Selasa, 17 April 2012

Premanisme Kepala Desa Dan Kroni-Kroninya

Ketidakadilan masih dirasakan masyarakat kecil di pedesaan. Kenyataan ini menyeruak ketika kepala desa, penatua-penatua, dan pengambilan kebijakan di daerah tersebut, masuk angin. Artinya mereka mendapat sogokan dari salah satu pihak yang bersengketa. Akibatnya, yang tidak bersalahpun, dijatuhi hukuman lantaran dituduh melakukan kesalahan, dan mereka tidak mampu membela diri. Bahkan jika mereka membantah, mereka dituduh melawan keputusan pemerintah daerah setempat. Bahkan acapkali masyarakat kecil tersebut ditekan dengan cara dibentak-bentak saat keputusan yang dipaksakan diambil.

Kenyataan ini penulis saksikan sendiri. Pekan lalu (Rabu 11/4/2012) ketika pulang ke kampung halaman di Desa Lubuk Ampolu, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Masalah yang menyeruak kala itu adalah permasalahan perbatasan tanah, khususnya kebun karet, milik dua orang petani karet. Salah satunya, sebut saja bernama, Baharuddin, mengklaim perbatasan kebun miliknya, dengan sebut saja bernama Gano. Baharuddin menuturkan bahwa perbatasan kebunnya dengan Gano bukanlah perbatasan yang sudah ada saat ini, melainkan harusnya di tengah kebun milik Gano. Gano tentu saja membantah dan mengatakan bahwa perbatasannya seperti yang sudah terjadi selama ini. Buktinya ada surat yang sudah ditandatangani oleh Baharuddin sendiri.

Selain itu, Gano juga bilang dia sudah menanam pohon karet dengan usia lebih dari 20 tahun di atas lahan tersebut, dan tidak ada gugatan apa-apa. Apalagi sebelumnya daerah itu adalah hutan. Namun, klaim Baharuddin muncul ketika ia menyuruh orang menebang pohon tersebut untuk dijual hasilnya. Tapi saat pohon kayu dikebunnya ditebang, pohon tersebut menimpa pohon karet milik Gano dan akhirnya lima pohon karetnya ikut tumbang ke tanah. Padahal dari pohon karet miliknya itulah, Gano bisa menyambung hidup sehari-hari.

Baharuddin bukannya meminta maaf atas kejadian itu, tapi justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai lahan Gano. Ia kemudian mengatakan bahwa perbatasannya ada di tengah kebun milik Gano dan bukan perbatasan yang sekarang. Jadi pohon karet yang tumbang tersebut adalah miliknya. Ia menguatkan klaimnya dengan menghadirkan saksi yang tampaknya tidak netral yakni anak dari pemilik kebun tersebut sebelumnya – mereka sudah menjual kebun tersebut sekitar 30 tahun lalu, dan saat itu masih hutan. Anehnya para saksi tersebut sudah pernah menjual tanah itu ke beberapa orang sebelum jatuh ke tangan kedua belah pihak. Selain itu, mereka begitu ngotot dan terkesan memaksakan agar kesaksian mereka diterima. Namun yang perlu dicatat mereka adalah keluarga dekat pengambil kebijakan yakni kepala desa di desa tersebut.

Yang tidak kalah serunya adalah yang mengambil keputusan terdiri dari kedua saksi tadi, ditambah kepala desa, Bapaknya kepala desa, dan Saudara laki-laki dari kepada desa, plus dua orang penatua di kampung tersebut. Semua kelompok tersebut membenarkan klaim Baharuddin dan menyalahkan Gano, tanpa memberikan analisa yang jelas dan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara dua orang penatua lainnya yang tampak netral tidak bisa berbuat apa-apa bahkan sebelum mereka selesai bicara pun, perkataan mereka sudah dipotong oleh kelompok yang pro Baharuddin.

Perlu juga diketahui, saat mengambil keputusan yang dipaksakan tersebut disertai dengan bentakan-bentakan kepada pihak Gano, khusunya dari kepala desa, bersama dengan Bapaknya, yang juga penaehat dan Saudara laki-lakinya, yang tidak jelas jabatannya di desa tersebut. Namun Gano sebagai masyarakat di daerah ini tidak menerima begitu saja. Soalnya ia merasa bahwa tidak ada masalah di perbatasan tersebut, dia pun menolak keputusan itu. Namun, kepala desa, bersama dengan Bapaknya dan kakanya plus dengan saudaranya yang hadir di situ menuduh Gano tidak taat pada keputusan pemerintah daerah. Mereka memarahi Gano karena dianggap tidak menghargai keputusan mereka sebagai pemerintah daerah. Akhirnya mereka pun membuat keputusan bahwa Gano dilarang mengelola kebun miliknya lagi. Untuk menundukkan Gano mereka bilang, Gano hanyalah masyarakat biasa, jadi harus tunduk pada putusan mereka.

Di daerah yang sama, beberapa minggu sebelumnya, salah seorang warga yang dipukuli warga setempat nyaris dijatuhi sanksi, dengan alasan bahwa dia telah mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Sementara para pemukulnya tidak dihukum sedikit pun. Setelah ditilik lebih jauh, pemukul warga tersebut adalah warga setempat yang sudah lama berdiam di kampung tersebut dan punya kerabat yang punya pengaruh, sementara yang dihajar adalah pedatang baru yang mediami daerah tersebut sekitar satu tahun dan tidak punya saudara yang bisa membelanya.

Sungguh ironis menyaksikan kenyataan ini. Hati nurani  penulis sebagai masyarat pun tergerak. Inilah kenyataan yang acapkali terjadi di daerah, dan tak pernah diekspos. Penguasa di desa tersbut berlagak seperti raja, dan terkadang bertindak otoriter. Mereka lupa bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi di mana setiap orang memiliki hak untuk membela diri. Sistem feodalisme macam ini ternyata terus dipelira di daerah-daerah untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Apalagi jika pejabat daerah mendapatkan sogokan. Sebuah tindakan yang tidak terpuji dan memalukan.

Melalui artikel ini, penulis hendak mengugah kesadaran para pemimpin di negeri ini, khususnya kepada pengambil kebijakan di daerah seperti Bupati dan Camat. Mereka tidak bisa menutup mata atas peristiwa-peristiwa ketidakadilan yang dialami warga di wilayah mereka, hanya karena warga tersebut tidak tahu apa yang menjadi hak mereka dan ke mana mereka harus mengadu. Dibentak saja, mereka sudah tidak bernyali. Mengadu ke polisi mereka takut karena tidak tahu harus bilang apa, dan tidak uang pelicin agar kasusnya diperhatikan.

Noverius Laoli

Minggu, 15 April 2012

Bupati-bupati Inlander

Sri-Edi Swasono, GURU BESAR UI; KETUA UMUM MAJELIS LUHUR TAMANSISWA
Sumber : KOMPAS, 18 Februari 2012


Seorang pejabat tinggi pemerintah menyampaikan kepada saya niatnya menerbitkan buku berdasarkan data yang dimiliki kantornya berjudul ”Tukang Becak dan Kemiskinan Massal”. Saya bilang, judul semacam itu tidak akan menarik selera baca.
John Kenneth Galbraith yang menulis buku Why The Poor Are Poor, 55 tahun lalu, tak direspons pembaca. Istrinya mengusulkan judul buku diganti The Affluent Society. Buku itu pun terkenal sebagai buku superlaris, menyajikan pencerahan tentang ekonomi dan humanisme.
Kepada pejabat tinggi itu saya sarankan agar judul bukunya diganti ”Bupati-bupati Inlander” atau ”Bupati-bupati Keblinger”, pasti bukunya akan jadi tersohor.

Tugas Kerakyatan
Ketika saya berkunjung ke satu kabupaten, yang sesuai kriteria Bappenas termasuk kabupaten tertinggal, sang bupati memamerkan pemasukan anggaran Rp 1 miliar per tahun berupa royalti dari restoran cepat saji makanan asing yang diizinkannya berdiri di pinggir alun-alun kabupaten. Alun-alun turun pangkat, bukan lagi sebagai kemegahan lokal yang dikelilingi kantor kabupaten, masjid agung, kantor pos, penjara, dan kawedanan. Sang bupati yang bangga dengan hadirnya restoran waralaba asing itu masih inlander, mudah terkagum-kagum.
Berapa omzet restoran cepat saji ini jika berani membayar royalti Rp 1 miliar per tahun: Rp 10 miliar-kah, Rp 15 miliar-kah? Maka, akan sebesar omzet itu pula uang rakyat tersedot ke situ, tidak lagi dibelanjakan jajanan pasar dan makanan lokal lain buatan rakyat. Proses pemiskinan ini tidak menguak kesadaran sang bupati. Baginya modernisasi adalah pembaratan, mengagumi investor asing, lengah akan tugas kerakyatan.
Membangun mal atau supermal tentu tak harus dilarang, tetapi semestinya dikenai syarat-syarat. Sebagai pemberi izin, seharusnya kekuasaan pemerintah daerah ini disertai aturan menata kehidupan ekonomi demi menyejahterakan rakyat. Misalnya, 70 persen produk yang dijual di mal harus produk lokal dan produk dalam negeri. Lalu, 30 persen tempat disediakan untuk usaha-usaha kecil—termasuk pedagang kaki lima bisa masuk ke dalam mal— dengan biaya kios yang terjangkau.
Pelanggaran terhadap aturan ini tidak boleh ditoleransi dengan denda. Barangkali ada baiknya pula jika konsumen-konsumen dapat diatur oleh perbankan memperoleh saham kesertaan dari minimarket-minimarket di RT/RW. Bukankah rakyat harus senantiasa terbawa serta dalam kemajuan pembangunan?

Pemodal dan Pedagang Politik
Globalisasi dengan selera hidup konsumtif affluency-nya mendapat tempat di Indonesia. Kesan kuat terasakan, banyak penguasa daerah mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal, supermarket, dan semacamnya. Ibaratnya, pembangunan ada jika muncul restoran hamburger, piza, dan semacamnya, serba absurd dengan papan-papan nama serba berbahasa asing. Ternyata sebagian teman kampus menyukai pula model dan selera ekonomi macam ini, tetapi bagi sebagian yang lain menyebutnya sebagai kemiskinan akademis.
Akibatnya nyata: demi mal, supermarket—dan tentu demi hotel mewah dan permukiman supermewah—pembangunan telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Transfer pemilikan—terutama tanah—dari si lemah ke si kuat makin intensif dan masif, sekaligus merupakan proses minderisasi (inferiorization) rakyat.
Tidak ada orang yang tergusur dengan pesangon menjadi kaya, sebaliknya pemilik baru akan terus memperoleh rente ekonomi. Pemilikan bersama (co-ownership) adalah kata kunci penyelesaian. Pemiskinan rakyat ini terjadi karena berlakunya pakem-pakem zaman edan, mumpungisme alias carpediemism dan cita rasa murah penguasa-penguasa daerah, maka pembangunan berubah menjadi proses dehumanisasi.
Terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara rakyat suara uang receh. Tokoh lokal yang terbaik tidak terpilih jadi pemimpin akibat takhta bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal dan pedagang politik. Kata Mendagri, ada 160 bupati jadi tersangka atau masuk bui. Indeks korupsi APBD diberitakan tetap tinggi. Mereka bupati-bupati keblinger, jabatannya bukan untuk rakyat, tetapi untuk diri sendiri.
Siapa salah jika sang bupati tak mengenal potensi rakyat, potensi daerah, dan nilai oportunitasnya? Siapa salah kalau sang bupati tak berwawasan pembangunan humanistis sebagaimana dikehendaki konstitusi kita: bahwa pembangunan harus menghasilkan nilai tambah ekonomi sekaligus nilai tambah sosial-kultural?
Pembangunan semestinya merupakan pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat. Brutalitas neoliberalisme ekonomi menambah kesewenang-wenangan dan kesengsaraan rakyat. Otonomi daerah telah membawa kegamangan bagi para bupati. Ibaratnya, sumber daya alam boleh diobral: Indonesia is for sale!
Barangkali Mendagri lengah budaya di sini, ia ”menyekolahkan” bupati-bupati baru ke Harvard School of Government, bukan ke kampus-kampus kita sendiri yang memahami pembangunan partisipatori-emansipatif. Barangkali itulah hasilnya ke Harvard, asingisasi.

Bukan Sekadar Bagi-bagi Kue
Pembangunan bukan lagi sekadar memperbesar ”kue pembangunan”, bukan memperbesar produk domestik bruto (PDB). Bahkan, tak lagi sekadar bagaimana membagi kue pembangunan secara adil.
Hakikat pembangunan justru menyangkut jenis kue pembangunan itu sendiri, menyangkut pola produksi yang mendikte pola konsumsi. Apakah kita membuat ”kue tar” dengan bahan-bahan impor yang tak diproduksi di dalam negeri? Apakah kita membuat ”tumpeng” sebagai kue pembangunan yang penuh bahan lokal produksi rakyat kita sendiri, yang berarti partisipasi dan emansipasi rakyat lebih luas, yang tentu akan lebih memakmurkan dan memanusiakan rakyat.
Pembangunan juga dituntut menjadi upaya peningkatan dan perluasan kemampuan rakyat sehingga proses pembangunan dapat diartikan sebagai proses keberlanjutan peningkatan produktivitas rakyat. Di sinilah peran ilmu ekonomi institusional sekaligus ekonomi konstitusi yang diabaikan dalam pembelajaran otonomi daerah. Tentu tidak semua bupati merusak otonomi daerah.