Senin, 25 Maret 2013

Ekonomi tumbuh tinggi, kekerasan dan kebrutalan juga

Pagi itu, Jumat (22/3), mataku masih terasa berat. Tapi kupaksakan juga bisa bangun pagi. Saya langsung mengecek telepon genggam. Setiap pagi, kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyoo lagi tidak ke mana-mana, pasti ada agenda dari humas Istana. Ternyata benar, ada sms masuk. "Acara RI 1 Jumat 22/3 di Istana Negara pukul 09.00 WiB, pertemuan silaturahim RI 1 dengan para pimpinan lembaga negara. Terminal penumpang II pelabuhan Tanjung Priok pukul 15.00 WIB, ground breaking pembangunan terimal Kalibaru pelabuhan tanjung priok," demikianlah bunyi SMS tersebut. Berarti saya harus sudah tiba di Istana Negara setengah jam sebelum jadwal acara di mulai. Begitulah aturannya. Jika terlambat, jangan harap bisa masuk, pintu sudah ditutup dan disuruh menggun di luar sampai acara selesai. Itulah aturannya, artinya tepat waktu.

saya langsung menuju kamar mandi, dan 20 menit sebelum pukul 09.00 WIB saya sudah tiba di Istana dan masuk ke ruang bioskop, ruang wartawan. saya awalnya mengira teman-teman wartawan sudah pada menuju gedung Istana Negara. Tapi ketika saya masuk, jumlah wartawan sudah banyak tapi belum ada pergerakan ke arah gedung Istana Negara. Setelah menayakan, ternyata, presiden melsayakan pertemuan tertutup dengan para kepala negara dan wartawan tidak diperkenankan meliput. Jadi terpaksa harus menunggu setelah acara selesai, baru ada keterangan pers. Meski sedikit kecewa, karena sudah bangun lebih pagi, saya memilih membuka-buka internet dan mencari isu-isu baru untuk dikembangkan hari ini.

Setelah sekitar kurang lebih dua jam mengadakan pertemuan, presiden beserta petinggi-petinggi lembaga negara akan mengadakan konferensi pers. Presiden SBY yang menyampaikan apa saja isi pembicaraan mereka. Sementara mulai dari Wakil Presiden Boediono, Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, ketua DPD, Ketua BPK dan didampingi tiga menteri koordinator yakni Djoko Suyanto, Hatta Rajasa, Agung Laksono, beserta pelanggan tetap Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam berdiri di barisan kedua pada konferensi pers tersebut.

Setelah menjelaskan soal isi rapat atau kosultsasi mereka, SBY tak lupa menyinggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika masuk topik itu, para wartawan semua sudah mahfum, bahkan sampai hafal apa saja yang  akan segera diuraikan sang kepala negara. SBY seolah memuji diri sendiri atas prestasinya sendiri soal pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi di atas 6% atau tepatnya 6,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi yang kedua tertinggi setelah China di Asia. Sementara negara-negara lain masih sibuk berkutak menghadai krisis global yang bersumber dari Eropa. SBY selalu memuji prestasinya tersebut di mana saja ia berpidato. Untuk menguatkan prestasinya tersebut, SBY selalu merefer ke media internasional dan pujian yang diterima dari dunia internasional.

Berbanding terbalik ketika sang presiden menyinggung tanggapan dalam negeri yang ia pandang selalu negatif. Bahkan pernah suatu ketika, di saat memberikan sambutan di depan para bupati se Indonesia, SBY mengkritik media nasional yang tidak pernah mengekspos prestasi yang diukir pemerintahannya tersebut. Saat itu, ia menyarankan para bupati agar membaca media asing saja agar tahu seperti apa prestasi Indonesia di bawah pemerintahannya. Menurut SBY media asing justru yang lebih obyektif daripada media nasional. SBY ternyata suka suuzon juga dengan media nasional.

Cerita berapa kali orang nomor satu RI ini menceritakan kesukesannya perekonomian Indonesia, tak terhitung banyaknya. Di mana pun SBY berada dan memberikan pidato atau sambutan, selalu saja isu soal keberhasilan dan pertumbuhan ekonomi ini ia selipkan dalam pidatonya. Pernah dalam sehari, ada tiga kali agenda SBY memberikan pidato, maka pada semua pidato itu, isu yang sama yakni pertumbuhan ekonomi pasti selalu di kupas dan ujung-ujung presiden selalu lebih bangga menyebut yang asing-asing, seperti pujian dari dunia internasional dan media-media asing lebih tahu perkembangan Indonesia ketimbang media nasional.

Tak terkecuali hari ini, Setelah menyinggung pertumbuhan ekonomi di depan para petinggi lembaga negara, presiden juga seperti diduga, menyinggung pertumbuhan ekonomi yang sama pada pidatonya di Tanjung Priok. Di sini, setelah memuji diri sendiri soal prestasi pertumbuhan ekonomi, SBY menyebut seorang sahabatnya,  yang berkunjun ke kantornya dua hari lalu. Namanya Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris. Tony ternyata juga memuji pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurutnya sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia itu menurut Blair dalam penuturan Presiden bagaikan mimpi di Eropa yang saat ini sedang mengalami resesi. Mimik waja presiden tampak puas tiap kali ini menyebut yang asing-asing.

Spontan ia mendapatkan tepuk tangan meriah dari hadirin. Namun salah seorang teman wartawan di sampingku ternyata usil juga. Ia bilang, wah pak beye di sini ia membual lagi. Mungkin bagi kita (wartawan) yang tiap  hari mendengarkan ocehan soal pertumbuhan ekonomi ini sudah hampir mual mendengarnya. Tapi bagi orang-orang awam, cerita pak presiden ini cukup membuai juga, ujarnya terkekeh-kekeh. Apagi ia menyebut Tony Blair lagi sebagai sahabat, weleh-weleh kata teman tadi sambil geleng-geleng kepala. Saya pun ikut tertawa juga mendengar gurauan tadi. Memang benar apa yang dikatannya.

Menurutku presiden SBY sudah benar soal pertumbuhan ekonomi. Itu memang berdasarkan data dan fakta. Patut diancungi jempol. Tapi kalau tiap hari ceritanya hanya itu-itu saja, dan seolah-olah sudah puas dengan itu, menjijikkan juga. Apakah pak presiden ini haus akan pujian ya? Kok tiap kali menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi di tengah krisis global, ia begitu bangga? Apakah tidak ada prestasi lain selain itu? Apakah tidak ada ceritanya yang lain selain dari pertumbuhan ekonomi? Lalu bagaimana soal kekerasan di OKU? Anggota TNI menyerang markas polisi dan membakarnya habis? Bagaimana soal penembakan warga sipil dan tentara di Papua? Lalu isu yang paling hangat dan menyedihkan serta mengerikan adalah sekelompok orang bersenjata lengkap dan sangat terlatih menyerbu penjara dan membunuh empat narapidana tersangka pembunuh salah seorang anggota kopassus di Sleman, Yogyakarta?

Sejumlah gereja dan masjid untuk tempat ibadah warga muhamadiyah diserang dan dibakar habis. Sejumlah nyawa melayang sia-sia. Lalu di mana prestasi presiden? Apakah ia pernah mengungkapkan ada kemajuan soal penangangan keamanan itu? Apakah SBY hanya bisa bangga pada pertumbuhan ekonomi saja? Sebagai wartawan dan warga negara, sering kali aku tak habis pikir soal ini. Sebagai orag yang tiap hari meliput di sekitar Istana Kepresidenan, saya merasa ada yang janggal dengan presiden kita ini. Menurutku sang bapak presiden terhormat ini sangat peduli pada diri sendiri, jabatan, penghargaan, wibawa, keluarga dan kelompoknya seperti partai demokrat.

Coba lihat isu-isu yang menyerang harga dirinya soal simbol kerbau pada demonstrasi? Presiden marah dan saat ini tidak bisa lagi dibawa binatang saat melakukan demonstrasi. Lalu lihat kasus demokrat yang berlarut-larut soal konflik internal, pemilihan calon ketua umum dan sebagainya. Membaca berita itu rakyat sudah muak sangking over eksposnya. Lalu lihat isu anaknya Edhie Baskoro Yudhyono alias Ibas yang bolos rapat paripurna di DPR tapi datang hanya untuk absen saja. Hanya sehari berselang, cucunya dari Ibas di operasi dan itu semua menjadi berita nasional. Sungguh ruang publik lebih banyak diisi isu soal keluarga presiden. Lalu ketika pembunuhan terjadi di sana sini, penyerbuan aparat ke amanan ke lebaga lain dan masyarakat sipil, perhatian SBY tidak begitu terusik. Ia memilih menyerahkannya pada hukum saja. Tapi ketika masalah SPTnya bocor di salah satu media, ia langsung reaktif, langsung memberi tanggapan dan bahkan sering di angkat jadi topik pembicaraan di setiap kesempatan. Narsiskah presiden kita? Saya juga tidak tahu, tapi begitulah yang terlihat.


Noverius Laoli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar