Senin, 26 Desember 2011

Menjelajahi Daerah Sitonggi Tonggi

Menjelajahi Daerah Sitonggi Tonggi

Sitonggi Tonggi merupakan sebuah desa terpencil di daerah Sumatera Utara. Daerah ini berada di sebuah desa bernama Lubuk Ampolu, kecamatan Badiri, (dulu kecamatan Lumut), Kabupaten Tapanuli Tengah, sekitar 24 kilometer dari Kota Sibolga. Sitonggi bukan nama desa, melainkan nama daerah, kemudian berkembang menjadi lorong dua desa Lubuk Ampolu. Kalo dicari di Peta, mungkin daerah ini belum terdaftar. Kalau digoogling juga memang menemukan istilah sitonggi tonggi sebagai nama daerah, tapi bukanlah sitonggi-tonggi yang dituliskan di sini.

Karena itu, ada baiknya aku memulai cerita ini saja. Sebagian besar penduduk di Sitonggi Tonggi adalah etnis Nias, perantauan dari pulau Nias. Dapat dikatakan hampir 99% adalah keturunan Nias. Sementara di desa Lubuk Ampolu menjadi mayoritas melampauhi dua pertiga penduduk desa tersebut. Sehingga yang menjadi kepala desanya pun berasal dari orang nias yang tinggal di Sitonggi-tonggi. Mata pencaharian masyarakat di situ adalah menyadap karet. Kebun karet tersebut tersebar tidak jauh dari daerah yang dilintasi sungai tersebut. Sampai saat ini nama sungai tersebut belum jelas, atau mungkin tidak pernah diberi nama. Orang nias yang berada di sitonggi-tonggi sering menamakan sungai tersebut sebagai "lufia" artinya sungai, berasal dari bahasa nias.

Kebun karet yang dijadikan mata pencaharian utama penduduk ini sebagian besar milik sendiri. Namun, sebagian sudah dimiliki orang di luar perkampungan ini. Kepemilikan tersebut mulai terjadi sejak tahun 2000-an. Sebab sejak tahun 2005 ke atas, harga karet semakin melonjak tinggi. Kenaikan harga karet tersebut memicu pemilik modal untuk membeli sebagian besar lahan karet di daerah tersebut. Uang dalam jumlah besar ternyata cukup menggiurkan para petani pemilik lahan karet tersebut. Mereka menjualnya ramai-ramai. Kemudian mereka kembali menyadap karet di kebun mereka tersebut, tapi sebagai pekerja dan bukan lagi pemilik. Biasanya, hasil dari penyadapan karet tersebut akan dibagi dua dengan pemilik kebun. Pola kerjanya juga tergantung luas lahan karet yang dikerjakan.

Umumnya, penduduk di sini akan berangkat bekerja di pagi buta. Alasannya, selain kebun karet yang disadap jauh dari rumah, juga karena di pagi hari getah dari pohon karet akan mengalir lebih banyak bila disadap. Sementara kalau di siang hari, getah pohon karet yang disadap tidak sebanyak jika disadap dipagi hari. Bekerja di pagi hari menjadi sebuah pilihan yang sangat rasional bagi penduduk. Selain karena tubuh masih segar, juga sinar matahari belum begitu menyegat kulit. Sehingga pola kerjanya akan lebih cepat dibanding pada siang hari. (Noverius L)

Sabtu, 17 Desember 2011

Ibu Pulang

Kringg!! Itu dering telepon kedelapan. Aku tahu pasti siapa peneleponnya. Nenek.
Dia masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh ibuku.

Ibu. Itulah alasan Nenek untuk menyuruhku pulang. ”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.

”Nenek akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas Nenek.

Nenek memang tipe orang yang suka mendesak. Kupikir-pikir sekarang, sifatnya itu memang aku perlukan. Jika tidak, mungkin aku akan mati. Atau akan jadi pengangguran di rumah. Atau pasrah saja jika ada orang yang melamarku. Atau jadi gila. Namun semua pilihan itu tidak terjadi padaku. Berkat Nenek. Dengan keras kepala, dia akan menyuruhku ini itu. Membangunkanku agar tak terlambat ke sekolah. Menyiapkan makanan untukku, hingga memilihkan kursus apa saja yang ketika tiba waktunya, ternyata memang berguna. Toh ketika aku sudah bisa hidup dengan kemampuanku sendiri, bahkan bisa dibilang berlebih, Nenek tak pernah sedikit pun meminta apa pun dariku. Dia hanya memintaku untuk pulang setiap Natal.

Dibanding Nenek, Ayah tak memiliki pengaruh apa pun buatku. Dia sama mati surinya denganku. Membeku. Diam. Hanya melihatku dengan matanya, tapi tidak dengan jiwanya. Dia sering hanya menghabiskan waktu di kamarnya, atau di kebun, atau di perpustakaan, atau di teras rumah. Aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya.

Di kemudian hari, kutemukan banyak sekali sketsa berisi sosok Ibu dan diriku di kamarnya.
Kata Nenek, Ayah menjadi pendiam seperti itu sejak kepergian Ibu. Saat aku berusia tiga tahun, Ibu pergi dari rumah tanpa pamit. Dia baru bilang keberadaannya setelah dua tahun kemudian. Sepucuk surat datang pada suatu sore. Dikirim dari Brooklyn, New York. Di surat itu, Ibu mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan lebih memilih tinggal di sana. Dia berjanji suatu saat akan pulang.

Janji itu ditepatinya saat ini. Ketika aku sudah berusia seperempat abad. Usia di mana aku sudah tak membutuhkannya lagi. Saat di mana aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu.
Buatku, Nenek lebih dari seorang Ibu. Bahkan juga menjadi Ayah bagiku. Jadi aku merasa tak perlu untuk menemui Ibu. Tidak untuk Natal kali ini, maupun di hari yang lain. Namun Nenek begitu mendesakku untuk pulang. Lima Natal sebelumnya, aku tidak lagi pulang dan Nenek tidak berkata apa pun. Dia sudah sangat mengerti aku telah memiliki kehidupan sendiri. Justru karena aku lama tak pulang inilah, Nenek menggunakannya sebagai senjata untuk memaksaku.

”Nenek ndak masalah kamu sudah lama ndak pulang. Bahkan Nenek juga ndak pernah minta apa pun dari kamu kan? Sekarang Nenek cuma minta kamu pulang, tapi kamu masih mikir-mikir. Sudahlah. Jika kamu ndak mau pulang karena ibumu, setidaknya kamu pulang buat Nenek,” pinta Nenek dengan nada kesal. Ketimbang memelas atau mengiba, Nenek memang lebih nyaman untuk bersikap marah atau ngambek.

Setahuku dia memang bukan tipe nenek-nenek tua yang lemah. Tak heran jika dia masih bisa mengurus rumah sendiri di usia hampir 80 tahun hingga dua tahun lalu, kusewa seorang pembantu untuk membantunya. Usul yang ditolaknya mentah-mentah, namun Nenek berhasil kuancam untuk tidak mengusirnya.

”Dia sudah tidak punya rumah lagi, Nek. Kalau Nenek mengusirnya, dia bisa bunuh diri,” kataku.
Sesuai dengan iman Kristianinya yang begitu kuat, Nenek sangat membenci bunuh diri. Karena itulah dia mati-matian menjagaku dan Ayah untuk tidak mengakhiri hidup dengan tangan sendiri.

Pikiran tentang mengakhiri hidup sebenarnya tak pernah terlintas di benakku. Tidak dengan Ayah. Aku tahu dia sudah tak ada keinginan hidup tanpa Ibu di sisinya. Namun setelah bertahun-tahun kemudian, aku jadi berpikir mungkin karena kesetiaannya itulah Ibu pergi meninggalkannya.

***
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Nenek terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Nenek di gereja kota kecil ini. ”Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman misdinarmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Nenek sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.

Sejak aku tiba di rumah Nenek, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu Ibu. Begitu aku memasuki rumah, Nenek langsung menarikku ke ruang makan dan memperkenalkan seorang perempuan yang sedang duduk di kursi makan. Begitu melihatku, dia segera berdiri.

”Wid, apa kabar?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Kedua telapak tangan kami berjabatan. Seperti sepasang asing yang baru akan memperkenalkan diri.

”Baik. Bagaimana perjalanan Ibu?” tanyaku sambil menarik kursi di dekatnya.
Dan mengalirlah pembicaraan di antara kami bertiga: aku, Ibu, dan Nenek.
Ibu seorang perempuan yang tenang.

Cara bicaranya teratur. Senyumnya tipis dan seperlunya. Rambutnya panjang sebahu dengan sebagian uban di beberapa tempat. Tubuhnya kurus. Namun terlihat kuat dan kokoh. Meski kerut di beberapa bagian di wajahnya jelas terlihat, Ibu terlihat masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Bentuk wajahnya oval dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.

Pembicaraan kami lebih banyak tentang kehidupan Ibu di sana yang bekerja di sebuah galeri seni. Kemudian tentang penerbangan yang melelahkan dan rasa kangennya akan masakan Indonesia. Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia. Perbincangan kami terhenti karena Nenek sudah mengantuk. Kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing. Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah.

Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Ibu tengah duduk sambil mengisap rokok.

”Selamat Natal, Wid,” ujar Ibu sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng. ”Selamat Natal juga, Bu.”

”Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.

”Terbangun.”

Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.

”Bagaimana suamiku meninggal saat itu?”

”Ayah meninggal saat tidur. Aku dan Nenek tak mengetahuinya sampai pagi, ketika Nenek hendak membangunkan dia.”

”Begitu ya. Tahukah kamu dari dulu dia menginginkan kematian seperti itu. Kematian yang mengendap-endap. Bak pencuri. Tak meninggalkan tanda apa pun. Tak merepotkan siapa pun,” kata Ibu sambil memandang kegelapan.

”Kenapa Ibu tak pulang waktu Ayah meninggal?”

”Aku tak cukup kuat melihatnya tak bisa lagi bergerak, tersenyum, atau sekadar menggodaku dengan cubitan di pipiku. Tahukah kamu, dia dulu sangat suka duduk di sini. Sambil melukis atau membersihkan rumput.

Sementara aku melihatnya dari balik jendela dapur. Begitu kamu lahir, dia tak lagi melukis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajakmu bermain di sini. Kamu didudukkan di rumput, dan kemudian dia akan merangkai berbagai macam bunga untuk dijadikan mahkota di kepalamu,” kata Ibu.

”Sepertinya indah dan menyenangkan. Lantas kenapa Ibu pergi?” akhirnya aku berhasil mempertanyakan hal yang dari dulu membuatku geram.

”Aku belum siap memiliki kamu. Sementara dia menginginkanmu begitu kami menikah. Ketika akhirnya aku hamil, dia semakin membuatku sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuatku merasa bersalah dari waktu ke waktu karena aku tak pernah bisa mencintainya sebesar itu. Saat kamu lahir, aku tahu dia akan bisa mencintaimu sebesar dia mencintaiku. Kujadikan dirimu sebagai penggantiku.”
”Ayah tak pernah bisa menjadikan siapa pun sebagai pengganti Ibu. Termasuk diriku.”

”Aku tahu. Perpisahan yang sia-sia,” ujar Ibu sambil beranjak dari duduknya. ”Aku sudah mengantuk, Wid. Aku tidur dulu ya,” pamit Ibu.

Aku mengangguk dan memutuskan tetap duduk sambil menunggu fajar. Dalam kegelapan, aku membayangkan kehidupanku jika Ibu tak pernah pergi. Mungkin Ayah tetap hidup dan setiap tahun aku akan pulang untuk merayakan Natal. Kemudian kami semua akan berkumpul di dekat pohon natal sambil saling bertukar kado.

Atau seperti di film-film Hollywood, aku, Ibu, dan Nenek akan memasak hidangan natal bersama. Mungkin juga akan muncul pertengkaran layaknya sebuah keluarga, ketika aku memperkenalkan calon suami saat Natal tiba dan orangtuaku tidak menyetujuinya. Bahkan bukan tidak mungkin aku sudah memberikan cucu untuk Ayah dan Ibu.

Dua hari setelah Natal, Ibu pulang. Aku tetap tinggal di rumah Nenek sampai Tahun Baru. Setelah kepergiannya, aku akhirnya menyadari bahwa Ibu pergi karena tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulan ini kudapatkan dari cerita Nenek dan hadiah Natal dari Ibu. Sewaktu kubuka, hadiah itu berisi album foto yang memasang foto-fotoku sewaktu kecil. Aku belum pernah melihat foto-foto itu.

Sembari melihat isi album foto itu, Nenek akhirnya bercerita bahwa Ayah begitu menginginkan anak dalam pernikahannya dengan Ibu. Aku lahir lima tahun kemudian. Namun kehadiranku tak bisa menghalangi kepergian Ibu. Bagi Ayah, aku adalah hadiah dalam hidupnya.

Sementara bagi Ibu, kehadiranku adalah memorabilia ketidaksetiaannya. Kini aku menyadari mengapa wajahku tidak sama dengan Ayah maupun Ibu. Di halaman terakhir album foto itu, kulihat diriku sewaktu kecil berada di sebuah taman. Aku dipangku Ibu yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan sorot mata dan senyum yang sama denganku.

Jakarta, Desember 2010

Oleh: Fransisca Dewi Ria Utari,

Sumber Kumpulan Cerpen Kompas

Minggu, 04 Desember 2011

Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

1966 (Goenawan Mohamad)

Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata

Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
”Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
”Bunga untuk ulang tahun.”
”Yang harganya sekitar berapa Pak?”
”Harga tak jadi soal.”
”Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
”Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
”Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
”Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
”Mau diantar atau dibawa sendiri?”
”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
”Berapa duit.”
”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
”Tidak, aku mau ini.”
”Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
”Tidak. Ini!”
”Tapi itu tak dijual.”
”Kenapa?”
”Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
”Dua.”
”Dua apa?”
”Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
”Jadi, benar-benar tidak dijual?”
”Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.
”Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
”Bapak mau beli?”
”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
”Duapuluh ribu cukup.”
”Rumah Bapak di mana?”
”Cirendeu.”
”Cirendeu kan jauh?”
”Memang, tapi dilewati angkot.”
”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
”Habis, naik apa lagi?”
”Tapi angkot?”
”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
”Bukan begitu.”
”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
”Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
”Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
”Tidak.”
Dia berpikir.
”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
”Yang dicintai mestinya.”
”Ya. Jelas!”
”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
”Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
”Kamu saja yang memilih.”
”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
”Cinta, persahabatan, atau sayang?”
”Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
”Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
”Ya?”
”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
”Kamu saja yang tanda tangan.”
”Kenapa saya?”
”Kan kamu yang tadi menulis.”
”Tapi itu untuk Bapak.”
”Ya memang.”
Ia bingung.
”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
”Makanya!”
Ia kembali bingung.
”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
”Ya.”
”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
”Ya. Apa salahnya?”
”Bapak yang ulang tahun?”
”Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
”Kenapa?”
”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
”Mereka siapa?”
”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
”Mereka terlalu sibuk.”
”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”
”Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
”Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.

Jakarta, 30 Juni 2011

Sumber: Kumpulan cerpen kompas

Perpisahan

HANS, tiap kali kita berdiri di tepi sungai itu, kamu selalu mengatakan hal yang sama, seraya menunjuk permukaan sungai yang kehijauan dan memantulkan bayangan kita: mereka menemukan tubuh Rosa*) di sini. Alirannya membelah kotamu, mengalir sampai ke Berlin, kota terakhir yang kamu bayangkan sebagai tempat memulai kehidupan baru setelah letih mengelana dan menjauhinya berulang kali.
Tiga hari setelah ibumu meninggal, kamu, kembaranmu Fabian dan ayahmu pergi ke Sungai Spree dan mengenang masa silam yang kini bagai mimpi. Sejak itu kamu ingin lebih dekat dengan mereka. Kamu akan mengunjungi ayahmu sebulan sekali setidaknya jika menetap dan bekerja di Berlin.

Kita sekarang berdiri dan menatap sungai yang sama, di bagian tubuhnya yang lain.

”Hampir tiga belas tahun saya meninggalkan rumah orangtua saya. Setelah Ibu tidak ada, keinginan saya untuk menengok rumah jadi lebih kuat. Kamar saya juga masih ada,” katamu memandang ke seberang sungai.

Sudah dua kali kita bertemu di kota ini. Setelah seminar tentang negara-negara berkembang dan masalah-masalah yang tidak pernah selesai, kita bergegas mencari tempat untuk minum kopi dan menghirup udara luar. Bedanya, ibumu sudah tidak ada.

Namun, ibumu tidak pergi seperti Rosa. Ia meninggal dalam kamar yang tenang ketika kamu tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi untuk menemuinya terakhir kali.

Empat hari sebelum itu, ia minta dipindahkan ke sebuah rumah tempat orang-orang menunggu kematian. Ia ingin menyongsong mautnya sendiri.

Seperti apa ibumu waktu hidup, aku ingin tahu, menyesal tidak sempat bertemu dan mulai hanyut dalam kenangan kematian itu.

”Ibu saya seorang guru, kepala sekolah yang baik dan serius bekerja, sangat memperhatikan anak-anaknya, sedikit tidak sabar, dan kadang-kadang khawatir,” katamu.

Kamu menatapku, tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh. Kamu melihat seseorang yang tidak ada.
”Ibu saya meninggal dengan berani.” Kali ini kamu berseru sambil mengamati permukaan sungai yang mulai bergetar. Bayangan hijau kita masih di situ.

Tidak ada yang ganjil dan keliru dalam pilihan ibumu. Sebagian tubuh yang sekarat sama seperti dia. Mereka sengaja menjauh dari siapa pun yang mengenalnya, yang pernah mesra. Mereka sengaja mencipta jarak yang kelak akan terus memanjang ketika perpisahan itu benar-benar datang.

Ibumu ingin kalian terbiasa dengan ketidakhadirannya atau ia memang ingin melepas semua ikatan dengan kehidupan lebih dini, seperti menuang ikan-ikan kecil di akuarium ke dalam sungai ini dengan kesadaran untuk tidak mencari mereka lagi dan memang mustahil. Ia bahkan berkata pada ayahmu untuk mencari seseorang yang lain sebagai penggantinya. Ia juga sudah melepas ikatan mereka yang membuat kamu dan Fabian ada.

Kamu masih ingat suatu hari bersama ibumu. Musim panas terakhir. Fabian belum kembali dari Frankfurt karena ia harus menunggu pembukaan pameran lukisannya. Ayahmu di lantai bawah. Dari jendela apartemen, puncak-puncak gedung dan langit bersih terlihat jelas dan seolah lebih nyata dari hari-hari sebelumnya karena baru sekarang perhatianmu benar-benar tercurah pada pemandangan di luar sana, ketika tidak banyak yang menyita pikiran kecuali sosok kurus yang terbaring sakit di ranjang.

Ibumu tiba-tiba berkata, lirih, ”Hidup saya begitu indah.”

Kamu tertegun. Tidak percaya Ibumu mengucap kalimat itu, kata-kata yang sangat dalam maknanya dan menghapus seketika sedih yang muncul dari rasa tidak berdaya sekaligus kegagalan untuk berbuat lebih baik dan lebih sering terhadapnya sejak dulu.

Setelah itu, ia tidak berkata sepatah kata pun selama hampir tiga jam. Kamu memijat lembut kaki-kakinya. Kamu belum siap berpisah.

Ketika suara ibumu benar-benar hilang karena sakit yang makin parah, percakapan kalian bertukar dengan sentuhan, sama seperti saat kamu lahir dulu, saat terdorong keluar dari rahimnya yang hangat. Kamu mencari-cari tubuhnya dan sentuhan ibumu adalah rasa aman dan tenang. Kamu ibarat ulat mungil dalam sebuah kepompong, sebelum menjadi kupu-kupu dan terbang.

”Saya sudah pergi ke mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada,” tuturmu seraya tertawa.
Usiamu 10 tahun saat tembok itu hancur. Orang-orang di timur bebas pergi ke barat, lalu kata ”timur” dan ”barat” itu benar-benar lenyap.

Kesenyapan dalam kamar ibumu masih terasa dalam hati, di satu bagian yang selalu kosong setelah ia pergi. Kesenyapan itu pernah menjelma luka yang dalam dan kini bekasnya tetap ada.

”Selalu di sana.” Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Barangkali orang-orang yang lewat menyangka kita pasangan kekasih.

Di kamar ibumu, benakmu dipenuhi kenangan dari masa kanak-kanak, masa yang sudah lama berlalu serta paling berarti dari semua kenangan, dan inilah yang ganjil dari bagian yang seharusnya sayup itu: semua kesedihan dan kebahagiaan berasal dari sana, ada di masa kini dan terbawa ke masa depan. Suatu hari kamu, Fabian, dan orangtuamu tamasya ke pantai. Angin bertiup dari Laut Baltik. Kamu berlari-lari di pasir. Ibumu berdiri di pinggir pantai, memandang kejauhan. Kamu merasakan butir-butir pasir yang hangat, melihat ombak putih bergulung-gulung. Tiba-tiba ibumu menoleh ke arahmu, melambai seraya tersenyum.

”Musim panas seharusnya lebih panjang.” Suaramu terdengar jauh dan kelam.

Kutatap matamu yang coklat dan ingin mengatakan sesuatu, lalu menganggapnya tidak lagi perlu. Mungkin nanti saja, saat kita punya waktu lebih panjang atau saat kamu sudah siap. Tapi kelihatannya waktu kita pendek, tidak pernah terulang. Apa ya nama perasaan semacam ini? Rasanya seperti sesak dan aku memang mengidap asma.

Kamu tersenyum, lalu menatapku sungguh-sungguh, ”Mungkin itu namanya kesedihan.” Setelah itu, kamu melihat ke sungai dan berkata lagi, datar dan pelan, ”Saya tidak tahu. Mungkin juga bukan kesedihan. Hanya kamu yang tahu.” Kita sama-sama menghela napas.

Ayahmu juga terlambat sampai di rumah itu. Perawat mengabarkan bahwa kematian datang lima menit yang lalu dan Ibumu telah pergi bersamanya. Suntikan morfin membuat rasa sakit sama sekali tidak mengganggu prosesi itu, perawat meyakinkan ayahmu yang pucat dan sedih. Ayahmu lantas menghibur diri lebih keras bahwa inilah cara pergi yang diinginkan istrinya.

”Ayah sudah punya seseorang sekarang, yang dia sedikit cinta. Saya senang dia kembali hidup”. Kamu terdengar merestui hubungan mereka.

Udara dingin. Apakah kita akan makan siang di restoran yang sama? Seperti tahun lalu?

”Kita makan di restoran yang sama saja, ya. Pelayannya mungkin masih ingat kita.”

Aku benar-benar letih. Kita melangkah bersisian, meninggalkan tepi sungai. Pohon-pohon menaungi kita. Daun-daun berguguran di trotoar. Kamu sudah memiliki seseorang.

Semalam kamu mimpi aneh.
”Dalam mimpi itu saya berbaring dan ketika saya membuka mata saya, saya melihat Ibu saya berbaring di arah yang berlawanan. Saya lalu bertanya kepadanya, bukankah Ibu sudah meninggal. Ibu saya bilang, dia belum meninggal, tapi hanya koma. Waktu itu saya panik sekali, waduh, bagaimana ini Ibu saya kok hidup lagi padahal Ayah saya sudah dengan seseorang.” Kamu menghela napas.

”Mungkin saya belum sepenuhnya bisa menerima orang lain yang menggantikan Ibu saya dalam hidup Ayah.”
Tiba-tiba kamu berhenti melangkah, ”Tolong kamu pikirkan ini baik-baik. Jangan hidup sendirian. Siapa pacarmu sekarang?”

Aku merengkuh pundakmu, mengajakmu terus melangkah, tiada berkata-kata. Kamu tertawa. Rasanya enak berjalan seperti ini.

”Sudah lama, ya, kita tidak berjalan seperti ini.” Kamu memelukku.
Atau kukatakan saja sekarang?

Tapi aku malah bercerita tentang kematian Ayahku. Setelah dia meninggal, aku pulang ke rumah sebentar untuk menengok ibuku.

Di kamar orangtuaku, ada satu lemari besar khusus untuk menyimpan barang-barang ayah agar tidak berdesakan dengan milik ibu di lemari yang lain. Aku membukanya, melihat pakaianpakaian Ayah tergantung dan terlipat rapi. Waktu kubuka salah satu laci, kutemukan baju baletku waktu berusia tujuh tahun, sepatu baletku yang tali-talinya telah kumal, kacamata-kacamataku waktu di sekolah dasar, jepit-jepit rambut dengan hiasan beruang kecil.

”Barangkali Ayahmu merindukan kamu yang tidak pernah pulang dan benda-benda itu menghiburnya,” katamu pelan.

Udara benar-benar dingin. Patung beruang di muka satu galeri itu tampak begitu tua.

Hans, kita tidak akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba. Setelah meninggalkan Berlin, aku akan menulis surat terakhir untukmu: tentang sel-sel penyakit yang berkembang dan menjalar dalam kesenyapan, dan hari-hari yang tidak akan kita miliki lagi di mana pun.***


*) Rosa Luxemburg, seorang tokoh sosialis Jerman. Dia meninggal ditembak pada 1919, mayatnya dibuang ke sungai.

Sumber: kumpulan cerpen kompas

Jumat, 02 Desember 2011

Musim Hujan Sudah Tiba

Persediaan pangan dalam rumah harus ditingkatkan, hujan yang terus menerus tidak membawa berkat melainkan petaka. Demikian keluhan yang muncul dalam pikiran ibu Yuni.

Pohon-pohon karet masih basah, sementara hari sudah beranjak siang. Ibu Yuni masih enggan keluar rumah dan menempelkan sodo (alat penyadap karet) yang sudah diasah ke pohon-pohon karet untuk menyadapnya. Padahal sudah tiga hari berturut-turut ia belum bekerja, sementara persediaan makanan di rumah sudah mulai menipis. Hujan yang tak henti-hentinya  menguyur desa itu menghambatnya untuk bekerja.

Musim hujan membuat petani karet tidak bisa mendapatkan penghasilan apa-apa. Pohon-pohon karet yang masih basah di kala musim hujan membuat getah sulit diarahkan untuk menetes di atas  mangkok yang sudah dipasang dibawahnya. Getah itu akan dengan mudah menjalar ke mana-mana karena air yang masih menempel di batang pohon dengan mudah membuat aliran getah yang seharusnya mengikuti bekas sadapan justru melenceng ke mana-mana. Akibatnya tidak ada getah yang jatuh ke atas mangkok. Kemudian getah-getah itu akan dengan cepat berubaha menjadi air dan tidak meghasilkan apa-apa.

"Apakah terik matahari ini bisa bertahan sampai sore,"

Pertanyaan Yuni ini memang ada dasarnya. Jika terik matahari bertahan sampai sore, itu berarti sekitar pukul 10 pagi ia sudah bisa berangkat bekerja. Ia akan menyadap pohon karet miliknya semampunya. Seandainya malam hujan kembali turun, ia masih punya waktu menyelesaikan menyadap pohon-pohon karet itu dan kemudian menuangkan sedikitnya air keras ke atas mangkok tempat menampung karet supaya getah yang menetes lekas membeku dan selamat dari penghancuran air hujan.

Siti masih menimbang-nimbang untuk berangkat ke kebun karet. Siang pun tiba, tapi terik matahari muncul di pagi hari  tadi sudah mulai pudar perlahan, digantikan mendung. Setengah dari desa itu ditutupi awan-awan hitam. Itu pertanda buruk, hujan akan turun lagi.

"Kalau minggu ini tak menyadap karet, mau makan apa minggu depan," ujar Yuni dalam hati

Kebiasaan hidup di desa memang seperti itu. Penghasilan seminggu digunakan untuk biaya hidup minggu depan. Kalau seminggu ini tidak ada penghasilan, maka minggu depan hidupnya akan terancam. Sementara biaya untuk sekolah belum lagi dilunasi. Hiduppun menjadi tidak jelas, dan harus ditutupi dengan minjam ke sana dan kemari.

Meminjam uang bukanlah solusi terbaik di desa Yuni. Bunga uang uang pinjaman bisa berlibat-lipat dalam sebulan. Bunga bisa mencapai 25% dari pinjaman. Itu artinya, orang sudah susah, akan menjadi semakin susah lagi. Hidup itu memang keras, tidak ada ampun bagi mereka yang mengalah begitu saja.

Pekerjaan di desa itu memang hanya menyadap karet. Baik itu dimusim hujan maupun di musim kemarau. Kedua musim ini membawa kesusahan sendiri-sendiri bagi penyadap karet. Jika musim hujan susah menyadap karet, jika musim kemarau, getahnya susah keluar. Tapi lebih baik musim kemarau, ketimbang musim hujan. Meski pada musim kemarau getah pelit keluar, tapi masih ada penghasilan. Kalau musim hujan lebih parah lagi. Selain getahnya terancam hancur karena air hujan, pohon karet juga terancam rusak.

"Tidak baik kalau setelah disadap, bekas sadapan itu dialiri hujan," ujar Siti.

Soalnya, bekas sadapan itu akan dengan mudah membusuk dan hal itu tidak baik bagi pohon karet. Pohonnya akan mati perlahan. Padahal, pohon karet satu-satunya penopang hidup. Pohon karet itu menjadi tumpuan kehidupan keluarga Siti dari tahun ke tahun. Maka pohon itu harus dirawat supaya kulitnya tidak rusak ataupun membusuk akibat bekas sadapan.

Pohon karet milik keluarga Siti adalah warisan dari Ayahnya. Pohon karet itu sudah tua, dan sudah berapa kali kulitnya disadap mulai dari pertengahan, lalu sampai ke bawah dekat akar, lalu kembali lagi ke atas. Sebab jangka waktu menyadap dari atas sampai ke bawah bisa sampai satu tahun. Dan itu mengandaikan, kulit pohon karet, bekas sadapan lama sudah pulih kembali sehingga bisa disadap lagi.

bersambung....