Jumat, 06 Januari 2012

Ketika Pengangkatan Menjadi Kekuatan


Momen Yang Jatuh Pada Penghujung
Bulan Desember ini,
Menjadi Hadiah Natal
yang Menyejukkan Hati

Merangkai hidup, tak ubahnya merangkai puisi, banyak yang abstrak tapi penuh makna.
Itulah yang aku mulai dalam salah satu momen kehidupanku.

Memulai sesuatu memang tidak mudah, apalagi jika sesuatu itu menuntut perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Tak jarang, acapkali perasaan ragu, pesimis menganggu perjuangan itu karena alasan satu hal yakni ada perasaan takut yang menganggu.

Perjuangan yang aku lalui itu dipenuhi rasa takut akan kegagalan, dan ketidaksiapan untuk itu.

Namun, dalam perjuangan yang selalu dicampuri rasa takut itu, aku berhasil menyisihkan rasa takutku untuk memacu semagatku meraih apa yang kuimpikan. Ketika impian itu tercapai, hatipun lega, dan perasaan senangpun tak terkira.

Itulah hadiah natal bagiku pada tahun 2011. Aku akhirnya setelah tiga kali penilaian per empat bulan, diputuskan lolos dan masuk diterima sebagai karyawan.

Aku mengulang kembali peristiwa masa silam. Aku ingat persis setahun lalu, ketika aku memutuskan mengubah haluan hidupku dan masuk ke perusahaan sebagai kuli tinta. Saat itu, posisiku sudah nyaman sebagai guru di salah satu SMA Katolik yang terkenal dengan gedungnya yang megah bagai mal, meski baru seumur jagung.

Satu setengah tahun aku berbakti di sekolah tersebut sebagai guru PKN dan Sosiologi. Satu tahun pertama aku menjadi guru biasa, namun di tahun kedua - meskipun hanya separoh karena keburu pindah kerja - aku menjabat sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. SK yang kuterima selama satu tahun, namun yang bisa kujalani hanya separohnya.

Dering telepon pada malam hari Kamis bulan November 2010 itulah yang mengubah haluan hidupku selamanya. Seorang perempuan paruh baya, yang menjabat sebagai kepala HRD di perusahaan itu menelponku dengan suara tenang tapi penuh makna. "Apakah Anda masih bersedia jadi wartawan,"? "Yah saya masih mau mbak," jawabku spontan.

"Kalau begitu, selasa pekan depan kami menunggu Anda untuk wawancara tepat pukul 13.00 Wib di Kantor kami," ujar suara itu sambil memberitahukan alamat kantornya. "Baik aku siap  mbak," balasku dengan penuh harap.

Itulah awal mula perubahan itu. Aku berani membuat janji dengan orang lain di Ibu Kota, padahal aku tidak tinggal di daerah Ibu Kota Negara tersebut. Sementara aku pada hari itu harusnya masuk ke sekolah dan mengajar seperti biasa.

Izin menjadi sesuatu yang susah dari sekolah, apalagi kepala sekolahnya terkenal garang dan tidak kenal tolerangsi. Izin sakit hanya itu yang tidak bisa ditolak, alasan lain biasanya selalu dimentahkan.

Saat aku menerima telpon itu, aku tidak berpikir panjang lagi. Meskipun aku masih diselimuti ketakutan kalau tidak diberi izin, tapi aku harus berani mengambil risiko. Aku begitu yakin, perubahan itu segera datang. Bagaikan sudah direncanakan, sepuluh menit sebelum telpon itu datang, aku mengatakan kepada pacarku asalan saja, bahwa aku ingin pindah kerja ke tempat yang lebih baik.

Intuisi yang mendorongku membicarakan itu, seolah memang sudah ditakdirkan begitu adanya. Dan akhirnya, angin perubahan itu benar-benar datang, bahkan aku tak siap menerimanya, namun kehadirannya memaksaku untuk berbenah diri.

"Aku akan menemani kakak ke ibu kota," ujar pacarku kala itu dengan mata berbinar dan suara riang. Padahal, ia juga sudah bekerja di salah satu perusahaan, dan ia akan meninggalakan pekerjaan pada hari itu hanya untuk mengantarku ke kantor yang barusan menggetarkan telepon genggamku beberapa menit yang lalu itu.

"Ia baguslah, karena aku tidak tahu lika-liku kota Metropolitan itu, aku nyaris tidak pernah pergi sendiri ke sana," balasku dengan gembira. "Ia aku mengerti sedikit-sedikit kok, nanti kita tinggal nanya-nanya aja,' sambung pacar pertamaku itu, pasca keluar dari Biara tempatku bernaung selama lima tahun belakangan.

"Maaf bu, aku tidak bisa masuk kerja hari ini, aku sakit," kalimat itupun melayang dari ponselku menuju ponsel kepala sekolah. Telepon gengam itu beberapa detik kemudian aku matikan. Persoalan selesai, pagi-pagi pukul 05.00 Wib aku sudah berada di rumah pacarku, dan tepat pukul 06.00 Wib kami menuju stasiun kereta api dan memesan tiket keberangkatan pukul 06.30 Wib. Kami tiba di tujuan pukul 11.00 Wib dan menuju kantor perusahaan tersebut untuk interview.

Pukul 14.00 Wib, aku dipanggil untuk wawancara. pacarku menunggu di bawah. Tak berapa lama wawancara sekitar 60 menit, perempuan yang menelponku malam itu dan juga turut mewawancaraiku mengatakan. "Anda sekarang diterima, kapan bisa masuk kerja," ujarnya mengejutkanku.

