman tidak datang begitu saja. Berbekal kemampuan mendesain batik, ia nekat menyulap toko kelontong warisan bapaknya menjadi toko batik. Berulangkali jatuh bangun, ia sukses membesarkan Mirota.

MIROTA Batik kini menjadi salah satu tempat belanja favorit bagi wisatawan yang berlibur di Yogyakarta. Toko empat lantai yang terletak di Jalan Malioboro itu menjajakan berbagai produk batik dan kerajinan khas Yogyakarta. Mirota Batik memang bukan lagi sekadar toko batik, melainkan pusat barang seni.

Setiap pengunjung Mirota langsung disambut alunan gending Jawa, sehingga kesan tradisi Yogyakarta begitu kental. Tak heran, bila Mirota Batik kini memiliki pasar dan pelanggan sendiri. Semuanya dimulai ketika ayah  hamzah , Hendro Sutikno meninggal dunia di tahun 1975. Kala itu,  hamzah  yang baru menginjak usia 25 tahun mewarisi warung kelontong ayahnya di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Di tangannya, warung kelontong tersebut disulap menjadi Mirota Batik.

Kecintaan pada seni dan budaya Jawa yang mendorongnya membuka toko batik. Kebetulan ia juga bisa mendesain batik. "Bakat desain batik, saya kembangkan secara autodidak," ujarnya. Saat awal didirikan pada tahun 1978, Mirota Batik belum sebesar sekarang. Selain tempatnya kecil, pembelinya juga masih sepi. Apalagi, Malioboro saat itu masih sepi.

Tapi  hamzah  tak patah arang. Meski sepi pembeli, ia tetap memasarkan batik-batik hasil desainnya di Mirota. Usahanya mulai berkembang saat ia menjalin kerjasama dengan pemilik Batik Danar Hadi. Selain mendapatkan pasokan batik dari Danar Hadi,  hamzah  juga mendatangkan batik dari berbagai daerah. Agar isi tokonya lebih bervariasi, iapun mulai memasarkan barang-barang kerajinan khas Jawa.

Untuk itu, ia suka membawa contoh barang ke perajin untuk dipasarkan di tokonya. Hubungannya dengan para perajin ini dimulai sekitar tahun 1980-an. Saat itu, tak jarang ia mencari perajin hingga ke pelosok daerah. Lambat laun, usahanya itu mulai membuahkan hasil sampai akhirnya dilirik orang. Selain isi toko makin bervariasi, desain interior toko yang unik juga menjadi daya tarik Mirota Batik.

Bisa dikatakan, Mirota kini menjadi semacam miniatur Yogyakarta. Bahkan ada yang berpendapat, bagi wisatawan yang tidak sempat menyusuri Malioboro, cukup berkunjung ke Mirota karena semua sudah terwakili dan tersedia lengkap di sini.

Setelah Mirota Batik di Malioboro makin berkembang,  hamzah  pun melakukan ekspansi dengan membuka cabang baru di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Toko di Kaliurang juga berkembang dengan pesat. Namun, di tengah pesatnya pertumbuhan bisnis yang dikelolanya, sebuah musibah datang menghampiri. Pada 2 Mei 2004, Mirota Batik di Mailoboro terbakar.

Tidak ada satupun yang tersisa pasca kebakaran tersebut. Semuanya ludes dilalap si jago merah. Namun,  hamzah  tidak patah arang. "Cobaan berat itu harus dihadapi dengan sabar dan tetap berjuang," ujarnya. Setelah kejadian itu,  hamzah  memutuskan membangun Mirota dari nol lagi. Tekadnya terbukti sukses. Mirota berjaya lagi bahkan berdiri menyerupai mal modern dengan ciri khas Yogyakarta. (Bersambung).

Noverius Laoli

Kisah Hamzah Membesarkan Grup Mirota di Yogyakarta (1)

Kesuksesan Hamzah Sulaiman dalam membesarkan Mirota Batik dimulai dari toko kelontong warisan ayahnya. Toko ini besar karena dikelola dengan cara unik. Setiap pengunjung merasakan nuansa seni dan budaya khas Yogyakarta.
noverius Laoli

MEMBANGUN bisnis batik tidak cukup hanya dengan mengandalkan modal dan kerja keras. Tapi juga diperlukan strategi dan kreativitas dalam memasarkan produk batik tersebut. Itulah yang dilakukan  hamzah  Sulaiman, seorang pengusaha sukses, pengelola kelompok usaha Mirota. Ini adalah jaringan ritel legendaris di Yogyakarta.

Peritel ini antara lain mengoperasikan, Mirota Batik, yang dikenal sebagai penyedia batik, kerajinan kayu, perak, tas laptop bermotif batik, dekorasi rumah, sepatu atau sandal, topi, tikar, asbak, minyak aroma terapi, dupa, hingga makanan ringan. Sebagai toko batik, suvenir dan kerajinan, Mirota Batik menjadi salah satu tempat favorit belanja wisatawan yang berlibur di Yogyakarta.

Kisah pria kelahiran Yogyakarta, 62 tahun silam, ini mengembangkan Mirota, bermula dari "terpaksa". Saat berumur 25 tahun, ayahnya, Hendro Sutikno, meninggal pada tahun 1975. Hendro adalah pendiri cikal bakal Mirota. mau tak mau,  hamzah  harus mewarisi toko kelontong di Malioboro warisan orang tuanya.

Hamzah  bahu membahu dengan kakaknya, membangun toko kelontong itu hingga besar seperti sekarang. Salah satu upayanya adalah membuka cabang Mirota di Jalan Kaliurang, sekitar 16,5 kilometer (km) dari Kota Yogyakarta. Setelah itu, ekspansi Mirota tak terbendung. Oh, iya. Nama Mirota sendiri berasal dari nama toko roti milik ibunya.

Saat itu, ibunya membuka toko roti bernama "Minuman dan Roti Tart" yang disingkat menjadi "Mirota". Pusat Mirota hingga saat ini masih berada di Malioboro. Toko yang terdiri dari empat lantai ini selalu penuh sesak dengan pembeli. Toko ini mulai dirintis sejak tahun 1977 dengan modal Rp 80 juta. Toko unik ini berdiri sejajar dengan toko-toko lainnya di jalan Malioboro. Toh, Mirota mampu menarik minat banyak pembeli karena toko ini dikelola dengan cara unik.

Misalnya mendesain toko dengan alat-alat kesenian Jawa kuno. Kebetulan, sejak kecil  hamzah  memang menyukai seni. "Sejak saya umur enam tahun, saya suka menari Jawa kuno," ujarnya. Dengan memadukan kesenian Jawa,  hamzah  mengaku tidak hanya menjual batik dan suvenir saja di tokonya. Dia juga menjual suasana dengan kekayaan tradisi yang ada di Yogyakarta.

Berbagai ornamen Jawa yang menghiasi interior toko di antaranya bunga-bunga khas Keraton Yogyakarta, pernak-pernik keraton, sesajen dan gamelan. Bagi  hamzah , tokonya harus tampil beda dari toko-toko lain yang ada di Yogyakarta dan Jakarta. Upayanya itu tidak sia-sia. Terbukti, kehadiran berbagai ornamen Jawa itu mampu menyedot minat konsumen untuk mengunjungi toko tersebut.

Dengan mengunjungi Mirota,  hamzah  ingin pembeli sadar bahwa mereka sedang berada di Yogyakarta. Selain memasukkan ornamen jawa,  hamzah  juga memiliki kiat lain dalam mengelola tokonya agar bisa sukses.

Salah satunya adalah memperhatikan kesejahteraan karyawan Untuk itu, ia menerapkan sistem bagi hasil. Jika penjualan di toko meningkat, karyawan akan mendapatkan penghasilan yang besar. Jika penjualan turun, pendapatan karyawan juga akan turun. (Bersambung)

Noverius Laoli

Jumat, 06 Januari 2012

Ketika Pengangkatan Menjadi Kekuatan


Momen Yang Jatuh Pada Penghujung
Bulan Desember ini,
Menjadi Hadiah Natal
yang Menyejukkan Hati

Merangkai hidup, tak ubahnya merangkai puisi, banyak yang abstrak tapi penuh makna.
Itulah yang aku mulai dalam salah satu momen kehidupanku.

Memulai sesuatu memang tidak mudah, apalagi jika sesuatu itu menuntut perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Tak jarang, acapkali perasaan ragu, pesimis menganggu perjuangan itu karena alasan satu hal yakni ada perasaan takut yang menganggu.

Perjuangan yang aku lalui itu dipenuhi rasa takut akan kegagalan, dan ketidaksiapan untuk itu.

Namun, dalam perjuangan yang selalu dicampuri rasa takut itu, aku berhasil menyisihkan rasa takutku untuk memacu semagatku meraih apa yang kuimpikan. Ketika impian itu tercapai, hatipun lega, dan perasaan senangpun tak terkira.

Itulah hadiah natal bagiku pada tahun 2011. Aku akhirnya setelah tiga kali penilaian per empat bulan, diputuskan lolos dan masuk diterima sebagai karyawan.

Aku mengulang kembali peristiwa masa silam. Aku ingat persis setahun lalu, ketika aku memutuskan mengubah haluan hidupku dan masuk ke perusahaan sebagai kuli tinta. Saat itu, posisiku sudah nyaman sebagai guru di salah satu SMA Katolik yang terkenal dengan gedungnya yang megah bagai mal, meski baru seumur jagung.

Satu setengah tahun aku berbakti di sekolah tersebut sebagai guru PKN dan Sosiologi. Satu tahun pertama aku menjadi guru biasa, namun di tahun kedua - meskipun hanya separoh karena keburu pindah kerja - aku menjabat sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. SK yang kuterima selama satu tahun, namun yang bisa kujalani hanya separohnya.

Dering telepon pada malam hari Kamis bulan November 2010 itulah yang mengubah haluan hidupku selamanya. Seorang perempuan paruh baya, yang menjabat sebagai kepala HRD di perusahaan itu menelponku dengan suara tenang tapi penuh makna. "Apakah Anda masih bersedia jadi wartawan,"? "Yah saya masih mau mbak," jawabku spontan.

"Kalau begitu, selasa pekan depan kami menunggu Anda untuk wawancara tepat pukul 13.00 Wib di Kantor kami," ujar suara itu sambil memberitahukan alamat kantornya. "Baik aku siap  mbak," balasku dengan penuh harap.

Itulah awal mula perubahan itu. Aku berani membuat janji dengan orang lain di Ibu Kota, padahal aku tidak tinggal di daerah Ibu Kota Negara tersebut. Sementara aku pada hari itu harusnya masuk ke sekolah dan mengajar seperti biasa.

Izin menjadi sesuatu yang susah dari sekolah, apalagi kepala sekolahnya terkenal garang dan tidak kenal tolerangsi. Izin sakit hanya itu yang tidak bisa ditolak, alasan lain biasanya selalu dimentahkan.

Saat aku menerima telpon itu, aku tidak berpikir panjang lagi. Meskipun aku masih diselimuti ketakutan kalau tidak diberi izin, tapi aku harus berani mengambil risiko. Aku begitu yakin, perubahan itu segera datang. Bagaikan sudah direncanakan, sepuluh menit sebelum telpon itu datang, aku mengatakan kepada pacarku asalan saja, bahwa aku ingin pindah kerja ke tempat yang lebih baik.

Intuisi yang mendorongku membicarakan itu, seolah memang sudah ditakdirkan begitu adanya. Dan akhirnya, angin perubahan itu benar-benar datang, bahkan aku tak siap menerimanya, namun kehadirannya memaksaku untuk berbenah diri.

"Aku akan menemani kakak ke ibu kota," ujar pacarku kala itu dengan mata berbinar dan suara riang. Padahal, ia juga sudah bekerja di salah satu perusahaan, dan ia akan meninggalakan pekerjaan pada hari itu hanya untuk mengantarku ke kantor yang barusan menggetarkan telepon genggamku beberapa menit yang lalu itu.

"Ia baguslah, karena aku tidak tahu lika-liku kota Metropolitan itu, aku nyaris tidak pernah pergi sendiri ke sana," balasku dengan gembira. "Ia aku mengerti sedikit-sedikit kok, nanti kita tinggal nanya-nanya aja,' sambung pacar pertamaku itu, pasca keluar dari Biara tempatku bernaung selama lima tahun belakangan.

"Maaf bu, aku tidak bisa masuk kerja hari ini, aku sakit," kalimat itupun melayang dari ponselku menuju ponsel kepala sekolah. Telepon gengam itu beberapa detik kemudian aku matikan. Persoalan selesai, pagi-pagi pukul 05.00 Wib aku sudah berada di rumah pacarku, dan tepat pukul 06.00 Wib kami menuju stasiun kereta api dan memesan tiket keberangkatan pukul 06.30 Wib. Kami tiba di tujuan pukul 11.00 Wib dan menuju kantor perusahaan tersebut untuk interview.

Pukul 14.00 Wib, aku dipanggil untuk wawancara. pacarku menunggu di bawah. Tak berapa lama wawancara sekitar 60 menit, perempuan yang menelponku malam itu dan juga turut mewawancaraiku mengatakan. "Anda sekarang diterima, kapan bisa masuk kerja," ujarnya mengejutkanku.

Akupun bingun menentukan harinya, soalnya aku masih terikat pekerjaan di sekoalah. Dalam keraguan dan ketakutan di mana semuanya serba bercampur, aku memutuskan masuk awal tahun saja. Soalnya, sekarang sudah penghujung November.

Penerimaan yang tanpa basa basi ini ada latar belakangnya. Aku sebelumnya pernah tes di induk perusahaan ini sebagai kuli tinta, tapi tidak diterima, tapi belakangan, perusahaan ini yang menginduk pada perusahaan di mana aku pernah tes memberikan kesempatan kedua kepadaku. Itulah sebabnya, mereka tidak lagi butuh melakukan tes lebih dulu. Meskipun kemudian aku  menjalani tes untuk formalitas.

Nah, aku lanjutkan yang wawandara tadi saja. Namun, perempuan tersebut menolak permintaanku. Kami meminta Anda untu masuk tanggal 1 Desember. Lalu aku memakai jurus pamungkas. "Aku ini masih guru mbak, minimal aku harus menyelesaikan tugasku dulu baru bisa masuk kerja di sini,"  jelasku perlahan.

"Aku harus memberikan nilai mereka dan menuliskannya di raport, karena aku ini wali kelas mereka," tambahku menguatkan argumentasi sebelumnya. "Tidak baik bagiku meninggalkan pekerjaan dalam keadaan tidak bertanggung jawab," aku membubuhkan kata-kata sebelumnya.

Setelah bernegosiasi, akhirnya mereka mau menerima tapi tidak juga memenuhi permintaanku. "Baiklah, kami memaklumi kondisi Anda, bisakah Anda masuk pertengahan Desember,"? desak laki-laki yang ternyata wakil pemimpin redaksi itu. "Bagaimana kalau tanggal 20 saja," kataku tanpa berpikir matang-matang.

Bagiku itu sudah jalan tengah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan pertimbangan, bahwa aku setidaknya sudah menuliskan rapor anak-anak dan memeriksa ujian mereka.

Soal bagi rapor, biarlah guru lainnya yang melakukan. Aku benar-benar nekat, karena aku tersudutkan. Aku tidak bisa menolak pekerjaan ini sebab itu adalah impianku. Namun aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaan sebelumnya begitu saja, tanpa membereskan apa yang menjadi kewajibanku.

Kami akhirnya sepakat. Jadilah aku menginjakkan kaki di penghujung Desember 2010 itu di kantor ini dimana aku sekarang bekerja.

Akupun memulai karirku sebagai juru tinta dari hari ke hari. Perjuangan demi perjuanganpun aku lalui dengan satu tekat. Aku harus bisa lolos selama masa penilaian satu tahun pertama. Aku tidak bisa lagi mencari pekerjaan yang lebih baik, setidak saat ini.

Aku sudah terlanjur memutuskan keluar dari sekolah itu. Artinya aku sudah keluar dari kenyamanan itu, dan aku menuntun diriku dalam arus perubahan yang arahnya masih belum menentu ini. Kuncinya memang ada di tanganku, tapi tidak mudah memutar kunci itu sesuai kehendak, butuh kerja keras, keuletan dan tanpa kenal lelah.

Kini setelah satu tahun penuh aku di perusahaan ini, akupun bisa bernafas lega. "Selamat kamu diangkat jadi pengawai tetap," ujar redakturku saat memberitahukan kabar gembira ini. Akupun menahan kegembiraan meluap di depannya, meskipun dalam hati, darahku mendesir sebagai tanda kegembiraan. "Terima kasih mas," ujarku setengah berbisik.

Kini setelah berjuang sekuat tenaga hasilnya aku petik. Apakah aku sudah cukup untuk berjuang? ternyata tidak.

Ini hanyalah permulaan, aku harus membangun karir ini lebih baik lagi, setidaknya membangun diriku menuju masa depan yang cerah dan mencapai impianku menjadi penulis sebagaimana aku idam-idamkan di kala masih duduk di bangku kuliah dulu.

Mimpi itu sudah diberi jalan, kini tergantung aku, apakah akan benar-benar menggunakan itu atau memilih memanjakan diri dan berpuas diri dengan status baruku, karyawan tetap.

Asal tahu saja, dari dulu aku tidak suka dengan istilah jadi karyawan, aku lebih suka menjadi independen. Aku tidak mau bermental karyawan, tapi aku mau bermental pengelana. Akankah aku nantinya menjadi seorang pengelana sejati, menjadi penulis yang mandiri dan independen? Di mana aku tidak harus lagi menjabat sebagai karyawan?

Sebelum menjawab semua itu, aku ingin bersyukur dulu, pengangkatan ini merupakan hadiah natal yang indah bagiku. Natal kali ini menjadi momen untuk beryukur dan berterima kasih atas anugerah Tuhan yang selama ini aku abaikan dan aku singkirkan.

Dalam hati kau berkata, Tuhan, terima kasih natal tahun ini, pengangkatan ini aku jadikan hadiah natal bagiku. Aku dilahirkan kembali menjadi seorang karyawan dan hidupnya sudah jelas, setidaknya untuk sementara.

Tapi ajari aku supaya tidak berpuas diri dan tidak bermental karyawan. Semoga pengangkatan ini menjadi pijakan bagiku untuk meraih sesuatu yang lebih besar untuk membangikan sesuatu yang lebih besar lagi bagi orang lain.

Melalui Natal ini bersama hadiah ini, aku akan selalu bersyukur dan berharap, Kau terus menuntunku menemukan apa yang kau kehendaki dalam diriku.

Syukur tiada akhir, slogan Jacob Oetama itu harusnya menjadi milikku juga.


Jakarta, Penghujung Desember 2011

Noverius Laoli

Warung Tinggi Coffee Bertahan Lima Generasi Karena Kualitas

Warung Tinggi Coffee Bertahan Lima Generasi Karena Kualitas

Disaat persaingan bisnis kopi sedang tinggi, dengan bermunculnya warung-warung kopi modern, PT Warung Tinggi Coffee yang sudah berusia lebih dari satu abad tidak mau disalib. Demi mempertahankan pendapatannya, perusahaan yang sudah berdiri sejak 1878 ini menjajaki ekspor kopi ke luar negeri. Selain sudah mengekspor ke Jepang dan Amerika, Warung Tinggi juga sedang mempersiapkan ekspor ke Korea.

Warung Tinggi coffee yang berada dibawah payung Pintu Air Mas (PAM) Group adalah sebuah perusahaan yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Perusahaan Kopi yang dulu berada di tepian MOolen Vliet Oost, Batavia, kini Jalan Hayam Wuruk Jakarta adalah perusahaan kopi tertua di Indonesia yang didirikan oleh Liaw Tek Soen, perantau asal Tiongkok. Pada awalnya perusahaan ini berdiri nyaris tak memiliki saingan.

Rudy Widjaja, 70 tahun, ahli waris generasi keempat Warung Tinggi Coffee menuturkan tidak mudah mempertahankan berdirinya perusahaan keluarga tersebut. Acapkali perusahaan ini mengalami jatuh bangun, tutup lobang, gali lobang agar tetap bertahan hidup. Perubahan zaman yang terkadang brigas sering kali mengguncang perusahaan ini. Namun, perusahaan ini tetap berdiri kokoh hingga hari ini tak terlepas dari didikan dari orang tua, dari satu generasi ke generasi berikutnya. "Didikan orang tua akan pentingnya kejujuran dan kerja keras menjadi sangat penting bagi kami," jelas Rudy.

Rudy menuturkan pengelolaan Warung Tinggi tak ubahnya bagaikan warung biasa saja. Bedanya, Warung Tinggi tetap fokus menjaga kualitas dari generasi ke generasi . Selain itu, tetap melakukan terobosan-terobosan baru berupa inovasi-inovasi untuk menciptakan kopi dengan rasa yang berbeda. Disamping menjaga kualitas, Rudy juga tetap teliti memilih jenis kopi yang dibeli. Soalnya, jenis kopi yang berkualitas menjadi andalan untuk dapat ditabung. "Jadi tabungan kami itu bukan uang, melainkan kopi," ucap Rudy sambil tertawa. Biji kopi pilihan yang diseleksi dari daerah-daerah di sejumlah tempat di Indonesia disimpang dalam gudang.

Rata-rata Rudy dapat menyimpan kopi sebanyak 100 ton. Kopi tersebut disimpang antara lima sampai enam tahun lamanya. Ada 13 jenis kopi yang disimpang yakni jenis kopi excellence, jantan, betina, - Ketiga kopi ini hanya diperuntukkan bagi yang maniak kopi saja. Soalnya, kopi ini cukup keras. Jenis kopi lain berupa Rajabika, Arabika spesial, Arabika super, Arabika ekstra, Robusta, kopi 2 in 1, kopi 3 in 1 dan kopi jahe 4 in 1. Aneka jenis kopi ini diproses di pabarik milik Warung Tinggi yang bermarkas di Tangerang. Luas pabrik tersebut sekitar 1.500 meter persegi.

Untuk mempertahankan kualitas, proses pengolahan kopi ini harus melalui Rudy sebagai pemilik. Menurutnya, rasa kopi itu sangat sensitif, dan bisa berubah jika cara pengelolaanya tidak tepat. Masalah-masalah teknis, seperti ukuran panas, hasil gorengan dan penyimpanan sangat menentukan kualitas kopi. Maka agar kualitas tetap terjaga, Rudy selalu mengecek hasilnya. Pengecekan tersebut dilakukan mulai dari hasil gorengan, rasanya, dan kadar kafein serta bau yang dikeluarkan kopi tersebut. "Kalau tidak sesuai dengan standar saya suruh diganti dan diulangi lagi," tegas Rudy.

Menurut Rudy, kopi yang berkualitas umumnya tetap mempertahankan rasa dan keharuman minimal satu tahun lamanya. Sebab setelah dimasak, umumnya kopi pasti harum, namun setelah beberapa bulan, bau kopi tersebut bisa berubah sehingga kualitasnya bisa turun. Itu juga alasannya, kenapa Rudy enggan ekspansi, soalnya dia tidak mau kalau setelah buka cabang, kualitas kopi miliknya menjadi menurun. Karena itu, sampai saat ini pelanggan berasal dari kelas menengah ke atas. Umumnya mereka adalah pelanggan lama yang sudah puluhan tahun. Ia menjual kopi ini mulai dari harga Rp 300.000 hingga Rp 3 juta per kilogram.

Angelica Widjaja, ahli waris Warung Tinggi generasi kelima, yang sudah mulai menyetir perusahaan ini sejak tahun 2004, pada usia 24 tahun mengatakan akan meneruskan usaha ayahnya untuk mempertahankan kualitas kopi yang dijual. Menurutnya kualitas itu tetaplah nomor satu. Maka ia mengatakan akan meningkatkan pendapatan Warung Tinggi. Ketika ditanya soal omzet, Angelica enggan menjawabnya, tapi ia memastikan nilai omzetnya di atas Rp 100 juta per bulan. Pertumbuhan omzet warung tinggi menurutnya mencapai 15% per tahun.

Namun dengan adanya ekspor keluar negeri, Ibu muda yang berusia 30 tahun ini menargetkan pertumbuhan omzet perusahaan bisa mencapai 20% pada tahun ini. Salah satu caranya meningkatkan omzet tersebut adalah dengan meningkatkan ekspor mencapai 20% dari total produksi sekitar 100 ton per bulan. "Saat ini kami sedang menjajaki ekspor ke KOrea, selain ke Jepang dan Amerika," jelasnya.

Kopi Menjadi Cara Hidup

Rudy Widjaja, adalah generasi keempat pemilik Warung Tinggi Coffee. Ia sudah mengelola Warung Tinggi sejak tahun 1978 sebagai warisan dari orang tuanya. Rudy juga pernah menjadi KPresiden Komisaris Bank Kesawan sejak tahun 2000-2010. Namun, ia memilih menjual sahamnya dari bank tersebut karena merasa tidak cocok lagi.Ia memilih fokus pada kopi dan meneliti jenis-jenis kopi yang ada di seluruh Indonesia. Saat sudah ada ratusan jenis kopi yang sudah berada di kantornya, dan satu demi satu teliti. Selain itu, saat ini Rudy juga fokus meneliti mesin-mesin modern yang digunakan untuk kopi. Tujuannya, agar ia dapat mengajari pelanggannya bagaimana memasak kopi secara benar sehingga rasa dan kualitas kopi yang dijual di warungnya tetap terjaga.

Noverius Laoli

Kamis, 05 Januari 2012

Kopi Warung Tinggi [1878]

Beberapa kali berhenti berproduksi, tetap hidup berkat kepercayaan pelanggan. Dulu resep lisan, kini tersimpan di komputer.


BATAVIA, 1878. Restoran di tepian Moolen Vliet Oost—kini Jalan Hayam Wuruk— Jakarta, itu berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Tampak lebih bagus, lebih besar, dan tinggi. Masyarakat di tepian Ciliwung lalu menyebutnya Waroeng Tinggi. Adalah Liaw Tek Soen, perantau asal Tiongkok, yang membangun warung itu bersama istrinya.

Selain menyuguhkan makanan, mereka sedia kopi. Karena itu, waktu belum banyak yang menjual kopi seduh di Batavia, warung Engkoh Liaw laris manis. ”Menurut cerita Kakek, dulu habis makan, orang pasti duduk berlama-lama sembari ngopi,” kata Rudy Widjaja, 67 tahun, ahli waris generasi keempat kopi Warung Tinggi.

Rudy menerima Tempo di kantor pusat Warung Tinggi di Jalan Batu Jajar, Hayam Wuruk, Jakarta Barat, dua pekan lalu. Melihat aktivitas di toko kopi yang terletak di Jalan Tangki Sekolah, juga di kawasan Hayam Wuruk, tampak sekali Warung Tinggi sudah memiliki pasar dan pelanggan sendiri. Di toko sekitar 25 meter persegi, di dalam gang yang hanya pas dilewati dua mobil itu, transaksi dilakukan dengan ”gaya lama”. Penjual tinggal bertanya, ”Biasa, kan?” Semua langsung beres: jenis kopi, jumlah kiloan, digiling halus atau kasar.

Warung Tinggi memang bukan lagi sekadar toko kopi, melainkan ”gaya”. Semuanya dimulai ketika kakek Rudy, Liaw Tek Siong ”dibeli” Liaw Tek Soen, karena anak lelaki tunggal Tek Soen dianggap tak mampu berdagang. Tek Siong mewarisi warung ayah angkatnya pada 1927. Di tangannya, kopi segera menjadi bisnis utama keluarga Liaw, bukan sekadar usaha sampingan dari makanan di warung.

Ia mendirikan pabrik sederhana dan menamai tokonya Tek Soen Hoo Eerste Weltevredensche Koffi ebranderij, yang kala itu lebih dikenal dengan nama Toko Tek Soen. Tek Siong juga merancang alat khusus yang mampu menggo reng lebih banyak biji kopi hingga matang secara merata. Gambar perempuan menyunggi bakul anyaman bambu dijadikan logo perusahaan baru itu. ”Itu gambar ibu-ibu yang setiap pagi datang menjual kopi ke warung kakek buyut saya,” kata Rudy.

Hingga Liaw Tian Djie, ayah Rudy, mewarisi bisnis keluarga Liaw Tek Siong, dua tahun setelah Indonesia merdeka, nama perusahaan mereka masih Tek Soen Hoo. Tapi orang sekitar dan pelanggan setia warung kopi Tek Soen tak pernah berhenti menyebut tempat usaha keluarga itu sebagai Warung Tinggi.

Ketika itu Warung Tinggi hanya menjual satu jenis kopi, dibungkus dalam kertas cokelat sederhana dan diberi cap. Waktu Jepang menduduki Indonesia, ayahnya membawa keluarga mengungsi ke Mega Mendung, Ciawi, Jawa Barat. Ketika itu ibunya sedang mengandung Rudy.

Barulah pada 1945, setelah Jepang pergi, Tek Djie membuka kembali pabrik kopinya. Sebetulnya, waktu itu dia tak punya modal lagi. Tapi, para pemasok lama, termasuk ibu-ibu bakul kopi, tak keberatan Tek Djie berutang bahan baku. Pelan-pelan bisnis berjalan lagi.

Bahkan, pada 1950-an, Tian Djie mulai menjual kopi racikan (blend) dengan mencampur beberapa jenis kopi. Nama Warung Tinggi mulai dipakai sebagai merek dagang pada 1967. Soeharto, yang baru saja menggantikan Soekarno sebagai presiden, melarang orang Indonesia keturunan Tionghoa menggunakan nama Cina. Nama keluarga Liaw
pun diubah menjadi Widjaja, atas usul seorang pegawai Tian Djie setelah melihat kitab primbon Jawa. Tian Djie sejak itu beralih nama menjadi Udjan Widjaja.

Sejak ayahnya wafat, pada 1978, perusahaan dikelola oleh Rudy beserta tiga saudaranya: Darmawan, Suyanto, dan Yanti. Berkali-kali usaha mereka goyah, tapi selalu bisa bangkit kembali. Sebagai anak kedelapan, Rudy bukan
yang paling berhak mewarisi usaha orang tua mereka. Tapi, ketika kesebelas kakak-adik itu membagi warisan, pada pertengahan 1990-an, tak satu pun yang berminat meneruskan bisnis kopi keluarga itu kecuali Rudy.

Dalam bagi-bagi warisan itu, Warung Tinggi yang asli—rumah di Jalan Hayam Wuruk Nomor 55-57—jatuh ke tangan kakak-kakaknya. Maka Rudy memindahkan pabriknya ke Jalan Daan Mogot. Rumahnya di Jalan Tangki Sekolah, di kawasan Hayam Wuruk, dia jadikan toko kopi.

Sumber: Tempo

Cek juga:
http://books.google.co.id/books?id=4azD7MEfcdEC&pg=PA12&lpg=PA12&dq=Warung+Tinggi,+hayam+wuruk,+kontak&source=bl&ots=Zw3cBE503j&sig=plekaJUMzVHeFMYDWjooq1Ktmpk&hl=id&sa=X&ei=NXwFT7mEKM-rrAeX1PT4Dw&ved=0CFEQ6AEwBw#v=onepage&q=Warung%20Tinggi%2C%20hayam%20wuruk%2C%20kontak&f=false