Akupun bingun menentukan harinya, soalnya aku masih terikat pekerjaan di sekoalah. Dalam keraguan dan ketakutan di mana semuanya serba bercampur, aku memutuskan masuk awal tahun saja. Soalnya, sekarang sudah penghujung November.

Penerimaan yang tanpa basa basi ini ada latar belakangnya. Aku sebelumnya pernah tes di induk perusahaan ini sebagai kuli tinta, tapi tidak diterima, tapi belakangan, perusahaan ini yang menginduk pada perusahaan di mana aku pernah tes memberikan kesempatan kedua kepadaku. Itulah sebabnya, mereka tidak lagi butuh melakukan tes lebih dulu. Meskipun kemudian aku  menjalani tes untuk formalitas.

Nah, aku lanjutkan yang wawandara tadi saja. Namun, perempuan tersebut menolak permintaanku. Kami meminta Anda untu masuk tanggal 1 Desember. Lalu aku memakai jurus pamungkas. "Aku ini masih guru mbak, minimal aku harus menyelesaikan tugasku dulu baru bisa masuk kerja di sini,"  jelasku perlahan.

"Aku harus memberikan nilai mereka dan menuliskannya di raport, karena aku ini wali kelas mereka," tambahku menguatkan argumentasi sebelumnya. "Tidak baik bagiku meninggalkan pekerjaan dalam keadaan tidak bertanggung jawab," aku membubuhkan kata-kata sebelumnya.

Setelah bernegosiasi, akhirnya mereka mau menerima tapi tidak juga memenuhi permintaanku. "Baiklah, kami memaklumi kondisi Anda, bisakah Anda masuk pertengahan Desember,"? desak laki-laki yang ternyata wakil pemimpin redaksi itu. "Bagaimana kalau tanggal 20 saja," kataku tanpa berpikir matang-matang.

Bagiku itu sudah jalan tengah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan pertimbangan, bahwa aku setidaknya sudah menuliskan rapor anak-anak dan memeriksa ujian mereka.

Soal bagi rapor, biarlah guru lainnya yang melakukan. Aku benar-benar nekat, karena aku tersudutkan. Aku tidak bisa menolak pekerjaan ini sebab itu adalah impianku. Namun aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaan sebelumnya begitu saja, tanpa membereskan apa yang menjadi kewajibanku.

Kami akhirnya sepakat. Jadilah aku menginjakkan kaki di penghujung Desember 2010 itu di kantor ini dimana aku sekarang bekerja.

Akupun memulai karirku sebagai juru tinta dari hari ke hari. Perjuangan demi perjuanganpun aku lalui dengan satu tekat. Aku harus bisa lolos selama masa penilaian satu tahun pertama. Aku tidak bisa lagi mencari pekerjaan yang lebih baik, setidak saat ini.

Aku sudah terlanjur memutuskan keluar dari sekolah itu. Artinya aku sudah keluar dari kenyamanan itu, dan aku menuntun diriku dalam arus perubahan yang arahnya masih belum menentu ini. Kuncinya memang ada di tanganku, tapi tidak mudah memutar kunci itu sesuai kehendak, butuh kerja keras, keuletan dan tanpa kenal lelah.

Kini setelah satu tahun penuh aku di perusahaan ini, akupun bisa bernafas lega. "Selamat kamu diangkat jadi pengawai tetap," ujar redakturku saat memberitahukan kabar gembira ini. Akupun menahan kegembiraan meluap di depannya, meskipun dalam hati, darahku mendesir sebagai tanda kegembiraan. "Terima kasih mas," ujarku setengah berbisik.

Kini setelah berjuang sekuat tenaga hasilnya aku petik. Apakah aku sudah cukup untuk berjuang? ternyata tidak.

Ini hanyalah permulaan, aku harus membangun karir ini lebih baik lagi, setidaknya membangun diriku menuju masa depan yang cerah dan mencapai impianku menjadi penulis sebagaimana aku idam-idamkan di kala masih duduk di bangku kuliah dulu.

Mimpi itu sudah diberi jalan, kini tergantung aku, apakah akan benar-benar menggunakan itu atau memilih memanjakan diri dan berpuas diri dengan status baruku, karyawan tetap.

Asal tahu saja, dari dulu aku tidak suka dengan istilah jadi karyawan, aku lebih suka menjadi independen. Aku tidak mau bermental karyawan, tapi aku mau bermental pengelana. Akankah aku nantinya menjadi seorang pengelana sejati, menjadi penulis yang mandiri dan independen? Di mana aku tidak harus lagi menjabat sebagai karyawan?

Sebelum menjawab semua itu, aku ingin bersyukur dulu, pengangkatan ini merupakan hadiah natal yang indah bagiku. Natal kali ini menjadi momen untuk beryukur dan berterima kasih atas anugerah Tuhan yang selama ini aku abaikan dan aku singkirkan.

Dalam hati kau berkata, Tuhan, terima kasih natal tahun ini, pengangkatan ini aku jadikan hadiah natal bagiku. Aku dilahirkan kembali menjadi seorang karyawan dan hidupnya sudah jelas, setidaknya untuk sementara.

Tapi ajari aku supaya tidak berpuas diri dan tidak bermental karyawan. Semoga pengangkatan ini menjadi pijakan bagiku untuk meraih sesuatu yang lebih besar untuk membangikan sesuatu yang lebih besar lagi bagi orang lain.

Melalui Natal ini bersama hadiah ini, aku akan selalu bersyukur dan berharap, Kau terus menuntunku menemukan apa yang kau kehendaki dalam diriku.

Syukur tiada akhir, slogan Jacob Oetama itu harusnya menjadi milikku juga.


Jakarta, Penghujung Desember 2011

Noverius Laoli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar